Penjelasan Surat An-Nisa’ Ayat 34 Tentang Superioritas Laki-laki Atas Perempuan (2)

Oleh: Syaikh Musthofa Al-Adawi

Dalam tulisan sebelumnya tentang Penjelasan Surat An-Nisa, 34 Tentang Superioritas Laki-laki atas Perempuan (1) telah dijelaskan beberapa masalah, di antaranya alasan mengapa laki-laki berkewajiban menjadi pemimpin rumah tangga, begitu juga kewajiban-kewajiban suami dalam memimpin rumah tangga dan kewajiban istri yang harus taat kepada suami selama tidak bertentangan dengan aturan Allah Ta’ala.

Tetapi pada realitanya, tidak bisa dipungkiri bahwa akan terjadi permasalahan dalam suatu keluarga, mungkin dari suami yang kurang bertanggung jawab, atau dari pihak istri yang tidak taat pada suami. Seluruh permasalahan ini tentunya muncul karena adanya godaan syetan yang menyusupi rumah tangga. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan dibahas, bagaimana sikap yang harus diambil untuk mengatasi godaan syetan yang bisa berakibat pada pecahnya keharmonisan rumah tangga?

Syaikh Musthofa Al-Adawi berkata:

Tidak dipungiri bahwa syetan akan senantiasa menggoda hamba-hamba Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: ” Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”. (Al-Isra: 53) Dan dalam firman yang lain, “wahai Rabbi, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan godaan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau Ya Rabbi, dari kedatangan mereka kepadaku”. (Al-Mukminûn: 97-98)

Oleh karenanya, Allah memerintahkan kita untuk selalu meminta perlindungan kepada-Nya dari godaan, bisikan dan kehadiran syetan, terutama dengan membaca ta’awudz. Ayat di atas menunjukkan bahwa syetan dalam usahanya mengganggu manusia ada yang sifatnya menggoda, ada pula yang dengan cara memberikan penyakit. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang termaktub dalam Shahih Muslim,

“Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Di antara mereka ada yang melapor, ‘Saya telah melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melakukan apa-apa.’ Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya.’ Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata, ‘Sebaik-baik setan adalah kamu.’” (HR. Muslim, no.2813).

Hadits di atas seharusnya menjadi peringatan bagi pasangan suami istri (pasutri), setiap pasutri harus menghindari marah, jangan sampai dengan marah bisa menimbulkan permasalahan atau bahkan perceraian.

Coba kita ambil hikmah dari Nabi kita, khalilullah Ibrahim alaihissalam dan istrinya. Ketika itu Nabi Ibrahim menikah dengan Sarah, seorang perempuan tercantik di zamannya. Ketika Ibrahim dan Sarah datang ke suatu kaum, mereka didatangi oleh raja yang dzalim, raja yang dzalim ini ternyata tertarik dengan Sarah. Tapi Nabi Ibrahim tidak lekas marah, beliau hanya menasihati Sarah supaya meminta perlindungan pada Allah. Ketika sang raja dzalim ingin berbuat buruk pada Sarah, Sarah selalu berdoa dan seketika tubuh raja dzalim itu tidak bisa bergerak. Kejadian ini berulang sampai tiga kali, hingga akhirnya sang raja marah dan memanggil prajuritnya untuk membebaskan Sarah, bahkan karena rasa takutnya sang raja sampai berkata, “Keluarkan dia, dia bukan manusia tapi setan.” Sang raja pun memberikan imbalan budak pada Sarah, budak inilah yang bernama Hajar yang akhirnya dinikahi oleh Nabi Ibrahim atas saran dari Sarah, karena Sarah merasa bersalah tidak bisa memberikan keturunan pada Nabi Ibrahim, serta sebagai bentuk cinta dan baktinya kepada Ibrahim. Ibrahim pun dikaruniai seorang anak dari rahim Hajar, yaitu Nabi Ismail. Dari kisah ini, kita bisa ambil pelajaran bagaimana seorang Sarah rela berkorban untuk dimadu asalkan rumah tannganya dengan Nabi Ibrahim tetap terjaga.

Kisah penuh makna juga dialami oleh Nabi Ayyub dan Istrinya, ketika Nabi Ayyub sedang diuji dengan sakit bertahun-tahun, beliau bersumpah jika diberi kesembuhan akan memukul istrinya 100 kali. Tapi setelah beliau sembuh dan ingin memenuhi janjinya pada Allah, Allah berfirman, “

“Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat ta’at (kepada Tuhan-nya)” (Shad: 44)

Lihatlah, Allah Ta’ala memberikan keringanan dan rahmatnya kepada istri Nabi Ayyub berkat ketaatan dan baktinya kepada Allah juga kepada suaminya walaupun ditimpa berbagai ujian, dari mulai penyakit berkepanjangan yang meninpa Nabi Ayyub bahkan sampai mereka dikucilkan oleh keluarga dan tetangga.

Masalah keluarga juga pernah dialami oleh Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa salam bersama para istrinya, Imam Muslim menyebutkan dalam riwayatnya,

Diriwayatkan dari Jabir radhiallahu anhu ia berkata “Suatu hari Abu Bakar radhiallahu anhu datang ke rumah Nabi Shalallhu alaihi wa sallam dan mendapati para sahabat sedang duduk di depan rumah Nabi. Tak seorang pun diizinkan masuk. Rasulullah Shalallhu alaihi wa sallam mengizinkan Abu Bakar masuk. Kemudian datang Umar bin Khattab dan minta izin masuk. Rasulullah Shalallhu alaihi wa sallam mengizinkannya. Mereka mendapati Nabi SAW sedang duduk dan istri-istrinya di sekelilingnya. Rasulullah Shalallhu alaihi wa sallam diam membisu. Kemudian Umar berkata “Sungguh aku akan menceritakan sesuatu yang akan membuat Nabi tersenyum. Sungguh aku akan mengatakannya agar beliau tertawa, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang puteri si Zaid itu(istri Umar bin Khattab radhiallahu anhu sendiri) yang baru saja merengek minta nafkah kepadaku. Karena jengkel aku cekik saja lehernya”

Nabi pun tersenyum hingga tampak gerahamnya dan berkata “Kau lihat sendiri mereka istri-istriku yang ada di sekelilingku juga minta tambahan nafkah kepadaku”. Kemudian Abu Bakar radhiallahu anhu berdiri dan berjalan kearah Aisyah lalu mencekiknya. Demikian juga Umar berdiri dan berjalan kearah Hafshah lalu mencekiknya. Keduanya mengatakan “Apakah kalian tega merengek meminta kepada Rasulullah Shalallhu alaihi wa sallam apa yang tidak beliau miliki”.

Kemudian Rasulullah Shalallhu alaihi wa sallam menjauh dari istri-istrinya selama satu bulan atau dua puluh sembilan hari hingga turunlah ayat “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, `Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya aku berikan kepada kalian mut`ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki kerelaan Allah dan RasulNya serta kesenangan akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantara kalian pahala yang besar” (Al-Ahzab ayat 28-29)

Dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah pun juga ada permasalahan keluarga, baik itu marah dan sebagainya, tapi setiap permasalahan itu bisa diselesaikan dengan bijak oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Sehingga dengan itu permasalahan mudah diselesaikan, bahkan semakin menambah kecintaan dalam rumah tangga beliau.

Begitu juga dalam kisah sahabat Abu Bakar As-Shiddiq, sebagaimana dalam riwayat Bukhari disebutkan,

Dari Abdurrahman bin Abu Bakr radliallahu ‘anhuma bahwa Abu Bakar kedatangan tamu beberapa orang, lalu dia berkata kepada Abdurrahman; Layani tamu-tamumu dengan baik, karena aku hendak menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pergilah untuk menjamu mereka sebelum aku kembali. Lantas Abdurrahman beranjak dan menjamu apa yang dia miliki kepada mereka, lalu dia berkata; Silahkan makan. Namun mereka berkata; Kemanakah tuan rumah? Abdurrahman berkata; Makanlah. Mereka tetap berkata; Kami tidak akan menyantap makanan sampai tuan rumah datang. Abdurrahman berkata; Terimalah jamuan kalian ini, karena bila ia datang, sedangkan kalian belum memakannya, dia akan membuangnya. Namun mereka tetap menolaknya, maka akupun tahu kalau Abu Bakr akan memarahiku, ketika dia datang, aku langsung menghidar darinya, Abu Bakr berkata; Apakah kalian telah memakannya? maka mereka mengabarinya (bahwa mereka belum menjamahnya), maka Abu Bakr menyeru; Wahai Abdurrahman? aku pun terdiam, kemudian dia berkata lagi; Wahai Abdurrahman? aku tetap diam, lalu dia berkata; Wahai Ghuntsar (sebutan untuk Abdurrahman), aku bersumpah kepadamu, jika kamu mendengar suaraku. Ketika aku datang dan keluar, aku langsung berkata; Tanyalah kepada para tamumu. Mereka pun menjawab; Dia benar, dia telah menyodorkannya kepada kami. Abu Bakr berkata; Apakah kalian menungguku?, demi Allah aku tidak akan makan malam ini. Dan yang lain pun menimpali; Demi Allah, kami tidak akan memakannya hingga kamu memakannya lebih dulu. Abu Bakr berkata; Aku sama sekali tidak pernah melihat keburukan seperti yang terjadi malam ini.’ Celakalah kalian kenapa kalian tidak mau menerima hidangan kami? Berikanlah makananmu kepadaku, lalu disodorkanlah makanan tersebut kepadanya kemudian dia meletakkan di tangannya dan berkata; Dengan nama Allah, (sumpah) yang pertama adalah untuk syetan. Lalu Abu Bakr memakannya dan mereka pun ikut makan.

Dari berbagai kisah di atas bisa kita ambil pelajaran yang sangat berharga. Jika terjadi suatu konflik atau masalah dalam rumah tangga, hendaknya kita berlindung kepada Allah dari kemarahan, sebab kemarahan itu datangnya dari syetan, dan syetan terbuat dari api, dan api akan mati dengan air, makanya kita dianjurkan berwudhu ketika sedang marah. Rasulullah juga mengajarkan ketika kita marah hendaknya kita merubah posisi kita dari berdiri jadi duduk, kalau masih marah berbaring, dan seterusnya sampai marah kita reda.

Satu kisah lagi dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, seorang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak, dengan istrinya Fatimah, pemimpin wanita surga. Merekalah contoh keluarga barokah, namun walaupun begitu mereka tetaplah manusia yang kadang mempunyai masalah keluarga. Dalam sebuah riwayat disebutkan,

Dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa’d dia berkata; Tidak ada nama (julukan) yang paling disukai Ali selain Abu Turab, dan dia sangat senang bila dipanggil dengan nama tersebut, suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke rumah Fatimah radhiallahu anha, namun beliau tidak menjumpai Ali di rumahnya. Maka beliau bertanya; ‘Di manakah anak pamanmu? ‘ Fatimah menjawab; ‘Sebenarnya antara saya dan dia ada permasalahan, malah dia memarahiku. Setelah itu, ia keluar dan enggan beristirahat siang di sini.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada seseorang; ‘Lihatlah, di manakah dia berada! ‘ Tidak lama kemudian, orang tersebut datang dan berkata; ‘Wahai Rasulullah, sekarang dia tengah tidur di masjid.’ Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi Ali ketika ia sedang berbaring, sementara kain selendangnya jatuh dari lambungnya hingga banyak debu yang menempel (di badannya). Kemudian Rasulullah mengusapnya seraya bersabda: ‘Bangunlah hai Abu Turab! Bangunlah hai Abu Turab!

Dari kisah di atas dapat diambil beberapa pelajaran, di antaranya, bahwa hendaknya seorang ayah yang memiliki anak perempuan yang sudah menikah sesekali mengunjunggi tempat tinggal anaknya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam mengunjungi Fatimah tengah malam untuk membangunkan mereka supaya qiyamullail, atau seperti Abu Bakar mengunjungi Aisyah dan juga Umar mengunjungi Hafsah.

Kemudian, jika terjadi konflik atau marah dalam rumah tangga, sebaiknya suami atau istri jangan pergi dari rumah mereka kemudian pulang ke rumah keluarganya. Tetapi kalau memang terpaksa harus ada yang keluar dari rumah sementara untuk memperbaiki suasana rumah tangga, hendaknya sang suamilah yang keluar, bukan pulang ke rumah keluarganya, akan tetapi dia lebih baik keluar dan pergi ke masjid untuk menenangkan diri, sebagaimana yang sudah dicontohkan Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu.

(Artikel ini diterjemahkan dari catatan Abu Hamam As-Sa’di di saaid.net oleh tim redaksi alislamu.com dengan sedikit editing)