Allah SWT berfirman, ”Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tidak acuh) maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa saja yang kamu kerjakan.” (An-Nisaa’:128). Sebelumnya manhaj Islam pada pembahasan sebelum ini telah mengatur masalah nusyuz dari pihak isteri dan prosedur yang harus ditempuh guna menjaga keutuhan keluarga. Sekarang manhaj ini mengatur masalah nusyuz dan sikap cuek (yaitu sikap) berpaling yang dikhawatirkan datangnya dari pihak suami, sehingga dapat mengancam keamanan dan kehormatan isteri serta mengancam keselamatan seluruh keluarga. Sesungguhnya hati dan perasaan bisa berubah-ubah. Sedangkan Islam adalah Manhajul Hayah (pedoman hidup) yang dapat mengatur semua bagian kehidupan yang ada di dalamnya, menangani setiap permasalahan yang muncul dalam lingkup prinsip-prinsip dan orientasinya, mendesai masyarakat yang digambarkan dan menumbuhkannya sesuai desain tesebut.
Manakala seorang isteri merasa khawatir akan mendapat perilaku kasar dari suaminya; dan perlakuan yang kasar ini bisa berujung pada perceraian. Atau si suami tidak lagi peduli dan perhatian serta menyepelekan peran isterinya dan tidak pula ditalak, maka tidak mengapa bagi pihak wanita ataupun suaminya jika pihak isteri mengalah sedikit terhadap suaminya menyangkut kewajiban keuangan atau kewajiban-kewajiban penting lainnya. Misalnya, si isteri tidak menuntut sebagian atau keseluruhan dari nafkah yang wajib dibayarkan suaminya. Atau dia tidak menuntut giliran dan malamnya, seandainya sang suami memiliki isteri lain yang lebih di utamakan, apalagi jika dia sendiri, sudah tidak punya, gairah dan respek untuk menjalin hubungan intim dengan suaminya. Semua ini boleh dilakukan atas kemauan sendiri dan telah mempertimbangkan berbagai keadaan, bila dia memandang bahwa langkah ini paling baik dan lebih terhormat baginya dibandingkan dengan melakukan perceraian.
”Dan jika seorang wanita merasa khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.” (An-Nisaa’:128).
Ini adalah perdamaian yang kami isyaratkan sebelumnya. Kemudian hukum ini diulas bahwa perdamaian secara umum lebih baik daripada perpecahan, perlakuan nusyuz dan perceraian, ”Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (An-Nisaa’ :128) selesai.
Selanjutnya Manhaj Islam mendorong pihak suami untuk berbuat baik kepada isterinya yang tetap sayang kepadanya. Oleh sebab itu ia bersedia melepaskan sebagian haknya supaya ia tetap berada di bawah payung kekuasannya, dan manhaj Islam menjelaskan bahwa Allah mengetahui betul kebaikan dan sikap santun sang suami dan Dia akan memberinya balasan yang besar. Allah SWT berfirman, ”Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap cuek), maka sejatinya Allah adalah Maha Mengetahui apa saja yang kamu kerjakan.” (An-Nisaa’:128).
Sebab turunnya ayat diatas diriwayatkan oleh Abu Daud dari hadits Hisyam bin Urwah dari bapaknya ia berkata, Aisyah r.a. berkata, ”Wahai anak saudara permpuanku (keponakan), adalah Rasulullah saw. tidak pernah mengutamakan sebagian di antara kami atas sebagian yang lain dalam hal giliran, yaitu beliau istirahat di rumah kami tidak sampai sehari melainkan beliau mengelilingi kami semua sehingga hampir setiap isteri tidak digauli, hingga beliau tiba di rumah isteri yagn mendapat jatah giliran lalu beliau bermalam di sana. Sungguh Saudah binti Zamlah ra, ketika sudah lanjut usianya dan khawatir ditinggal oleh Rasulullah saw berkata: ”Ya Rasulullah, giliran hariku untuk Aisyah, ’Maka Rasulullah saw. menerima pemberian itu dari Saudah.” Aisyah berkata, ’Pada waktu itu dan pada saat-saat yang mirip dengan itu, Allah SWT menurunkan firman-Nya, ’Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz dari suaminya.” (Hasan Shahih: Shahih Abu Daud no:1868 dan ’Aunul Ma’bud VI:172 no:2121).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 608 — 616.