Aktivis Islam Menghadapi Tantangan Global: Mengapa para penguasa di negeri-negeri Islam mengadopsi sekulerisme?

Globe

Sebab-sebab dan motif-motif yang mendorong kaum sekuler untuk mengadopsi hukum sekuler untuk negeri-negeri yang mereka perintah dan kuasai, sebagian besar berhubungan dengan tiga masalah utama berikut:

1. Rusaknya tashawwur (persepsi) tentang Islam.
2. Pengaruh pemikiran La diniyah.
3. Menjadi antek kaki tangan asing.

Kami akan mencoba menelusuri sebab-sebab dan motif-motif tersebut secara agak terperinci, kemudian membeberkannya secara gamblang dan kemudian menimbangnya berdasarkan timbangan ilmiah, agar orang yang ingin tahu dapat mengetahui dengan jelas apakah para penguasa sekuler di negeri-negeri Islam itu memang layak mengadopsi sekulerisme dan terseret dalam arus la diniyah, ataukan ia cuma sekedar kebohongan, fitnah dan kedustaan terhadap realita dan sejarah?

1. Rusaknya tashawwur tentang Islam

Kaum sekuler berdalih mengenai alasan mereka memakai hukum sekuler dengan hujah yang lemah dan sangkaan-sangkaan batil. Tidak dilandasi dengan alasan-alasan ilmiah dan tidak pula bertumpu pada kenyataan logis. Hujjah-hujjah mereka tidak mungkin diterima oleh orang yang memiliki ilmu, kepahaman, kesadaran dan akal sehat, yakni orang-orang yang mempelajari Islam secara benar di antara putra-putra Islam serta orang-orang Barat yang bersikap objektif!

Sangkaan-sangkaan yang mereka jadikan sebagai hujjah atasnya antara lain:

  1. Bangsa-bangsa yang maju sekarang ini, tiada mencapai puncak kesabaran, ilmu pengetahuan dan peradaban.., kecuali setelah mereka membatasi wilayah agama hanya dalam soal ibadah saja dan memisahkannya dari negara, pemerintahan dan politik.
  2. Islam hanya sesuai untuk pemerintahan di zaman dahulu, dan tidak cocok untuk diterapkan pada era nuklir, listrik dan ilmu pengetahuan.., sebab dinamika kehidupan di zaman sekarang sangat cepat berubah dan berkembang, rumit dan komplek permasalahannya.
  3. Bagaimana kita memperlakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani di negeri-negeri Islam, jika diberlakukan hukum Islam? Apa kita ingin memaksa mereka masuk Islam atau mengusir mereka dari tanah kelahiran mereka atau apa?

Itulah sangkaan-sangkaan yang dijadikan alasan kaum sekuler untuk menjauhkan Islam dari pemerintahan dan memisahkan agama dari negara.

Sangkaan-sangkaan ini muncul karena rusaknya tashawwur (persepsi) mereka terhadap Islam dan karena kebodohan mereka terhadap hakikat Islam.

Saya akan membantah anggapan-anggapan batil itu satu demi satu kemudian dapatkan anggapan-anggapan itu dibuktikan secara ilmiah dan dapat diterima akal sehat?

Sangkaan mereka bahwa bangsa-bangsa yang maju sekarang ini tiada mencapai puncak kebesaran dan peradabannya kecuali sesudah memisahkan agama dari negara…; satu sisi benar, tapi dari sisi lain salah.

Benar dari satu sisi: oleh karena bangsa Eropa saat mencanangkan pemisahan agama dari negara dan menjauhkan para pemuka agama dari urusan-urusan politik praktis…tindakan itu merupakan akibat logis dari berbagai kondisi buruk yang berkembang pada saat itu, antara lain: keluarnya gereja dari batas-batas kewenangannya dan tindakan para pemuka gereja yang menyelisihi ajaran Isa Almasih yang mengajarkan syiar, “Berikan pada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar dan beritakan kepada Tuhan apa yang menjadi hak-Nya.” Sebagaimana termaktub dalam Injil Matius. Bahkan persoalannya tidak sampai di situ saja, para pemuka agama Nasrani juga ikut campur tangan dalam urusan-urusan negara, masalah-masalah politik dan pemerintahan.

Maka wajar bila setelah itu timbul revolusi menentang gereja dan meletus perlawanan di mana-mana.

Salah dari sisi lain, oleh karena orang-orang sekuler tadi menganalogikan ajaran Islam Al-Masih dengan ajaran Islam dan pemuka agama Nasrani dengan para ulama dan ahli ilmu di kalangan kaum muslimin.

Ciri-ciri ajaran Isa Al-Masih adalah:

  1. Membawa misi perbaikan moral dan ketinggian rohani.
  2. Tidak mencampuri urusan-urusan negara dan pemerintahan.
  3. Sebagai penyempurna risalah Musa.
  4. Bukan sistem kependetaan (kepastoran) yang berisi dogma-dogma untuk menguasai hati dan kejayaan manusia.

Sedangkan ajaran Islam, turun dengan misi iqamatuddin dan daulah, memperbaiki akidah dan aturan hidup.

Dalam hal iqomatud dien, ajaran-ajaran Islam berdiri di atas pondasi dan landasan:

  1. Aqidah Rabbani: Akidah yang membebaskan akal manusia dari khurafat, bid’ah dan paganisme dan menyeru manusia untuk beriman kepada Allah Yang Maha Esa, menyeru kepada tauhid yang murni serta mensucikan Allah dari syirik (penyekutuan), tasybih (penyerupaan) dan tamtsiil (penyamaan) dengan makhluk-Nya.
  2. Ubudiyah yang murni: dengan mengesakan Allah dalam ibadah, tunduk pada hukumnya dalam segala urusan, dan menyerah pasrah pada ketentuan-Nya.
  3. Prinsip-prinsip akhlaq: dengan menyeru kepada akhlak yang mulia yang tercermin pada sifat shidiq, amanah, sabar, dermawan, pemberani, menolong yang susah, berbuat baik kepada tetangga, birrul wa lidain dan sebagainya.

Jika kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, niscaya kita akan melihat bahwa sebagian besar daripadanya menyeru kepada perbaikan masyarakat dalam hal pelurusan akidahnya, pendalaman ubudiyahnya dan peluhuran akhlaknya. Tujuan dari perbaikan ini adalah menumbuhkan kepribadian insan, memperbaiki perkataan dan perbuatannya, dan mengangkat manusia ke puncak keutamaan, kemuliaan dan keluhuran.

Dalam iqomatud daulah, sesungguhnya ajaran-ajaran Islam menegakkan bangunannya dan membatasi rambu-rambunya pada pilar-pilar sebagai berikut:

1. Rais, amir atau khalifah

Dipilih umat menurut pilihan dan kemauannya, sebagai implementasi firman Allah, “…dan urusan mereka (diputuskan) berdasarkan musyawarah antara mereka…” (Asy-Syura: 38).

Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Nabi saw, “Barangsiapa yang membai’at amir tanpa melalui musyawarah kaum muslimin, maka tiada bai’at baginya ataupun orang yang membai’atnya.”

Dan umat mempunyai hak untuk melepasnya dan mencopotnya jika pimpinan tersebut telah menyimpang dari Islam, berdasarkan perkataan Abu Bakar, “…taatlah kalian padaku sepanjang aku taat pada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika aku bermaksiat, tak ada kewajiban taat atas kalian padaku.”

2. Aparat negara/pemerintah

Dipilih yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus, tanpa memandang pertimbangan lain seperti kedudukan atau keturunan atau kekayaan apa yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Nabi saw:

“Barangsiapa memerintah urusan kaum muslimin, lalu dia mengangkat seseorang sebagai pimpinan mereka atas dasar rasa suka, maka atasnya laknat Allah.”

Dan Al-Hakim meriwayatkan pula dengan sanad shahih dari Nabi saw. beliau bersabda:

“Barangsiapa mengangkat seseorang sebagai pimpinan dari suatu kelompok (yakni jama’ah), padahal di antara mereka ada orang yang lebih diridhai Allah daripadanya, sungguh dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman.”

3. Hukum-hukum perdata, politik dan ekonomi

Islam telah menetapkan kaidah-kaidah globalnya dan prinsip-prinsip umumnya, dan memberikan ruang para mujtahid di setiap zaman dan tempat untuk melakukan ijtihad dalam hal aplikasinya, dan untuk memperluas masalah-masalah rinciannya agar dapat mendatangkan kemanfaatan bagi manusia dan menolak kerusakan daripada mereka…dengan syarat, ijtihad mereka tidak boleh berbenturan dengan nash yang qathi dari Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas atau kaidah fiqh yang baku.

4. Hukum pidana

Dalam syari’at Islam dikenal sebagai hukum hudud dan hukum ta’zir.

5. Pasukan yang kuat

Untuk menggentarkan musuh, melindungi negara, menolak permusuhan dari negeri Islam dan meninggikan kalimat Allah di muka bumi.., sedangkan syi’arnya dalam hal ini adalah firman Allah Ta’ala:

“Dan siapkanlah kekuatan apa saja yang kalian sanggupi untuk menghadapi mereka dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Dan apa saja yang kalian nafkahkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepada kalian dan kalian tidak akan dianiaya (dirugikan),” (Al-Anfaa: 60).

6. Peradilan yang independen dan pengaruh apapun

Tugas peradilan yang utama adalah mewujudkan keadilan di antara manusia dengan tanpa memandang kepada agama mereka, sedangkan syi’arnya dalam perkara ini adalah firman Allah Ta’ala:

“Dan jika kalian memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah kalian memutuskan perkara dengan adil,” (An-Nisa: 58).

7. Kerjasama internasional

Berdiri di atas asas kebijakan, keadilan dan hubungan yang baik, sedangkan syi’arnya dalam masalah ini adalah firman Allah:

“Allah tiada melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil,” (Al-Mumtahanah: 8).

8. Ajakan untuk mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat

Baik ilmu syar’I maupun ilmu kauni, teori atau praktek, sepanjang ilmu-ilmu itu untuk kemaslahatan dien dan dunia, sedang syi’arnya dalam masalah ini adalah firman Allah Ta’ala:

“Katakanlah, ‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah padaku ilmu pengetahuan’,” (Thaaha: 114).

9. Senantiasa berorientasi kepada kemuliaan dan kebesaran

Agar kaum muslimin dapat mengenakan mahkota kebesaran tersebut di kepala mereka dan mengangkat benderanya di alam semesta. Syi’arnya dalam hal ini adalah firman Allah Ta’ala:

“Kemuliaan itu adalah milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman, akan tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui,” (Al-Munafiquun: 8).

10. Senantiasa menjaga fikrah umum

Hal ini tercermain pada tatanan kontrol (masyrakat) yang berdiri di atas prinsip amar ma’ruf dan nahi mungkar, pengawasan terhadap pelaksanaan aturan-aturan Islam, mewujudkan berbagai maslahat umat, serta menolak bahaya dan kejahatan dari manusia. Islam telah menjadikan tatanan kontrol tadi sebagai tugas kolektif bagi kaum lelaki dan kaum wanita dalam kadar yang sama, sedangkan syi’arnya dalam perkara ini adalah firman Allah Ta’ala:

“Dan orang-orang mukmin lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi wali bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana,” (At-Taubah: 71).

Itulah prinsip-prinsip dan dasar-dasar utama yang menjelaskan bahwa Islam adalah dien dan daulah, aqidah dan tatanan hidup, mushhaf dan pedang, ibadah dan politik, tazkiyah dan jihad.

Tidak ditemukan dalam Islam yang namanya Rijaluddin dengan pengertian kependetaan menurut penganut agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi yang ada di dalam Islam adalah orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang syari’at, bahasa, sirah, tarikh dan sebagianya. Spesiaslisasi dalam bidang keilmuan ini tidak mencegah orang yang memiliki ilmu tersebut untuk ikut terlibat dalam masalah-masalah pemerintahan, penyusunan undang-undang dan urusan-urusan negara. Selama dia mampu dan ahli untuk memikul tanggung jawab dan amanah tersebut. Sebagaimana tidak ada padanya sifat sakral, ma’shum dan keagungan menurut pengertian kependetaan yang dikenal saat ini. Ia hanyalah manusia biasa yang bisa berbuat baik dan bisa berbuat buruk, bisa benar dan bisa salah. Oleh karena sifat ma’shum itu hanya terdapat pada diri Nabi, dan sifat keagungan itu tidak boleh melebihi batas-batas adab yang telah ditetapkan oleh Islam pada orang besar, orang alim dan penguasa yang shaleh. Sementara para pemuka agama Masehi telah melakukan penyelewengan dari ajaran-ajaran Islam As dan menganggap dirinya besar dan tinggi di hadapan manusia serta menjadikan mereka sebagai tuhan selain Allah.

Jika demikian sangkaan/anggapan orang-orang sekuler bahwa ummat Islam tidak akan bisa sampai ke dalam kelompok barisan bangsa-bangsa yang maju kecuali sesudah mereka memisahkan agama dari negara dan menjauhkan Islam dari tatanan pemerintahan, maka sesungguhnya sangkaan tersebut adalah sangkaan yang bathil, jatuh di hadapan hakekat Islam, bantahan logika dan bukti-bukti ilmiah.

Adapuan sangkaan orang-orang sekuler yang menganggap bahwa Islam telah usai masa berlakunya, sehingga tak lagi layak untuk diterapkan di zaman sekarang lantaran kehidupan umat manusia sangat cepat perkembangan dan perubahannya, dan problematikanyapun sangat rumit dan komplek.

Sangkaan ini batil berdasarkan alasan-alasan berikut:
Pertama: Islam bersifat syumul, dinamis dan iniversal

a. Syumul

Islam mencakup segala tatanan, hukum dan akidah dalam semua aspek manusia, baik yang bertalian dengan masalah akidah, ibadah dan akhlak; atau yang bertalian dengan hukum-hukum perdata atau pidana; atau masalah-masalah pribadi, atau tatanan-tatanan sosial, atau hubungan-hubungan internasional; atau yang bertalian dengan dasar-dasar pemerintahan, hukum-hukum ekonomi dan pilar-pilar masyarakat yang bermartabat. Semua itu terdapat pada ajaran-ajaran Islam yang cermat lagi sempurna, dan pada perundang-undangan yang bersifat rabbani dan kekal, yang memberi dan tidak mengambil, yang menyatukan dan tidak mencerai beraikan, yang membangun dan tidak merusak. Merupakan ajaran yang diturunkan dari sisi Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Maha Benar Allah Yang Maha Agung dengan firman-Nya:

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri,” (An-Nahl: 89).

b. Dinamis

Islam membawa prinsip-prinsip ajaran yang bersifat global dan kaidah-kaidah yang bersifat umum yang bisa memenuhi berbagai tuntutan zaman yang senantiasa berkembang, dan bisa mengikuti kepentingan-kepentingan zaman yang amat dinamis. Terlebih-lebih dalam hukum-hukum mu’amalah, masalah undang-undang, sistem ekonomi, perkara perdata, dan hubungan-hubungan internasional.

Masalah-masalah yang sejak semula tidak ada nashnya, maka ia tunduk pada ijtihad semasa melalui jalan qiyas, maslahah mursalah, ihtisan atau istishhab. Dalam perkara-perkara baru yang tidak ada nashnya inilah para ulama yang mendalami ilmunya yang memiliki sifat wara’ dan takwa berijtihad, kemudian mereka mengeluarkan hukum-hukumnya yang tentu saja mewujudkan sisi maslahat dan sesuai dengan perkembangan zaman

Sedangkan masalah-masalah yang terdapat di dalamnya nash-nash yang qathi’I tsubut dan dalalah seperti masalah-masalah akidah, rukun iman, hukum-hukum ibadah, keharaman zina dan judi, pembagian harta waris dan lainnya maka ini merupakan daerah terlarang yang tak boleh dimasuki ijtihad, dan tidak mengenal perubahan apapun, bahkan orang yang hendak merubah atau berijtihad untuk mengembangkannya dan merevisinya, maka ia menjadi penghancur syari’at, memerangi Allah dari Rasul-Nya, serta melepaskan dari lehernya tali ikatan Islam. Berdasarkan prinsip di atas, maka para ulama ushul berkata:

“Tidak ada ruang untuk ijtihad pada sumber nash.”

c. Universal

Karena syari’at Islam mempunyai ajaran yang alamaiyah (universal). Ia merupakan rahmat bagi alam semesta, petunjuk bagi semua manusia; bukan syari’at bagi satu bangsa tertentu, atau untuk daerah tertentu di persada bumi. Bahkan ia adalah untuk seluruh bangsa manusia darimana pun asalnya dan apapun kebangsaannya; warna kulit putih atau warna kulit hitam, bangsa Arab atau bangsa Ajam (non Arab), di timur atau di barat, tidak ada pengkotak-kotakan golongan di dalam syari’at islam, dan tidak ada pula rasisme dan kelas-kelas di dalam agama, manusia semua sama di dalamnya.

Keuniversalan syari’at Islam ini ditegaskan dalam Kitabullah:

Dan tidaklah kami mengutusmu kecuali untuk menjadi rahmat bagi segenap alam,” (Al-Anbiyaa’: 107).

“Dan tidaklah Kami mengutusmu kecuali kepada manusia keseluruhan, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan,” (Saba’: 28).

Kedua: Pengakuan faktuil terhadap teori-teori hukumnya.

Seorang tokoh pakar hukum besar, Asy-Syahid Abdul Qadir Audah r.a. membeberkan dalam muqaddimah kitabnya “At-Tasyrii’ Al-Janaa’ii fil Islaami” (undang-undang pidana dalam Islam) pada juz I, sejumlah teori-teori dan prinsip perundang-undangan yang belum dikenal oleh hukum positif kecuali pada masa belakangan ini:

Teori egalitas (persamaan). Di dalam Islam, tidak ada keistimewaan bagi seseorang atas orang yang lain, atau suatu bangsa atas bangsa yang lain, atau suatu warna kulit atas warna kulit yang lain, atau bagi penguasa atas rakyat biasa. Tapi kemuliaan di dasarkan atas ketaqwaan. Syi’ar dalam hal ini adalah firman Allah:

“Hai manusia sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seroang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian,” (Al-Hujuurat: 13).

Prinsip ini telah sejak dahulu diserukan Islam, sementara hukum-hukum positip belum mengenal prinsip ini kecuali pada masa-masa akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Kendati demikian prinsip hukum yang mereka temukan ini implementasinya sangat terbatas sekali dibandingkan dengan apa yang telah diterapkan oleh syari’at Islam, yang telah mengimplementasikan prinsip hukum tadi secara total dan luas sampai pada batas yang paling optimal.

Prinsip kebebasan.
Prinsip musyawarah. Allah berfirman, “..dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..,” (Ali Imran: 159).

Syari’at Islam telah jauh mendahului hukum-hukum positip dalam menetapkan prinsip musyawarah sebelas abad lebih awal, dimana hukum-hukum positif baru mengenalnya setelah Revolusi Prancis abad XVII, sementara undang-undang Amerika Serikat baru menetapkan prinsip ini setelah pertengahan abad ke XVIII.

Prinsip pembatasan wewenang kepala negara.
Prinsip ini tegak di atas tiga dasar utama:
1. Penetapan batas-batas wewenang Kepala Negara
2. Tanggung jawab terhadap tugas
3. Pemberian hak kepada rakyat untuk mencopotnya.

Ketiga: Pengakuan konferensi-konferensi Internasional atas kontribusi Islam yang dinamis dalam bidang berundang-undangan.

Di Kota La Haye tahun 1938 diselenggarakan konferensi internasional yang membahas pertandingan hukum. Universiat Al-Azhar Asy-Syarif mendapat undangan untuk ikut hadir dalam konferensi tersebut. Lalu mereka mengirim dua orang ulama besar sebagai wakilnya. Kedua ulama itu menyampaikan dua makalah berujudul “Al-Mas’uliyyah Al-Madaniyyah wa Al-Janaa’iyyah fie Asy-Syrii’ah Al-Islamiyyah” dan “Istiqlaal Al-Fiqh Al-Islaami”, keduanya menafikan setiap hubungan yang diklaim sementara pihak antara syari’at Islam dengan perundang-undangan yang diklaim sementara pihak antara syari’at Islam dengan perundang-undangan Katholik Roma. Kemudian sebagai dampai penyampaian makalah tersebut, para anggota konferensi menetapkan keputusannya yang sangat bersejarah dan penting bagi para ahli hukum Barat. Dinyatakan dalam keputusan itu:

  1. Syari’at Islam diakui sebagai salah satu sumber perundang-undangan.
  2. Bahwa syari’at Islam sangat dinamis dan bisa berkembang.
  3. Bahwa syari’at Islam adalah perundang-undangan yang berdiri sendiri, tidak mengambil dari yang lain.

Berkata DR. Eizko Ansabato, “Sesungguhnya syari’at Islam lebih unggul pada sebagian besar kajian-kajian hukumnya daripada perundang-undangan Eropa, bahkan syari’at Islam lah yang memberikan pada dunia sistem perundang-undangan yang lebih kokoh dan komprohensif.”

Prinsip-prinsip Islam dalam berta’amul dengan Ahlul Kitab.
Sesungguhnya Islam dengan prinsip-prinsipnya yang toleran dan ajaran-ajarannya yang bijaksana telah memberikan kepada mereka hak-haknya dengan adil, yang tidak mungkin mereka dapatkan di bawah naungan agama-agama laian dan hukum-hukum positif di era kapanpun.

Apa hak-hak yang diberikan Islam kepada golongan Ahlu Dzimmi?
1. Kebebasan menganut suatu keyakinan
2. Kebebasan beribadah
3. Hak perlindungan atas harta, darah dan kehormatan.
4. Hak perlindungan dari tindak penganiayaan dan kezhaliman atau perampasan.
5. Hak-hak umum seperti yang diberikan kepada kaum muslimin.
6. Hak dipungut jizyah dengan kadar tertentu.
7. Hak jaminan sosial bagi yang sudah tua dan lemah.
8. Hak diperlakukan dengan baik.

Apa yang kita ketahui dari fakta sejarah?
Perlu ditanyakan kepada kaum sekuler, kaum nasionalis dan seluruh orang-orang laa diniyah:

Apa yang mereka ketahui mengenai wihdatul Islam dan pengalaman pemerintahan Islam selama berabad-abad lamanya?

Apakah mereka pernah mendengar ada seorang Ahli Kitab dari golongan Yahudi ataupun Nasrani mengalami penganiayaan ataupun penindasan di bawah naungan pemerintahan Islam dan kesatuan Islam Raya?

Apakah mereka dapat mengingkari apa yang telah tertulis dalam sejarah mengenai rasa terima kasih orang-orang Nasrani terhadap keadilan Islam dan sikap penuh toleran kaum muslimin di bawah bendera pemerintahan yang berhukum dengan apa yang diturunkan Allah?

Inilah kesaksian jujur mereka:

Kepala Uskup Eisyoya pada tahun 656 M mengakui atas sikap toleransi Islam saat ia mengatakan, “Sesungguhnya bangsa Arab diberi kekuasaan oleh Tuhan untuk menguasai dunia, memperlakukan kami dengan sikap penuh keadilan. Sesungguhnya mereka bukanlah musuh-musuh para pengikut agama Nasrani, bahkan mereka memuji agama kita, menghormati tempat-tempat suci kita dan mau mengulururkan bantuan kepada kita dan gereja-gereja kita serta biara-biara kita.”

2. Pengaruh pemikiran La Diniyah

Telah pasti bahwa orang yang rusak tashawur (persepsi)nya tentang Islam, hukum-hukumnya, perundang-undangannya, sejarah kebesarannya, peradaban dan kemajuannya, dikarenakan terpengaruh oleh ghazwul fikri musuh dan termakan oleh seruan La diniyah serta tergiring oleh pemikiran yang tak berlandaskan nilai-nilai moral.

Apa yang diadopsi dari pemikiran Barat?

  1. Di bidang pemerintahan, prinsip pemisahan agama dari negara dan membatasi wewenang agam ahanya di tempat-tempat peribadatan.
  2. Di bidang ekonomi, sistem kapitalis.
  3. Di bidang politik, sisitem demokrasi dan hukum positif (hukum buatan manusia).
  4. Di bidang sosial, prinsip-prinsip yang menyeru kepada kebebasan wanita dan ikhtilath.
  5. Di bidang moral, teori-teori yang mendorong kepada cara hidup serta boleh dan untuk melepaskan diri dari nilai-nilai keutamaan dan idealisme.

Sumber: Diringkas dari kitab Asy-Syabab al-Muslimu Fii Muwaajahati at-Tahaddiyaati, atau Aktivis Islam Menghadapi Tantangan Global, karya: Dr. Abdullah Nashih ‘Ulwan, terj. Abu Abu Abida al-Qudsi (Pustaka Al -‘Alaq, 2003), hlm. 161-171.