TPM Sukses Dorong Dewan HAM-PBB Keluarkan Resolusi Tentang Israel

Upaya Tim Pengacara Muslim (TPM) untuk memperkarakan kasus penyerangan Israel terhadap relawan Indonesia yang tergabung dalam misi kemanusiaan Freedom Flotilla mulai menunjukan hasil nyata.

Hal ini dibeberkan oleh Ketua Dewan Pembina TPM, Mahendradatta pada konferensi pers yang digelar TPM di kantornya Selasa siang (5/10) Jl. Fatmawati Raya No.22, Cipete Jakarta Selatan.

“Awalnya banyak yang mencibir usaha yang dilakukan TPM. Tapi kami tak surut langkah. Kami ingin mengejar Israel sampai kemana pun,” kata Mahendradatta kepada para wartawan.

Menurut Mahendradatta, Indonesia memang tak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk melaporkan kejahatan HAM yang dilakukan oleh negara lain. Alasannya, Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi Statuta Roma yang menjadi dasar pembentukan ICC (International Criminal Court).

“Namun, kami melihat ada celah hukum yang bisa kami manfaatkan,” ujarnya.

Mahendradatta mengatakan Pasal 15 Statuta Roma sangat memungkinkan lembaga non-pemerintah seperti TPM memberikan informasi kepada jaksa penuntut mengenai tindak pidana di bawah yurisdiksi Mahkamah.

Lewat jalur ini, penyidikan yang dilakukan oleh penuntut disebut motu proprio (atas inisiatif sendiri). “Kami berharap kasus ini segera dilakukan penyidikan,” ujarnya.

Kesuksesan pertama, kata Mahendradatta, diraih TPM saat laporan pengaduannya diterima oleh Amnesty International melalui Kantor Perwakilan Eropa di Brussel, Belgia pada Senin, 20 September lalu. Laporan TPM tersebut dijadikan salah satu referensi oleh Amnesty International untuk menekan Israel agar bertanggungjawab dalam penyerangan akhir Mei silam.

Selang satu pekan, Mahendradatta dan Adnan Wirawana yang mewakili TPM turut serta dalam persidangan membahas kasus Freedom Flotilla. Persidangan berlangsung di Markas Dewan HAM PBB Jenewa, Swiss.

Memberikan Bukti

Dalam persidangan yang berlangsung selama tiga hari itu, TPM berhasil memberikan warna. Kepada Shanti Dairiam, salah seorang pimpinan sidang yang ditemuinya TPM memberikan temuan-temuan mengenail adanya jenis peluru yang sempat bersarang pada Surya Fachrizal. Selain itu memberikan bukti laboratorium yang mengindikasikan kandungan racun arsenik dalam tubuh relawan Indonesia.

Dengan bukti-bukti tambahan tersebut, walaupun mendapat bantahan keras dari Israel dan Amerika Serikat, tapi hasil temuan Tim Pencari Fakta (TPF) PBB diterima oleh sebagian besar peserta dari berbagai negara. Akhirnya pada Kamis, 30 September 2010, Dewan HAM PBB mengeluarkan resolusi yang menyatakan Israel telah melanggar HAM secara serius dan berencana.

”Hanya Israel dan AS yang menolak temuan TPF. Beberapa negara juga abstain, seperti negara Uni Eropa, Jepang, dan negara-negara Korea. Tapi itu lebih baik,” ujar Mahendradatta.

Langkah kuasa hukum para korban penyerangan tentara Israel tak berhenti sampai di sini saja. Dengan berbekal salah satu resolusi Dewan HAM yang menyatakan Israel wajib memberikan ganti rugi uang kepada para korban atau keluarga korban, para kuasa hukum korban akan menggunakan jalur gugatan perdata.

TPM melihat ada indikasi pemerintah Israel akan mengabaikan kewajiban ini. Karenanya, kata Mahendradatta, para pengacara korban dari 42 negara akan menggugat pemerintah Israel di negaranya sendiri.

“Kami akan bertemu dan menyusun gugatan itu di Doha, Qatar, akhir Oktober,” demikian Mahendradatta.

Diterimanya laporan dan temuan-temuan yang disodorkan TPM memberikan bukti bahwa Indonesia masih dikenal dan dihargai dunia internasional.

Penyerangan tentara Israel terhadap para relawan kemanusiaan yang tergabung dalam misi Freedom Flotila di kapal Mavi Marmara terjadi di perairan internasional pada tanggal 31 Mei 2010. Sembilan Orang tewas serta melukai puluhan orang, termasuk Surya Fachrizal dari Indonesia. (hdt/Fani)