
Ayat 11, yaitu firman Allah ta’ala,
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula).” (an-Nuur: 11)
Sebab Turunnya Ayat
Al-Bukhari dan Muslim serta yang lain meriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Apabila Rasulullah hendak mengadakan perjalanan, beliau biasanya mengundi di antara para istrinya. Siapa yang namanya keluar maka dialah yang ikut bersama beliau. Dalam suatu peperangan, beliau mengundi kami, dan karena nama saya yang keluar maka saya pun ikut pergi bersama beliau. Hal itu terjadi setelah diwajibkannya hijab. Maka saya pun diangkut di atas tandu dan tetap tinggal di dalamnya.
Ketika Rasulullah selesai dari peperangan dan kami sedang dalam perjalanan pulang serta sudah dekat dengan Madinah, pada suatu malam beliau mengumumkan hendak melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mengumumkan berangkan, saya pergi melampaui pasukan. Setelah saya menyelesaikan hajat, saya hendak kembali ke tandu saya. Tapi ketika saya sentuh dada saya, kalung saya yang buatan Azhfaar telah putus. Maka saya pun kembali ke tempat semula untuk mencari kalung. Saya masih di sana untuk mencarinya, sementara orang-orang yang mengangkut tandu saya sudah datang dan mereka pun mengangkatnya. Mereka menaikkannya ke unta saya. Mereka mengira saya berada di dalam tandu.
Wanita pada masa itu tubuhnya ringan, tidak berat oleh daging. Mereka hanya makan sesuap makanan. Karena itulah para pengangkut tandu itu tidak merasa heran dengan ringannya tandu ketika mereka mengangkatnya. Mereka tuntun unta tersebut lalu berangkat. Saya baru menemukan kalung saya setelah pasukan itu pergi. Ketika saya tiba di tempat peristirahatan mereka tadi, tidak seorang pun kelihatan. Akhirnya saya menuju tempat istirahat saya tadi. Saya pikir mereka akan menyadari bahwa saya tidak ada bersama mereka dan mereka akan kembali untuk mencari saya. Ketika saya duduk di tempat saya, saya merasa mengantuk sehingga tertidur.
Ketika itu Shafwan ibnul-Mu’aththal as-Sulami berjalan di belakang pasukan, dan pagi hari itu dia sampai di tempatku. Ia melihat sosok manusia sedang tidur dan segera ia mengenalku begitu melihatku. Dia memang pernah melihatku sebelum diwajibkannya hijab. Aku terbangun mendengar suaranya mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun! Maka aku pun buru-buru menutupi wajahku dengan jilbabku. Demi Allah, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku. Aku tidak mendengar sepatah kalimat pun keluar dari mulutnya selain ucapan tarjii’-nya tadi. Ia hanya menundukkan untanya, menginjak kakinya, lalu saya pun menaikinya. Kemudian dia berangkat menuntun unta itu sampai kami tiba di pasukan yang sedang berhenti untuk beristirahat di siang hari yang terik. Maka, binasalah orang yang binasa gara-gara menyebarkan gosip tentang diriku.
Orang yang paling getol dalam hal itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Aku tiba di Madinah, lalu selama sebulan aku jatuh sakit, sementara orang-orang menggunjingkan perkataan ahlul-ifki (para penyebar gosip) sedangkan aku tidak menyadarinya sama sekali. Barulah ketika aku agak sehat dan aku keluar bersama Ummu Misthah menuju Manaashi’ –yaitu tempat buang hajat kami–… tiba-tiba Ummu Misthah! terjatuh dan mengatakan, ‘Celakalah si Misthah!’ Aku berkata, ‘Buruk sekali ucapanmu! Mengapa engkau memaki seseorang yang ikut Perang Badar?!’ Ia menjawab, ‘Aduh anakku, apakah kamu belum mendengar apa yang ia katakan?’ Aku bertanya, ‘Apa yang ia katakan?’ Ia lalu memberi tahuku tentang perkataan ahlul ifki, sehingga penyakitku tambah parah.
Ketika Rasulullah masuk ke bilikku, aku berkata, ‘Apakah engkau mengizinkan aku mengunjungi orang tuaku?’ Aku sebetulnya hanya ingin memastikan berita itu dari mereka. Beliau mengizinkan. Lalu akau mendatangi orang tuaku. Aku bertanya kepada ibuku, ‘Ibu, apa yang diperbincangkan orang-orang?’ Ia menjawab, ‘Oh anakku, lapangkanlah hatimu. Demi Allah, kalau seorang wanita sangat cantik dan dicintai suaminya serta dia punya madu, pasti madunya akan mengganggunya.’ Aku berkata, ‘Subhanallah!’ Apa benar orang-orang membicarakan hal itu?’ Aku pun menangis malam itu sampai pagi, tidak pernah berhenti air mataku mengalir dan tidak sekejap pun aku tidur. Lalu paginya aku masih menangis.
Kemudian Rasulullah memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid ketika wahyu tidak turun-turun. Beliau meminta pendapat mereka berdua tentang kemungkinan menceraikan istrinya. Usamah mengemukakan pandangannya tentang apa yang ia ketahui mengenai ketidakbersalahan istri beliau. Katanya, “Wahai Rasulullah, ia adalah istri Anda, dan kami tidak mengetahui kecuali kebaikan!’ Sedangkan Ali berkata, ‘Allah tiak memberi kesempitan kepada Anda. Wanita selain dia banyak. Kalau Anda menanyai budak wanita itu, pasti dia akan menjawab sejujurnya.’ Maka beliau memanggil Bariirah dan berakta, “Hai Bariirah, apakah kamu lihat sesuatu yang mencurigakanmu pada diri Aisyah?’ Bariirah menjawab, ‘Demi Allah yang mengutus Anda dengan kebenaran, saya tidak melihat sesuatu yang saya ragukan pada dirinya selain fakta bahwa dia hanyalah seorang gadis belia yang ketiduran menjaga adonan keluarganya sehingga datang ayam yang memakannya.’
Mendengar hal itu, Rasulullah bangkit dan berdiri di atas mimbar. Lalu beliau meminta uzur bagi Abdullah bin Ubay. Kata beliau, ‘Wahai kaum muslimin, siapa yang maklum kalau aku ambil tindakan atas seseorang yang menyakiti aku dengan memfitnah istriku? Demi Allah, aku tidak mengetahui selain kebaikan pada istriku!’
Hari itu aku masih menangis, air mataku tidak pernah berhenti menetes. Lalu malam itu juga aku masih menangis, air mataku tidak pernah berhenti turun, dan aku tidak pernah tidur. Kedua orang tuaku mengira bahwa tangis akan merusak liverku. Ketika mereka duduk di dekatku sementara aku menangis, tiba-tiba seorang wanita Anshar minta izin masuk. Setelah kuizinkan, ia duduk dan menangis bersamaku… Kemudian Rasulullah datang, mengucapkan salam, lalu duduk… Sudah sebulan beliau tidak menerima wahyu mengenai urusanku. beliau mengucapkan syahadat lalu bersabda, ‘Amma ba’du. Aisyah, aku mendengar begini dan begitu tentang dirimu. Kalau kamu tidak bersalah, pasti Allah akan menyatakanmu tidak bersalah. Tapi kalau kamu telah melakukan suatu dosa, mintalah ampun kepada Allah dan bertobatlah, sebab kalau seorang hamba mengakui dosanya dan bertobat maka Allah akan menerima tobatnya.’
Usai beliau berkata demikian, aku katakan kepada ayahku, ‘Tolong saya menjawab Rasulullah!’ Ia berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang mesti kukatakan!’ Lalu aku katakan kepada ibuku, ‘Tolong saya menjawab Rasulullah!’ Tapi ia juga berkata, ‘Demi Allah, aku tdak tahu apa yang mesti kukatakan!’ Akhirnya aku berkata –sementara aku hanyalah seorang gadis belia, ‘Demi Allah, aku tahu kalian telah mendengar hal ini hingga ia mantap dalam hati kalian dan kalian membenarkannya. Kalau kukatakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah –dan Allah tahu bahwa aku tidak bersalah– pasti kalian tidak akan percaya ucapanku.’ Dalam sebuah riwayat, ‘Tapi kalau aku mengakui sesuatu pada kalian –padahal Allah tahu bahwa aku tidak melakukannya– pasti kalian percaya ucapanku. Dan demi Allah, aku tidak menemukan perumpamaan tentang aku dan kalian kecuali seperti perkataan ayah Yusuf,
“…maka hanya bersabar itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.'” (Yusuf: 18)
Lalu aku bergeser dan berbaring di pembaringan.
Demi Allah, Rasulullah belum meninggalkan tempat duduknya, dan belum keluar seorang pun dari dalam rumah, hingga Allah menurunkan wahyu kepada Nabi saw. sehingga seperti biasanya tubuh beliau bergetar. Setelah selesai, perkataan pertama yang diucapkannya adalah, ‘Bergembiralah Aisyah! Allah telah menyatakan kamu tidak bersalah!’ Ibuku segera berkata kepadaku, ‘Bangun dan hampirilah dia!’
Aku berkata, “Dem Allah aku tidak mau menghampirinya. Aku hanya memuji Allah, sebab Dialah yang menurunkan peryataan kesucianku.’ Allah menurunkan ayat, ‘Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga,’ sepuluh ayat. Maka Abu Bakar –yang sejak dulu memberi nafkah kepada Misthah karena mereka punya hubungan kerabat dan ia miskin– berkata, –‘Demi Allah, aku tidak akan memberinya nafkah setelah ia mengatakan apa yang ia katakan tentang Aisyah!’ Maka Allah menurunkan firman-Nya ayat 22, ‘Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.'” (381)
Ayat 22, yaitu firman Allah ta’ala,
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nuur: 22)
Sebab Turunnya Ayat
Abu Bakar berkata, “Demi Allah, aku sungguh ingin Allah mengampuniku.” Lalu ia kembali memberikan nafkah kepada Misthah sebagaimana dahulu ia berikan.
Dalam hal ini terdapat riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang disebutkan oleh ath-Thabrani, dari Abu Hurairah yang disebutkan oleh al-Bazzar, dan dari Abul Yusr yang disebutkan oleh Ibnu Mardawaih. (382)
381. Shahih, Muttafaq ‘alaih. Al-Bukhari (2661) dalam asy-Syahaadaat dan Muslim (2770) dalam asy-Syahaadaat. Riwayat di atas disebutkan dalam semua kitab tafsir dengan konteks seperti ini pada waktu menafsirkan ayat ini.
382. Kata Ibnu Katsir (3/398), “Misthah adalah putra bibi (saudara sepupu) Abu Bakar ash-Shiddiq. Dia miskin dan diberi nafkah oleh Abu Bakar. Dia termasuk salah seorang Muhajirin, pernah menyiarkan gosip lalu diterima tobatnya oleh Allah, dan menerima hukuman had atas hal itu.” Kata al-Qurthubi (6/4743), “Misthah adalah salah seorang Muhajirin yang ikut Perang Badar dan miskin. Ia adalah Misthah bin Utsasah bin ‘Abbad ibnul-Muththalib bin Abdu Manaf. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah ‘Auf, Misthah adalah julukannya. Kata Ibnu Abbas, ‘Beberapa orang mukmin memutuskan manfaat mereka dari setiap orang yang terlibat dalam penyebaran gosip (ifki). Kata mereka, ‘Demi Allah, kami tidak akan menyambung hubungan dengan orang yang membicarakan fitnah terhadap Aisyah!’ Maka turunlah ayat ini mengenai mereka semua.” Kata al-Qurthubi, “Riwayat pertama lebih shahih.”
Sumber: Diadaptasi dari Jalaluddin As-Suyuthi, Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, atau Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, terj. Tim Abdul Hayyie (Gema Insani), hlm. 393 – 397.