Ayat 3, yaitu firman Allah ta’ala,
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu’min.” (an-Nuur: 3)
Sebab Turunnya Ayat
An-Nasa’i meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bahwa dahulu ada seorang wanita bernama Ummu Mahzul yang berprofesi sebagai pelacur, lalu ada salah satu sahabat Nabi saw. yang ingin mengawininya. Maka Allah menurunkan ayat, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik;…” (373)
Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan al-Hakim meriwayatkan dari hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa dahulu seorang laki-laki yang bernama Mazid dibawa dari tawanan di Mekah hingga sampai di Madinah. Dia punya seorang kawan wanita di Mekah yang beranama Inaq. Dia minta izin kepada Nabi saw. untuk mengawini wanita tersebut, akan tetapi beliau sama sekali tidak menjawab, hingga turun ayat,'”Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik;,…”
Maka Rasulullah bersabda, “Hai Mazid! Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik;… Karena itu, jangan mengawininya!” (374)
Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Mujahid bahwa ketika Allah mengaharamakan zina –padahal para wanita pelacur itu cantik-cantik– an-Nasik berkata, “Biarlah mereka bebas dan menikah.” Maka turunlah ayat ini. (375)
Ayat 6-8, yaitu firman Allah ta’ala,
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.” (an-Nuur: 6-8)
Sebab Turunnya Ayat
Al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa di hadapan Nabi saw. Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina dengan Syuraik bin Sahma’. Nabi saw. bersabda kepadanya, “Keluarkan saksi! Kalau tidak, kamu harus menerima hukuman had.” Ia berkata, “Rasulullah , kalau salah seorang dari kami melihat lelaki lain bersama istrinya, apa mungkin dia pergi mencari saksi?!” Nabi saw. mengulangi sabdanya, “Keluarkan saksi! Kalau tidak, kamu harus menerima had.”
Hilal pun berkata, “Demi Allah yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, saya berkata apa adanya. Semoga Allah menurunkan ayat yang membebaskan punggung saya dari hukuman had.” Maka Jibril turun membawa firman Allah, “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.” (376)
Ahmad meriwayatkan dengan lafazh bahwa ketika turun ayat, “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar, “Sa’ad bin Ubadah –yang merupakan pemimpin Anshar– berkata, “Apakah demikian ayat itu diturunkan, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Hai orang-orang Anshar, apakah kalian tidak mendengar ucapan pemimpin kalian ini? Mereka menyahut, “Wahai Rasulullah, jangan salahkan dia! Dia seorang yang amat pencemburu. Sungguh, tidak pernah ia mengawini wanita lalu ada seorang di antara kami yang mengawini (bekas istrinya itu) karena saking besarnya cemburunya.”
Sa’ad berkata, “Rasulullah, saya sungguh tahu bahwa ayat itu benar dan bahwa ia dari Allah. Hanya saja saya merasa heran bahwa kalau saya mendapat istri saya disetubuhi seorang laki-laki, saya tidak boleh menyeretnya atau menggerakkannya sebelum membawa empat orang saksi!”
Tidak lama kemudian datanglah Hilal bin Umayyah, salah satu dari tiga orang yang diterima tobatnya. Dia datang dari kampungnya pada waktu isya, dan ia dapati seorang lelaki sedang bersama istrinya. Ia lihat dengan matanya dan ia dengar dengan telinganya sendiri. Dia tidak bertindak apa-apa hingga pagi harinya. Lalu ia pergi menemui Rasulullah dan melapor, “Saya pulang ke rumah pada waktu isya. Saya dapati istri saya bersama seorang lelaki. Saya saksikan dengan mata saya dan saya dengar dengan telinga saya!” Rasulullah tidak senang dengan laporan yang dibawanya. Orang-orang Anshar berkumpul dan berkata, “Kita telah ditimpa peristiwa seperti yang dikatakan Sa’ad bin ‘Ubadah. Sekarang Rasulullah akan mencambuk Hilal bin Umayyah dan membatalkan persaksiannya di masyarakat!”
Hilal berkata, “Demi Alalh, saya berharap Allah memberi jalan keluar bagi saya dari hukuman.” Demi Allah, Rasulullah sudah hendak memerintahkan pelaksanaan hukuman cambuk, ketika tiba-tiba Allah menurunkan wahyu kepada beliau sehingga para sahabat menahan pelaksanannya hingga beliau selesai menerima wahyu. Saat itulah turunnya ayat, “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”
Abu Ya’la meriwayatkan hal senada dari hadits Anas. (377)
Al-Bukhari dan Muslim serta yang laing meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad bahwa Uwaimir datang menemui Ashim bin Adi. Katanya, ‘”Tolonglah aku bertanya kepada Rasulullah. Kalau ada seorang laki-laki mendapati lelaki lain bersama istrinya lalu ia membunuhnya, apakah dia akan dibunuh sebagai hukuman qishash, atau bagaimana?” Lalu ‘Ashim menanyakan hal itu kepada Rasulullah, dan beliau mengecam si penanya. Ketika berjumpa lagi, Uwaimir bertanya, “Apa kabar?” Ia menjawab, “Apa kabar?! Kamu tidak membawa kebaikan buatku! Aku sudah bertanya kepada Rasulullah, tapi beliau malah mengecam si penanya!” “Kata ‘Uwaimir, “Demi Allah, saya akan datangi Rasulullah dan saya akan bertanya sendiri!” Lalu ia pergi bertanya dan Rasulullah mengatakan, “Telah diturunkan beberapa ayat kepadaku mengenai dirimu dan istrimu.” (378)
Al-Hafizh Ibnu Hajjar berkata, “Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ada yang mentarjih bahwa ayat-ayat ini turun tentang Uwaimir, dan ada pula yang mentarjih bahwa ia turun tentang urusan Hilal, juga ada yang mengompromikan antara keduanya bahwa yang pertama-tama terjadi adalah urusan Hilal lalu kebetulan saat itu juga Uwaimir datang, jadi ayat-ayat tersebut turun mengenai keduanya. An-Nawawi, diikuti oleh al-Khathib, cenderung kepada kompromi ini. Katanya, ‘Barangkali keduanya kebetulan terjadi pada waktu bersamaan.'”
Kata al-Hafizh Ibnu Hajjar, “Ada kemungkinan bahwa ayat itu telah turun disebabkan peristiwa Hilal; dan ketika Uwaimir –yang tidak mengetahui peristiwa yang dialami Hilal– datang, Nabi saw. memberitahunya tentang hukumnya. Oleh sebab itu, beliau mengeluarkan sabda seperti itu dalam kisah Hilal, lalu Jibril turun, sedangkan dalam kisah Uwaimir beliau bersabda, “Allah telah menurunkan ayat tentang dirimu.’ Ucapan beliau, ‘Allah telah menurunkan ayat tentang dirimu, ‘diartikan, ‘…Tentang siapa pun yang mengalami seperti apa yang kau alami.’ Jawaban inilah yang dikemukakan oleh Ibnush Shabbaagh dalam asy-Syaamil. Sementara al-Qurthubi cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa ada kemungkinan ayat ini turun dua kali.” (379)
Al-Bazzar meriwayatkan dari jalur Zaid bin Muthii’ dari Hudzaifah bahwa Rasulullah bertanya kepada Abu Bakar, “Kalau kamu lihat seorang laki-laki bersama Ummu Ruman, apa yang kamu lakukan terhadapnya?” Ia menjawab, “Saya pasti mengambil tindakan yang buruk terhadapnya.” Rasulullah bertanya, “Bagaimana denganmu, Umar?” Ia menjawab, “Saya akan mengatakan, ‘Allah mengutuk orang yang lebih lemah, dan sungguh dia orang yang keji.'” Maka turunlah ayat ini.
Kata al-Hafizh Ibnu Hajjar, “Tidak ada halangan sebab turunnya ayat banyak.” (380)
372. Al-Qurthubi mengatakan (6/4693), “Ia surah Madaniyyah dengan ijma’.”
373. Shahih. An-Nasa’i (379) dalam at-Tafsiir. Kata al-Haitsami (7/74), “Para perawi Ahmad tsiqah.” Kata al-Qurthubi (6/4703), “Dan wanita itu menetapkan syarat bahwa dialah yang akan memberi nafkah pada si pria.”
374. Hasan, diriwayatkan at-Tirmidzi (2177) dalam at-Tafsiir, dengan mengatakan, “Hasan ghariib.” Juga oleh al-Hakim (2/166) seraya menyatakan shahih, dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
375. Kata al-Qurthubi (6/4703), “Ayat ini turun tentang para penghuni” Shuffah (bilik kecil di samping masjid Nabawi). Mereka adalah beberapa orang Muhajirin yang tidak punya tempat tinggal ataupun kerabat di Madinah sehingga tinggal di shuffah masjid. Mereka berjumlah empat ratus orang. Mereka mencari rezeki di siang hari dan menginap di shuffah di malam harinya. Ketika itu di Madinah ada beberapa wanita pelacur, bergelimang kekejian, tapi punya banyak pakaian dan makanan. Para penghuni shuffah itu hendak mengawini mereka agar dapat tinggal di rumah para pelacur itu dan memakan makanan mereka sedrta mengenakan pakaian mereka. Maka turunlah ayat ini untuk melindungi mereka dari tindakan itu. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Abi Shaleh.” Menurut saya, hal ini ghariib (aneh) bagi para penghuni shuffah itu, yang merupakan orang-orang beriman dan berpegang kuat pada Al-Qur’an. Tidak mungkin mereka melakukan hal itu tidak pula membayangkannya, juga tidak meminta izin kepada Nabi saw. untuk melakukanya.
376. Shahih. Al-Bukhari (4747) dalam at-Tafsiir dan disebutkan oleh Ibnu Katsir (3/373) dalam tafsirnya. Kata al-Qurthubi (6/4719), “Sahma’ adalah nama ibunya. Ia dipanggil demikian karena kulitnya hitam. Ayahnya adalah Abdah ibnul-Jadd al-‘Ajlani.”
377. Shahih. Ahmad (1/238), dan Ibnu Jarir (18/65) dalam tafsirnya.
378. Shahih, muttafaq ‘alaih. Al-Bukhari (4745) dalam at-Tafsiir dan Muslim (1492) dalam al-Li’aan.
379. Kata al-Qurthubi (6/4719), “Pendapat yang masyhur adalah peristiwa Hilal terjadi lebih dulu (yakni sebelum peristiwa Uwaimir) dan merupakan sebab turunnya ayat.” Ibnu Katsir (3/377) menyebutkan riwayat ketiga, yang di dalamnya ia tidak menyebutkan nama si lelaki dan si wanita.
380. Lihat Fathul Baari (8/450) dan ad-Durrul Matsuur (5/26).
Sumber: Diadaptasi dari Jalaluddin As-Suyuthi, Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, atau Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, terj. Tim Abdul Hayyie (Gema Insani), hlm. 388 – 393.