
Arab News menuliskan berita tentang reaksi di Indonesia atas eksekusi mati Ruyati. Pada hari yang sama, mereka juga menurunkan tulisan tentang penyebab Ruyati dihukum mati.
Mereka mengutip sumber dari Kementerian Dalam Negeri Arab saudi yang mengatakan hukuman Royati – demikian mereka menulis nama Ruyati – tak mungkin diampuni.
Royati Beth Sabotti Sarona dinyatakan bersalah membunuh Khairiya Hamid binti Mejlid dengan memukul berkali-kali di kepala dengan sebuah palu daging dan menikam di lehernya, kata kementerian itu menjelaskan.
Kementerian itu tidak merinci motif kejahatan, juga tidak mengungkapkan hubungan antara dua wanita itu. “Polisi menangkap pelayan segera setelah kejahatan dan setelah penyelidikan kasus itu diteruskan ke Pengadilan Syariah, yang menjatuhkan hukuman mati. Putusan itu kemudian disahkan oleh Pengadilan Banding,” kata kementerian itu.
Kejahatan berlangsung sekitar satu setengah tahun lalu dan direncanakan, kata mereka. Dia menunggu sampai keberangkatan putra majikannya yang berusia 70 tahun itu untuk bekerja. Sementara, saat sang majikan melakukan shalat Dhuha, ia memukul kepalanya dengan palu beberapa kali. Ketika wanita Saudi berusaha untuk lari ke ruangan lain, dia mengikutinya dan ditusuk di leher.
Pelayan itu, setelah mencuci noda-noda darah dari tangannya, mencoba melarikan diri. Dia meninggalkan TKP dengan taksi, tetapi sopir taksi merasa ada sesuatu yang salah dengan wanita itu dan menyerahkan ke kantor polisi Al-Mansour. Polisi kemudian melakukan investigasi dan dia mengakui kejahatannya.
Media ini menutup tulisannya dengan menyatakan sekitar 70 persen dari 1,2 juta warga Indonesia di Arab Saudi adalah bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Pengamat: “Adanya diskriminasi penerapan hukum oleh pemerintah Arab Saudi”
Pengamat masalah Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, mengungkapkan Arab Saudi sangat keras memberlakukan Qishas terhadap warna negara lain, tetapi tidak untuk kasus pembunuhan yang dilakukan oleh warga Arab Saudi sendiri.
Ia juga berpendapat bahwa hukuman pancung yang dilakukan terhadap tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di Arab Saudi, Ruyati, menunjukkan sikap Arab Saudi yang merendahkan Indonesia.
“Apalagi sejak proses hukum dimulai hingga eksekusinya, ternyata pihak pemerintah Indonesia tidak pernah mendapatkan pemberitahuan,” kata Machmudi melalui siaran pers, di Jakarta, Senin (20/6/2011).
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UI itu mengatakan, rendahnya posisi tawar Indonesia berhadapan dengan pemerintah Arab Saudi dapat dilihat dari berbagai kasus yang menimpa warga negara Indonesia di Arab Saudi. Mulai dari kasus penyiksaan, pemerkosaan hingga pembunuhan terhadap warga negara Indonesia dan penyelesaiannya selalu tidak menguntungkan warga Indonesia.
“Seringkali kasus pembunuhan yang dituduhkan kepada warga negara Indonesia berawal dari kasus-kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh warga Arab Saudi. Hanya saja karena tidak adanya perlindungan hukum bagi para tenaga kerja Indonesia, maka sebagian besar kasus-kasus itu berujung pada hukuman mati,” paparnya.
Ia menambahkan pada umumnya warga negara Indonesia yang dituduh melakukan pembunuhan itu terpaksa melakukannya hanya karena membela diri. Sementara itu ia juga mengatakan bahwa hukum di Arab Saudi cenderung memberikan diskriminasi terhadap warga negara asing, terutama Indonesia.
“Mereka sangat keras dalam menerapkan hukuman “qishas” kepada warga negara Indonesia tetapi tidak untuk kasus pembunuhan yang dilakukan oleh warga Arab Saudi. Padahal pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang Saudi sering dibarengi dengan penyiksaan dan tindakan-tindakan lain yang tidak manusiawi”, Ujar Machmudi.
Ia mencontohkan, kasus yang menimpa Darsem binti Tawar, dimana Darsem dapat lolos dari hukum pancung asalkan mau membayar diyat sebesar 2 juta riyal (4,6 miliar rupiah) sementara untuk kasus pembunuhan disertai penyiksaan yang dilakukan oleh warga Arab Saudi selalu berujung damai dan cukup membayar diyat tidak lebih dari 185.000 riyal (450 juta rupiah).
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Arab Saudi menganggap satu nyawa warganya setara dengan 10 nyawa warga Indonesia.
Lebih lanjut Machmudi menjelaskan bahwa kasus-kasus kematian tidak wajar yang dialami tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi tidak sedikit. Untuk tahun 2008 saja sebanyak 81 kasus dan tahun 2010 mencapai 156 kasus.
Sementara itu, Ketua Umum Front Komunitas Indonesia Sat (FKI-1) M Julian Manurung meminta agar Menteri Luar Negeri, Menteri Tenaga Kerja, Kepala BPN2TKI dan Kepala KBRI di Jedah bertanggungjawab terhadap kasus hukuman pancung yang dilakukan oleh Pemerintah Arab Saudi terhadap Ruyati karena telah lalai melakukan fungsi-fungsinya.
“Harus berapa orang lagi anak negeri ini yang akan menjalani hukuman negara lain tanpa sepengetahuan pemerintah RI,” tegas Julian Manurung yang mengaku prihatin dengan nasib para Migran Care.
Sementara itu, Sekretaris Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR RI, M. Hanif Dhakiri, juga meminta Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan BNP2TKI agar lebih proaktif menyikapi dan menangani perkembangan TKI di luar negeri, khususnya di Arab Saudi yang rawan kekerasan.
“Publik Indonesia tersentak dengan eksekusi Ruyati karena selama ini tidak cukup informasi tentang hal itu. BNP2TKI bersama Kemenlu mestinya lebih proaktif menangani perkembangan TKI, terutama di negara rawan kekerasan seperti Saudi,” kata Hanif di Gedung DPR RI, Jakarta.
Hanif menjelaskan masalah TKI memang kompleks. Namun demikian, adalah tanggung jawab negara untuk memastikan perlindungan warganya yang bekerja di luar negeri mulai dari yang bersangkutan keluar rumah hingga kembali lagi.
Hanif menilai BNP2KI yang berwenang menangani langsung mulai dari pelatihan, perjanjian penempatan, penempatan, perlindungan, dan pemulangan TKI merupakan sektor utama – bersama-sama dengan Kemenlu – harus bertanggung jawab atas semua WNI di luar negeri.
Sedangkan peran Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, perlu mendorong terus realisasi penandatanganan nota kesepahaman (SOM) mengenai perlindungan TKI dengan pemerintah Arab Saudi, disamping melakukan evaluasi terhadap Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang harus pula ikut bertanggung jawab. (Fani/rpb/arm)