Larangan Bersumpah Untuk Memutuskan Tali Silaturahim

Allah Ta’ala berfirman, “Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” (Al-Baqarah: 224).

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa bersumpah untuk memutus tali silaturahim atau berbuat maksiat lalu ia batalkan, maka itu adalah kafarah’,” (Shahih, HR ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar [664]).

Diriwayatkan dari Aisyah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa bersumpah untuk memutus tali silaturahim atau sesuatu yang tidak pantas, maka tebusannya adalah dengan tidak melaksanakan sumpahnya itu’,” (Hasan lighairihi, HR Ibnu Majah [2110]).

Diriwayatkan dari ‘Adi bin Hatim r.a, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa bersumpah dengan sebuah sumpah kemduian ia melihat perkara yang lebih mendekati ketakwaan kepada Allah, hendaklah ia memilih ketakwaan’,” (HR Muslim [1651]).

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Jika engkau bersumpah dengan sebuah sumpah lalu engkau melihat perkara yang lebih baik darinya, maka pilihlah yang terbaik dan bayarlah kafarah dari sumpahmu’,” (HR Bukhari [6622] dan Muslim [1602]).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa mempertahankan sebuah sumpah pada keluarganya dan tidak menebusnya maka itu adalah dosa yang sangat besar, maka tebuslah, yakni dengan membayar kafarah’,” (HR Bukhari [6626] dan Muslim [1655]).

Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, “Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya aku, demi Allah jika Allah menghendaki, tidaklah aku bersumpah dengan sebuah sumpah lalu aku melihat perkara yang lebih baik darinya kecuali aku akan membayar kafarah sumpahku dan memilih perkara yang lebih baik’,” (HR Bukhari [6613] dan Muslim [1649]).

Kandungan Bab:

  1. Anjuran untuk menjauhkan kemudharatan dari keluarga dan memelihara mereka dengan manhaj Allah, bukan dengan hawa nafsu yang goncang dan adat istiadat yang senantiasa berubah-ubah.
  2. Barangsiapa bersumpah dengan sebuah sumpah berkaitan dengan keluarganya atau suatu perkara yang tidak pantas maka hendaklah ia membatalkannya. Hendaklah ia melaksanakan perkara yang lebih baik dan menebus sumpahnya. Seandainya ia mengatakan, “Aku tidak akan membatalkannya, bahkan aku wara’ dan melanggar sumpah karena takut dosa, maka ia telah salah dengan perkataannya tersebut. Bahkan sikap dia tetap memegang sumpah dan tidak membatalkannya serta mempertahankan kemudharatan bagi keluarganya lebih besar dosanya dan lebih besar kesalahannya.”
  3. Sikap ruju’ (kembali) dari kesalahan lebih baik daripada mempertahannya. Dan tidak ada celaan bagi pelakunya. Bahkan itu merupakan keutamaan yang tidak diraih kecuali oleh orang-orang yang hebat yang lebih mengedapankan kebenaran daripada ambisi diri sendiri.
  4. Hadits-hadits bab merupakan dalil tentang kaidah maslahat dan mafsadah yang merupakan pusat dari nash-nash syari’at. Mendahulukan manfaat yang lebih besar adalah mu’tabar, demikian juga menolak mafsadah yang lebih besar.
  5. Hadits-hadits bab merupakan tafsir dari ayat, “Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” (Al-Baqarah: 224).

    Bahwasanya apabila seorang bersumpah tidak akan melakukan ketaatan, tidak akan menyambung silaturahim, atau tidak akan mendamaikan perselisihan di antara manusia, maka katakan kepadanya, “berbuat baiklah!” Jika ia mengatakan, “Aku telah bersumpah.” Maka katakan kepadanya, “Batalkan dan bayarlah kafarah sumpahmu dan jangan jadikan sumpahmu sebagai penghalang antara dirimu dengan ketaatan, takwa, dan perbaikan karena itu lebih bagus dan lebih utama.” Karena jika perkara itu benar-benar dosa hakikatnya tentunya amal kebaikan itu akan mengangkatnya dengan kafarah syar’i. Dan tersisalah pahal ketaatan sebagai tambahan baginya.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/393-439.