Muslim Jadi Korban Transisi Demokrasi Myanmar

Muslim Rohingya Dijemur Tentara Saat Hendak Mengungsi

YANGON, muslimdaily.net, – Menghadapi episode baru kekerasan sektarian, minoritas Muslim di Myanmar seolah menjadi kambing hitam atas transisi kekuasaan militer menuju demokrasi.

“Semua Muslim yang tinggal di Myanmar khawatir tentang hal ini. Apa yang akan terjadi pada agama kami? Bagaimana kami bisa hidup dalam masyarakat Buddha ini?” Kata Nyunt Maung Shein, presiden Dewan Urusan Agama Islam Myanmar, kepada Agence France-Presse (AFP) pada hari Ahad, 14 April, demikian lansir onislam.net.

“Mengapa kami begitu mengenaskan, sehingga pria dan wanita, anak-anak, para siswa dibunuh secara brutal? Muslim menjadi kambing hitam dalam masa transisi dari junta militer yang brutal.”

Lebih dari 42 orang meninggal dan beberapa masjid dibakar dalam seminggu kekerasan agama di kota Meiktila awal bulan ini. Kekerasan dimulai oleh cek-cok antara pasangan Buddha dan pemilik toko emas dan kemudian menyebar ke beberapa kota di Myanmar tengah.

Kerusuhan terbaru itu dilihat sebagai refleksi gelombang mengkhawatirkan Islamophobia di negara Asia tenggara itu.

“Kami tertindas oleh rasa takut, kesedihan dan keraguan,” kata Kyaw Nyein, konsultan hukum dan anggota senior Jamiat-Uloma-El Islam, sebuah organisasi ulama di Myanmar.

“Bahkan jika pemerintah bersedia untuk menyembuhkan penyakit (masalah ini), itu akan membutuhkan waktu puluhan tahun.”

Dia berpendapat bahwa transisi negara itu dari kekuasaan junta telah membuktikan tes untuk semua masyarakat, termasuk aparat keamanan.

“Sebelumnya, ada satu komando militer yang akan menghentikan hal apapun. Sekarang ini adalah pemerintahan sipil. Ada begitu banyak langkah yang perlu diambil sebelum tindakan,” ungkap Kyaw Nyein.

Kelompok-kelompok HAM menuduh polisi Myanmar menutup mata terhadap serangan terhadap Muslim.

Meskipun beberapa kota relatif tenang selama serangan seperti Yangon, umat Islam masih hidup dalam ketakutan setelah kebakaran menewaskan 13 remaja di sebuah sekolah Islam di awal April.

“Semua orang takut, bahkan saya sendiri,” kata Kyaw Nyein.

“Setiap malam ada isu. Kami berada di bawah tekanan.” [hr]