
Di setiap tahun saat bulan Ramadhan tiba pada hari keduapuluh kaum muslimin banyak yang menyiapkan diri untuk mengerjakan i’tikaf.
Persiapan yang tidak kalah penting bagi orang yang akan beri’tikaf adalah ilmu terhadap aktivitas yang wajib, boleh, makruh dan bahkan haram untuk dikerjakan saat i’tikaf. Perlunya ilmu ini sama sebagaimana halnya keperluan seorang manusia untuk makan dan minum, bahkan lebih dari sekedar makan dan minum. Berikut kami paparkan dengan ringkas aktivitas-aktivitas yang perlu diketahui oleh orang yang akan beri’tikaf.
Hal-hal yang Wajib Dikerjakan Selama l’tikaf dan Hal-hal yang Boleh Dikerjakan Selama l’tikaf
Apakah yang wajib dikerjakan oleh orang yang beri’tikaf? Para fuqaha’ sepakat bahwa orang yang beri’tikaf diwajibkan untuk tetap berada di masjid demi mewujudkan rukun i’tikaf, yaitu tinggal, melazimi dan bertahan di masjid, tidak keluar darinya kecuali karena ada udzur syar’i, keadaan darurat atau keperluan yang mendesak. Kendati demikian, para ulama berbeda pandangan terkait dengan hukum orang yang keluar dari masjid saat i’tikaf. Berikut ulasan pandangan empat madzhab terkait dengan hal ini:
- Ulama Hanafiyah
Secara umum, ulama Hanafiyah mengklasifikasikan keluar dari masjid dalam i’tikaf menjadi tiga; pertama, keluar dari masjid dalam i’tikaf sunnah. Kedua, keluar dari masjid dalam i’tikaf sunnah mu’akkadah. Ketiga, keluar dari masjid dalam i’tikaf wajib.
Orang yang melaksanakan i’tikaf sunnah diperbolehkan untuk keluar masjid, karena keluar dari masjid adalah bentuk penyelesaian Itikaf. Apabila yang dikerjakan adalah i’tikaf sunnah mu’akkadah, seperti itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia wajib untuk mengqadha’ i’tikaf tersebut selama sepuluh hari penuh. Ini sebagaimana pandangan Abu Yusuf yang berbeda dengan pendapat mayoritas ulama Hanafiyah yang menyatakan bahwa yang wajib diqadha’ adalah hari di mana ia merusak i’tikafnya dengan landasan argumen bahwa masing-masing hari berdiri secara independen.
Adapun i’tikaf wajib, maka diharamkan bagi orang yang melakukan i’tikaf untuk keluar masjid, kecuali ada udzur syar’i seperti mengerjakan shalat Jumat dan Idul Fitri, kebutuhan manusiawi seperti kencing, buang air besar, menghilangkan najis, mandi janabah, dan yang sejenisnya. Atau, karena ada keperluan yang bersifat darurat, seperti robohnya masjid, memberikan kesaksian yang harus ia sampaikan di pengadilan, kekhawatiran terhadap harta benda dan nyawa atas orang yang sewenang-wenang, dan lain sebagainya.
Adapun keluar masjid karena faktor lupa, kalangan ulama Hanafiyah mengatakan, bahwa meski karena faktor lupa dan keluar dari masjid hanya dilakukan beberapa saat saja, maka i’tikaf wajib yang dikerjakan tetap batal dan ia wajib mengqadha’nya. Namun, hal ini tidak berlaku untuk keperluan manusiawi yang bersifat syar’i, seperti mandi janabah.
Bagaimana apabila keluar dari masjid dikarenakan udzur yang jarang sekali terjadi, seperti terjadinya banjir yang menenggelamkan mas-jid atau masjid runtuh? Menurut ulama Hanafiyah, orang yang keluar dari masjid karena udzur ini, dalam kondisi i’tikaf wajib, ia tidak berdosa, na-mun i’tikafnya batal bila tidak segera langsung menuju masjid lain.
Ulama Hanafiyah juga menyatakan bahwa keluar dari masjid untuk menjenguk orang sakit atau menyelenggarakan jenazah bagi orang yang melakukan i’tikaf wajib dapat membatalkan i’tikaf, meskipun kedua aktivitas tersebut wajib ia kerjakan karena tidak adanya orang lain yang mengerjakan pekerjaan tersebut.
Adapun makan, minum dan jual beli atau akad-akad lain yang menjadi kebutuhan, hendaknya dikerjakan di masjid. Terkhusus untuk jual beli, menurut ulama Hanafiyah tidak mengapa dikerjakan di masjid bagi orang yang beri’tikaf, tanpa menghadirkan komoditi. Adapun apabila komoditi dihadirkan di masjid, maka hukumnya menjadi makruh tahrim, seperti halnya orang yang sedang tidak mengerjakan i’tikaf.
- Ulama Malikiyah
Menurut ulama Malikiyah, orang yang melaksanakan i’tikaf tidak diperkenankan untuk keluar dari masjid, kecuali dikarenakan empat hal; keperluan manusiawi, membeli kebutuhan primer, sakit, dan haid. Mu’takif yang keluar dari masjid karena empat hal tersebut masih dikategorikan sebagai orang yang beri’tikaf hingga ia kembali lagi ke masjid.
Berdasarkan penjelasan ini, maka ulama Malikiyah tidak memperkenankan mu’takif keluar masjid untuk menjenguk orang sakit, shalat jenazah, naik ke menara untuk mengumandangkan adzan atau ke teras masjid. Di antara aktivitas yang diperbolehkan bagi mu’takif adalah menggunakan wewangian, menikah dan menikahkan orang lain.
- Ulama Syafi’iyah
Orang yang mengerjakan i’tikaf tidak diperkenankan untuk keluar dari masjid kecuali apabila ada udzur. Menurut ulama Syafi’iyah, mu’takif hanya diperkenankan keluar dari masjid untuk menyelesaikan udzurnya. Mereka juga menyatakan bahwa orang yang beri’tikaf diperbolehkan naik ke menara masjid untuk mengumandangkan adzan, meski menurut pendapat yang kuat menara masjid bukanlah bagian dari masjid, dan ini tidak membatalkan i’tikaf yang sedang ia kerjakan.
Hal lain yang juga diperbolehkan untuk dikerjakan oleh mu’takif adalah pulang ke rumah untuk makan, karena makan di masjid dapat mengurangi muru’ah. Demikian halnya dengan minum apabila ia tidak mendapati air minum di masjid. Mu’takif juga diperbolehkan untuk shalat jenazah dan menjenguk orang sakit, namun kebolehan ini hanya berlaku pada i’tikaf sunnah.
Apabila mu’takif merupakan orang yang wajib mengerjakan shalat Fardhu dan ia melaksanakan i’tikaf tidak di masjid jami’, maka ia diharuskan untuk keluar masjid guna melaksanakan shalat Jumat. Demikian halnya dengan orang yang kesaksiannya harus ada di pengadilan, perempuan yang dicerai oleh suaminya lantas hendak menjalani masa ‘iddah, perempuan yang haid dan orang yang terkena penyakit di mana penyakit tersebut dapat mengotori masjid.
Lantas, bagaimana dengan orang yang sedang melaksanakan i’tikaf pingsan kemudian dikeluarkan dari masjid? Menurut ulama Syafi’iyah, i’tikaf orang yang tertimpa kejadian seperti itu tidak batal, karena ia keluar dari masjid bukan karena pilihan dan kesadarannya sendiri. Berbeda dengan orang yang keluar dari masjid untuk melaksanakan haji yang sebelumnya telah melakukan ihram. Mu’takif yang keluar dari masjid untuk melaksanakan haji telah membatalkan i’tikafnya, karena ia keluar dari masjid dengan pilihan dan kesadarannya sendiri.
Mu’takif yang keluar masjid karena lupa, terpaksa atau dipaksa hingga ia keluar dari masjid dengan pilihan dan kesadarannya sendiri, maka menurut ulama Syafi’iyah i’tikaf orang yang demikian tidaklah batal berdasarkan sabda Rasulullah yang menyatakan dimaafkannya kesalahan, lupa dan kondisi dipaksanya umat beliau. Lebih rinci lagi, ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa apabila seorang mu’takif keluar dari masjid karena suatu udzur, kemudian udzur tersebut hilang namun ia tidak kembali ke masjid saat ada kesempatan untuk kembali ke masjid, maka i’tikafnya batal.
- Ulama Hanabilah
Menurut ulama Hanabilah, mu’takif tidak memperbolehkan keluar tempat i’tikafnya kecuali untuk melakukan keperluan manusiawi, kebutuhan yang harus dikerjakan, atau untuk mengerjakan shalat Jumat. Orang yang sakit ringan seperti pusing, meriang, demam ringan, sakit gigi, dan sakit ringan yang lain tidak diperbolehkan untuk keluar dari tempat Itikafnya. Mu’takif juga tidak diperbolehkan menjenguk orang sakit atau menyelenggarakan pengurusan jenazah.
Mereka memperbolehkan seorang mu’takif untuk keluar mengambil makanan, minuman dan memenuhi mobilisasi untuk berangkat berjihad. Bagaimana dengan orang yang dipaksa, diancam atau lupa sehingga ia keluar dari tempat i’tikafnya? Menurut ulama Hanabilah, i’tikaf orang yang tertimpa berbagai hal ini tidak batal. Adapun untuk perempuan, menurut ulama Hanabilah perempuan yang haid diharuskan untuk keluar masjid, namun menurut mereka tidak ada larangan bagi perempuan yang istihadhah untuk melaksanakan i’tikaf.
Kesimpulan dari berbagai uraian di atas, bahwa keluar dari tempat i’tikaf yang diperbolehkan ada empat macam :
- Keluar yang tidak mengharuskan qadha’ dan kafarat, seperti keluar untuk kebutuhan manusiawi dan yang serupa dengannya.
- Keluar yang mengharuskan qadha’ tanpa ada kafarat, yaitu keluar karena haid.
- Keluar yang mengharuskan qadha’ dan kafarat sumpah, yaitu keluar karena suatu fitnah yang ia khawatirkan akan menimpa dirinya atau hartanya apabila ia menetap di masjid.
- Keluar yang mengharuskan qadha’ dan ada dua pandangan terhadap keharusan kafarat, yaitu keluar yang bersifat wajib. seperti keluar untuk memenuhi mobilisasi jihad, memberikan kesaksian, dan lain sebagainya.
Adab-adab Selama Beri’tikaf
- Orang yang sedang melaksanakan i’tikaf disunnahkan sekuat kemampuannya untuk menyibukkan diri sepanjang malam dan siang dengan mengerjakan shalat, membaca Al-Quran, berdzikir kepada Allah dengan berbagai bentuknya seperti beristighfar, merenungi penciptaan langit, bumi dan hikmah-hikmah yang begitu dalam. Disunnahkan juga bershalawat kepada Nabi Muhammad
mempelajari tafsir Al-Quran, mengkaji hadits, sirah, kisah para nabi, pelajaran ilmu-ilmu syar’i dan lain sebagainya yang merupakan bentuk ketaatan kepada Allah. Hanya saja, menurut ulama Malikiyah hal-hal demikian merupakan syarat yang bersifat anjuran, dan mereka sepakat dengan ulama Hanabilah bahwa menyibukkan diri dengan ilmu, meski ilmu syar’l, adalah perkara yang makruh dalam i’tikaf. Karena tujuan dari i’tikaf adalah menyucikan hati dan melatih diri dengan sifat merasa diawasi oleh Allah. Semua itu umumnya lebih dapat diraih dengan dzikir, bukan dengan menyibukkan diri dengan tulis-menulis dan sejenisnya.
- Puasa. Puasa dalam i’tikaf adalah sunnah sebagaimana yang disampaikan oleh jumhur ulama. Adapun ulama Malikiyah, mere-ka menjadikan puasa sebagai salah satu syarat i’tikaf. Lebih rinci dari itu ulama Hanafiyah menyatakan bahwa puasa adalah syarat dalam i’tikaf yang dinadzarkan. Ini semua terkait dengan i’tikaf yang dikerjakan di luar bulan Ramadhan. Adapun i’tikaf pada bulan Ramadhan, maka setiap mukallaf diwajibkan untuk berpuasa.
- Dilakukan di masjid jami’. Masjid yang paling afdhal untuk dijadikan sebagai lokasi i’tikaf adalah Masjidil Haram, kemudian masjid Nabawi, kemudian Masjidil Aqsha. Menjadikan masjid jami’ sebagai lokasi untuk beri’tikaf merupakan sunnah menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Mereka tidak mensyaratkan masjid jami’ sebagai lokasi untuk beri’tikaf sebagaimana ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang menjadikannya sebagai syarat i’tikaf.
- Dilakukan pada bulan Ramadhan. Tidak diragukan lagi bahwa Ramadhan adalah bulan yang paling mulia di antara bulan-bulan yang lain. Oleh karenanya, para ulama sepakat atas keutamaan bulan Ramadhan, terlebih lagi pada sepuluh hari terakhirnya di mana pada hari-hari itu terdapat Lailatul Qadar yang memiliki kebaikan lebih dahsyat dibanding seribu bulan. Ini berdasarkan keterangan dari ibunda ‘Aisyah yang menyatakan bahwasanya apabila masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Nabi menghidupkan malam, membangunkan keluarga dan menyingsingkan lengan,
- Tinggal di masjid pada malam Idul Fitri. Apabila seseorang me-lakukan i’tikaf hingga malam Idul Fitri, maka dianjurkan baginya untuk tetap tinggal di masjid pada malam tersebut sehingga ia menyambung satu ibadah dengan ibadah yang lain. Ini juga dika renakan ada riwayat dari Abu Umamah perihal keutamaan menghidupkan malam hari raya Idul Fitri, “Barangsiapa qiyam pada dua malam id dengan penuh harap ridha Allah, maka hatinya tidak akan mati pada hari di mana seluruh hati mati. Maksudnya, Allah akan meneguhkannya pada saat dicabutnya nyawa, ditanya oleh kedua malaikat di alam barzakh dan pada saat menghadapi pertanyaan di hari kiamat.
- Menjauhi semua perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat serta tidak banyak bicara. Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah, “Di antara bentuk kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa pun yang tidak bermanfaat baginya.” Hadits ini berlaku dalam kondisi umum, dan dalam kondisi i’tikaf seorang muslim lebih utama dan layak untuk meninggalkan apa pun yang tidak bermanfaat baginya. Kemudian, apabila perbuatan atau perkataan yang diperbolehkan namun tidak bermanfaat saja dianjurkan untuk ditinggalkan, tentunya perbuatan dan perkataan yang makruh lebih utama lagi untuk ditinggalkan, seperti berdebat, mencaci maki, mengucapkan perkataan keji, ddan lain sebagainya.
Amalan-amalan yang Dimakruhkan Saat I’tikaf
Amalan-amalan yang dimakruhkan saat i’tikaf yang disepakati oleh para ulama adalah meninggalkan sebagian adab-adab yang telah disebutkan sebelumnya. Ada beberapa hal lagi yang menjadi hal makruh dalam i’tikaf, di antaranya:
- Beberapa hal yang menurut ulama Hanafiyah makruh untuk dikerjakan saat i’tikaf adalah menghadirkan komoditi di masjid dalam rangka transaksi jual beli. Karena, masjid adalah tempat yang terbebas dari hak-hak hamba sehingga seyogianya ia tidak dijadikan sebagaimana halnya toko. Hal kedua adalah akad apa pun yang dilakukan untuk perniagaan, karena mu’takif dalam kondisi sedang fokus pada Allah sehingga tidak seyogianya untuk menyibukkan diri dengan perkara-perkara dunia. Hal makruh lain dalam i’tikaf menurut ulama Hanafiyah adalah diam dengan keyakinan bahwa diam adalah bentuk mendekatkan diri kepada Allah, karena diam dengan keyakinan demikian adalah perbuatan yang dilarang dan ini merupakan bentuk puasa Ahlul Kitab yang telah dinasakh.
- Menurut kalangan ulama Malikiyah, ada beberapa hal yang makruh untuk dikerjakan dalam i’tikaf, di antaranya :
- Menjadikan durasi i’tikaf kurang dari sepuluh hari atau lebih dari satu bulan.
- Makan di teras atau serambi yang ditambahkan pada masjid untuk perluasan. Hendaknya mu’takif makan di dalam masjid.
- Tidak makan, minum dan ganti pakaian hingga keluar dari masjid bagi mu’takif yang mampu. Adapun mu’takif yang tidak mampu, hendaknya ia keluar ke lokasi terdekat untuk membeli keperluan yang ia butuhkan. Lebih lanjut mereka berpendapat bahwa i’tikaf orang yang tidak memiliki kecukupan adalah makruh.
- Menggunakan kesempatan untuk masuk rumah, sedangkan istrinya ada di dalamnya saat sedang menyelesaikan keperluan agar tidak terlihat bahwa ia mengerjakan perbuatan yang merusak i’tikaf.
- Sibuk dengan ilmu, baik dalam rangka belajar maupun dalam rangka mengajar meskipun ilmu tersebut adalah ilmu syar’i, atau sibuk dengan menulis meskipun yang ditulis adalah mushaf.
- Sibuk dengan perbuatan apa pun selain dzikir, membaca Al-Quran dan shalat, seperti menjenguk orang sakit, shalat jenazah, dan naik ke menara untuk adzan.
- Mengucapkan salam kepada orang lain yang berada di kejauhan. Adapun mengucapkan salam kepada orang yang posisinya dekat dengannya, maka tidak mengapa.
- Ulama Syafi’iyah memakruhkan terlalu banyak mengkapling tempat untuk jual beli atau pekerjaan proyek tertentu. Mereka juga memakruhkan melakukan bekam dan fashdu dalam masjid agar kondisi kebersihan masjid dapat terjaga. Bila tidak dapat menjaga kebersihan masjid, maka hukumnya haram.
- Di antara perkara yang dimakruhkan dalam i’tikaf menurut ulama Hanabilah adalah membacakan Al-Quran untuk mengajari orang lain, mengajarkan ilmu dan mempelajarinya, diskusi dan bermajelis dengan fuqaha’, menulis hadits, dan yang sejenisnya yang manfaatnya dapat menular pada orang lain. Dimakruhkan larut dalam aktivitas yang tidak bermanfaat seperti berdebat, bantah-bantahan, banyak bicara, diam, dan lain sebagainya.
Pembatal-pembatal l’tikaf
- Keluar dari tempat i’tikaf. Keluar dari tempat i’tikaf dapat membatalkan i’tikaf apabila dikerjakan tanpa adanya keperluan manusiawi dan kondisi yang darurat. Bahkan, menurut ulama Malikiyah keluar dari tempat i’tikaf untuk mengerjakan perbuatan wajib yang menjadi fardhu ‘ain atas mu’takif dapat membatalkan i’tikaf. Uraian perihal ini telah disebutkan pada pembahasan perbuatan yang harus dan boleh dikerjakan saat i’tikaf.
- Jima’. Jumhur ulama, selain ulama Syafi’iyah, menyatakan bahwa melakukan hubungan suami istri dapat membatalkan i’tikaf, baik dilakukan karena lupa atau dipaksa, baik dikerjakan di malam hari atau di siang hari. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, hubungan suami istri yang membatalkan i’tikaf adalah yang dilakukan dengan sengaja, pilihan sendiri dan kesadaran. Apabila dilakukan karena lupa, ketidaktahuan, atau paksaan, maka tidak membatalkan i’tikaf.
- Keluar mani karena dorongan syahwat yang timbul akibat mubasyarah (pembuka jimak) seperti ciuman, sentuhan, dan melakukan pengantar jimak di paha. Para ulama sepakat bahwa hal ini dapat membatalkan i’tikaf. Adapun apabila seseorang mengeluarkan mani karena mengkhayal atau melihat saja, atau seseorang melakukan pembuka jimak namun tidak sampai keluar mani, maka ini tidak membatalkan i’tikaf menurut jumhur ulama selain ulama Malikiyah yang menyatakan bahwa ini membatalkan i’tikaf.
- Murtad. Tidak diragukan lagi bahwa i’tikaf yang dilakukan oleh seorang muslim yang murtad telah batal. Dan, menurut jumhur ulama tidak ada kewajiban qadha’ atas orang tersebut. Ulama Hanabilah lebih merinci permasalahan ini, mereka menyatakan bahwa apabila i’tikaf yang dikerjakan adalah i’tikaf nadzar, maka wajib qadha’.
- Mabuk. Jumhur ulama menyatakan bahwa mabuk dapat membatalkan i’tikaf, baik dilakukan dengan sengaja di siang hari atau di malam hari. Ulama Syafi’iyah memberikan satu pedoman terkait hal ini, yaitu apabila mabuk dilakukan dengan kesengajaan, maka membatalkan i’tikaf. Bila tidak dengan kesengajaan, maka tidak membatalkan i’tikaf.
- Pingsan dan gila dalam durasi yang lama. Ini adalah pembatal i’tikaf yang disepakati oleh jumhur ulama selain ulama Hanabilah yang menyatakan bahwa pingsan tidak membatalkan i’tikaf, seperti halnya tidur tidak membatalkan i’tikaf.
- Haid dan nifas.
- Makan dengan sengaja di siang hari. Ini adalah pembatal i’tikaf yang ditetapkan oleh ulama Malikiyah dan Hanafiyah yang mensyaratkan puasa sebagai syarat i’tikaf. Namun, menurut mereka, makan karena lupa tidak membatalkan i’tikaf.
- Melakukan dosa besar. Dosa besar yang dimaksud adalah seperti ghibah, namimah, dan lain sebagainya. Ini adalah pembatal i’tikaf yang dinyatakan oleh ulama Malikiyah dalam salah satu dari dua pendapat mereka yang masyhur. Kendati demikian, menurut jumhur ulama melakukan dosa besar saat i’tikaf tidak membatalkan i’tikaf. Hal ini juga dikuatkan oleh salah satu dari dua pendapat ulama Malikiyah yang masyhur.
Sumber: Fiqih Shiyam Ramadhan, Tim Ulin Nuha MA An-Nuur, Zam-Zam, h. 178-188.