Serangan Riffat terhadap Hadits tentang Perempuan (Bagian Kedua)

Soal serangan Riffat terhadap sanad, sama sekali tidak berarti. Karena hadits tentang perempuan ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka. Ini merupakan derajat tertinggi, seperti ditetapkan para ahli hadits. Para imam hadits dan ahlinya, sejak dulu hingga sekarang, telah mempelajari illat (penyakit) hadits dan tidak seorang pun yang mengisyaratkan terdapatnya cacat dalam hadits ini. Hal ini menunjukkan pada kesepakatan mereka tentang keshahihan dan kedudukannya sebagai hujjah.

Selain Riffat, saya tidak menemukan orang yang melemahkan hadits ini, yang ketika melemahkan hadits ini mengambil sikap aneh dan berbeda dari ahli-ahli hadits. Lalu, pandangana siapa yang pantas dipegang? Kesepakatan para imam atau pendapat aneh dari seorang Riffat yang tidak kita kenal?

Beberapa klaim Riffat perlu dikoreksi, seperti dalam beberapa poin berikut. Pertama, Riffat melemparkan tuduhan terhadap Abu Hurairah atas nama Abu Hanifah. Ia menulis Abu Hurairah sebagai sahabat Nabi yang dianggap kontroversial oleh banyak ilmuwan Islam pada masanya, termasuk oleh Imam Abu Hanifah.

Ini adalah kebohongan. Penghinaan terhadap Nabi ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan Abu Rayyah dalam bukunya Al-Adhwa ‘ala as-Sunnah al-Muhammadiyah, sebuah buku yang tidak bernilai di mata ulama, tetapi disanjung-sanjung oleh kaum orientalis dan murid-muridnya. Penulis yakin Riffat mencuri ungkapan ini dari Abu Rayyah, meskipun ia tidak menyebutnya.

Abu Rayyah menulis, “Dan diriwayatkan dari Abu Yusuf, ‘Aku berkata kepada Abu Hanifah, ‘Para sahabat semuanya adalah adil (memiliki integritas yang baik) kecuali beberapa orang dan ia memasukkan di dalamnya Abu Hurairah dan Anas bin Malik’.” (Abu Rayyah, Adhwa ‘ala as-Sunnah an-Nabawiyah, hlm. 170).

Abu Rayyah juga mencuri perkataan ini dari orang lain. Syaikh Abdur Rahman al-Muallami menyebutkan sumbernya yang tidak disebutkan Abu Rayyah, yaitu Syarah Nahj al-Balaghah oleh Ibnu Abi al-Hadid, dari Abi Ja’far al-Askafi. (Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahj al-Baghah, juz 1, hlm. 360, dinukil dari Al-Mu’allami, Al-Anwar al-Kasyifah, hlm. 176). Kedua orang ini, Ibnu Abil Hadid dan Abi Ja’far al-Askafi, adalah dha’if (lemah).

Jelas bahwa perkataan ini tidak bersumber dari Abu Yusuf dan Abu Hanifah. Pasalnya, dua tokoh ini memiliki pandangan seperti yang dianut Ahlus Sunnah bahwa semua sahabat, tanpa kecuali, adalah adil (memiliki integritas yang baik).

Klaim Riffat bahwa Abu Hanifah menuduh Abu Hurairah kontroversial, juga tidak benar. Bukti paling menyakinkan adalah tindakan Abu Hanifah menerima dan menjadikan hujjah banyak hadits Abu Hurairah.

Diriwayatkan oleh Muhammad Ibn al-Hasan asy-Syaibani, seorang sahabat Abu Hanifah, ia berkata, “Utsman bin Abdullah bin Wahab rhm. menceritakan kepada kami bahwa ia shalat di belakang Abu Hurairah, maka bertakbir setiap sujud dan bangkit dari sujud.” Muhammad berkata, “Riwayat ini menjadi pegangan kami sekaligus mazhab Abu Hurairah r.a.” (Muhammad bin Al-Hasan asy-Syaibani (132-189 H), Al-Atsar, terbitan Dar Al-Qur’an wa asy-Syu’un al-Islamiyyah, Pakistan, cet. pertama, 1407, hlm. 15).

Demikian pula, mazhab Abu Hanifah mengambil fatwa Abu Hurairah dalam masalah mencuci bejana dari jilatan anjing sebanyak tiga kali. Dalam masalah ini, Ibnu Hajar berkata, “Pengikut mazhab Hanafi tidak mengharuskan mencuci tujuh kali atau secara tertib. Ath-Thahawi mengemukakan beberapa alasan, di antaranya adalah Abu Hurairah yang meriwayatkan hadits tersebut berfatwa dengan tiga kali cucian, maka dengan begitu keterangan jumlah tujuh kali dianggap telah terhapus.” (Abdul Mun’im Shaleh al-‘Ali, Difa’an Abi Hurairah, Maktabah an-Nahdhah, Baghdad, dan Dar asy-Syuruq, Beirut, cet. pertama, tahun 1393 H/1973 M, hlm. 244).

Selain itu, terdapat banyak hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Abu Hanifah dan Abu Yusuf dalam kitabnya, Al-Atsar. (Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari (182 H), Al-Atsar, komentar Abul Wafa’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tahun 1355 H, hlm. 22, 27, 55, 107). Demikian pula musnadnya yang diriwayatkan Al-Hashkafi Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani, sahabat Abu Hanifah, merupakan seorang rawi terkenal dari kitab Al-Muwattha’ karya Imam Malik yang penuh dengan riwayat Abu Hurairah.

Di sini tampak bahwa Abu Hanifah dan sahabatnya menerima riwayat dari Abu Hurairah dan menjadikannya hujjah. Tuduhan Riffat tentang Abu Hurairah dan Abu Hanifah adalah kebohongan ganda.

Kedua, kebohongan Riffat tampak dari tulisannya yang mengasumsikan bahwa Abu Hurairah semasa dengan Abu Hurairah. Padahal, Abu Hanifah tidak pernah bertemu langsung dengan Abu Hurairah karena Abu Hurairah wafat–menurut pendapat yang terkenal pada tahun 59 H–dan Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 H. (Muhammad M. as- Samahi, Abu Hurairah fi al-Mizan, Mathba’ah al-Azhar, Kairo, tahun 1377 H, hlm. 210).

Ketiga, Rifat menulis bahwa kritik para rawi merupakan karakter generasi awal. Di sini perlu kiranya dinyatakan bahwa pada masa awal Islam, sikap yang kritis terhadap hadits dan perawi hadits merupakan hal yang umum, namun pada masa-masa selanjutnya sikap kritis terhadap sahabat dianggap sebagai kejahatan besar.

Ini adalah tuduhan palsu. Telah dijelaskan sebelumnya, ketika membantah Harun Nasution bahwa keharusan menggunakan sanad dimulai sejak terjadinya fitnah (peristiwa huru-hara), tak lama setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan. Adapun sebelum itu, para sahabat belum menanyakan soal sanad, seperti ditegaskan Ibnu Sirin. Tidak benar bahwa kritik terhadap para perawi merupakan karakter generasi awal. Bila Riffat berpendapat lain, ia harus memberikan bukti.

Soal sebagian sahabat yang bersikap hati-hati menerima hadits telah diterangkan bahwa hal itu tidak didasari oleh kecurigaan atas integritas sahabat lain. Pasalnya, seluruh sahabat itu memiliki integritas yang teruji. Tidak pernah terbukti bahwa seorang sahabat Nabi mengatakan sesuatu berasal dari Rasulullah dan beliau tidak pernah mengatakannya. Allah telah menjaga mereka dari hal itu, dan memuji mereka dengan sebaik-baik pujian. Allah berfirman, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” (At-Taubah: 100).

Al-Ghazali menulis tentang integritas para sahabat r.a., “Keyakinan generasi salaf umat ini, dan mayoritas ulama khalaf bahwa integritas para sahabat telah diketahui melalui penilaian Allah terhadap mereka dan pujian-Nya yang tertuang dalam kitab-Nya. Itulah keyakinan kita terhadap mereka. Kecuali jika terbukti secara qath’i bahwa salah satu dari mereka melakukan kefasikan padahal ia tahu, dan hal itu tidak terbukti, maka tidak diperlukan lagi penilaian integritas mereka.” (Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Darul Ulum al-Haditsah, Beirut, juz 1, hlm. 164; Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah, hlm. 46-49). Kemudian, beliau menyebutkan ayat yang berisi pujian terhadap mereka.

“Kamu adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia.” (Ali Imran: 110).

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia ….” (Al-Baqarah: 143).

Ayat-ayat itu ditujukan untuk mereka yang hidup pada zaman itu (sahabat). Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji kepadamu ….” (Al-Fath: 18). Selanjutnya, Allah berfirman, “Dan orang-orang yang pertama masuk Islam.” (At-Taubah: 100).

Allah SWT telah menyebutkan kaum Muhajirin dan Anshar dalam banyak tempat dan memuji mereka dengan baik, sebagaimana Nabi saw. sendiri memuji mereka dalam sabdanya, di antaranya, “Sebaik-baik umatku adalah pada masaku, kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya.” (Shahih Bukhari, Kitab Fadha’il ash-Shahabah, Bab Fadha’il Ashhab an-Nabi saw., juz 3, hlm. 6. no hadits 3.650).

Selanjutnya, Al-Ghazali menegaskan, “Penilaian manakah yang lebih shahih daripada penilaian Allah SWT Yang Maha Mengetahui urusan gaib dan penilaian Rasul saw.? Bahkan, sekiranya tidak terdapat pujian untuk mereka, maka apa yang telah masyhur dan diterima secara mutawatir tentang pengorbanan mereka dalam hijrah dan jihad, mengerahkan segala daya upaya dan harta, memerangi ayah dan keluarga demi kecintaan dan pembelaan terhadap Rasulullah, sudah cukup untuk menetapkan secara mutlak tentang hebatnya integritas mereka.” (Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Darul Ulum al-Haditsah, Beirut, juz 1, hlm. 164; Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah, hlm. 46-49).

Kritik lain yang ditujukan terhadap sanad tidak perlu ditanggapi, karena tidak menyertakan satu dalil pun. Ini adalah tindakan yang sangat jauh dari sikap ilmiah yang benar. Bagaimana mungkin Riffat menuduh bahwa dalam sanad hadits terdapat beberapa rawi yang tidak dapat dipercaya, tanpa menyebutkan satu pun.

Bahkan, Riffat tidak mengerti tentang prinsip-prinsip dasar ilmu mushthalah hadits, dengan mengatakan bahwa al-gharib adalah derajat rendah dalam tingkatan hadits. Ulama mana yang mengatakan hal ini?

Riffat juga melontarkan gagasan yang mengundang tawa sekaligus menunjukkan ketidaktahuannya tenang dasar-dasar ilmu mushthalah yang paling sederhana sekalipun. Ia menulis, “Para ahli hadits terkemuka menganggap satu hadits dipandang shahih, pertama jika diceritakan oleh seorang sahabat, kedua jika diceritakan oleh dua orang pengikut Nabi, dan ketiga jika diceritakan oleh banyak orang.”

Di sini jelas bahwa tuduhan Riffat sama selaki tidak benar. Ia tampak tidak jujur dalam beberapa masalah ketika sikap emosional mengalahkan rasionalitasnya. Ini adalah salah satu tabiat perempuan yang dilakukan tetapi tidak diakuinya.

Hadits tentang perempuan ini telah terbukti keshahihannya karena ia diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam dua kitab shahihnya. Tak satu pun ulama yang mengatakan hadits ini dha’if. Akan tetapi, hadits ini butuh pemahaman lebih teliti hingga tidak bertentangan dengan sikap Islam terhadap perempuan.

Sumber: Diadaptasi dari Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, M.A. (Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 136-142).

Oleh: Abu Annisa