Jawaban:
Shalat di masjid di dalamnya ada kuburan dibagi menjadi dua macam:
Pertama, kuburan itu lebih dulu ada daripada masjid, sehingga masjid itu dibangun di atas kuburan, maka yang harus dilakukan adalah menjauhi masjid itu dan tidak shalat di dalamnya. Disarankan kepada orang yang membangunnya agar segera menghancurkannya kembali. Jika tidak mau melakukannya, maka pemerintah bertanggung jawab untuk menghancurkannya.
Kedua, masjid itu lebih dulu adanya daripada kuburan, sehingga mayat itu dikubur di dalamnya setelah masjid dibangun. Maka yang harus dilakukan adalah menggali kuburan itu dan mengeluarkan mayat itu dari masjid, lalu dikubur bersama manusia.
Sedangkan mengenai masjidnya, boleh shalat di dalamnya dengan syarat kuburan itu tidak ada di depan orang yang shalat, karena Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam melarang shalat yang menghadap ke kuburan.
Sedangkan kuburan Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam yang ada di dalam masjid An-Nabawi, diketahui bersama bahwa Masjid An-Nabawi dibangun lebih dahulu sebelum beliau meninggal dan masjid itu tidak dibangun di atas kuburan. Kita ketahui bersama bahwa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam tidak dikubur di dalamnya, tetapi dikubur di rumahnya yang terpisah dari masjid.
Pada masa Al-Walid bin Abdul Malik, dia mengirimkan perintah kepada amirnya di Madinah, yaitu Umar bin Abdul Aziz pada tahun 88 Hijriyah, agar menghancurkan Masjid An-Nabawi dan menambahkan kepadanya kamar isteri-isteri Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam. Lalu Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan manusia dan para fuqaha’ serta membacakan surat Amirul Mukminin Al-Walid kepada mereka. Tetapi hal itu berat bagi merka hingga mereka berkata, “Kita biarkan kamar itu apa adanya sebagai pelajaran.” Diceritakan bahwa Sa’id bin Al-Musib menolak memasukkan kamar Aisyah itu ke dalam masjid, seakan-akan beliau takut, jangan-jangan kuburan itu dijadikan masjid. Lalu Umar mengirim jawaban kepada Al-Walid dan Al-Walid memerintahkan agar usulan itu dilaksakan. Maka tidak ada jalan lain bagi Umar kecuali melaksanakannya. Maka Anda melihat sendiri bahwa kuburan Nabi tidak diletakkan di dalam masjid dan tidak pula dibangun masjid di atasnya, sehingga tidak ada hujjah di dalmnya untuk menyatakan bolehnya mengubur mayit di dalam masjid atau membangun masjid di atas kuburan. Telah diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda,
“Allah telah mengutuk orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat untuk sembahyang.” (Diriwayatkan Al-Bukhori)Ditakhrij Al-Bukhori dalam kitab Al-Masajid, bab “Ash-Shalah fi Al-Bai’ah”, dan Muslim kitab Al-Masajid, bab “An-Nahyu ‘An Binai Al-Masajid ‘Ala Al-Qubur”.
Beliau mengucapkan sabdanya itu ketika menjelang ajalnya untuk mengingatkan umatnya agar berhati-hati terhadap apa yang dilakukan oleh mereka. Ketika Ummu Salmah Radhiyallahu Anha menceritakan kepada beliau tentang gereja yang dilihatnya di negeri Habasyah, yang di dalamnya ada gambar-gambar, beliau bersabda, “Sesungguhnya mereka yaitu penduduk Ethiopia mempunyai kebiasaan apabila ada salah seorang lelaki yang shalih dari kalangan mereka meninggal dunia, maka mereka akan mendirikan sebuah masjid di atas kuburnya dan mereka juga membuat beberapa gambar. Mereka adalah sejahat-jahat makhluk di sisi Allah pada Hari Kiamat kelak.” (Diriwayatkan Muttafaq ‘Alaihi). Ditakhrij Al-Bukhori dalam kitab Al-Janaiz, bab “Binau Al-Masjid ‘Ala Al-Qabr, dan Muslim, kitab Al-Masajid, bab “An-Nahyu ‘An Binai Al-Masajid ‘Ala Al-Qubur”.
Dalam riwayat lain disebutkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya sejahat-jahat manusia yang kalian ketahiu pada saat ini dan mereka masih hidup adalah orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat sembahyang.” (Diriwayatkan Imam Ahmad dengan sanad jayyid, I, 405, 435)
Seorang Mukmin tidak rela menempuh jalan orang-orang Yahudi dan Nasrani serta rela menjadi sejahat-jahat makhluk. Dikeluarkan pada tanggal 7/4/1414 H.
Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 318