Shalat Tahiyatul Masjid (2)

Quba Mosque

Kelima: Shalat Tahiyatul Masjid di Masjidil Haram

Masjidil Haram mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki masjid-masjid yang lain, di antaranya bahwa shalat di dalamnya dilipatgandakan sampai 100.000 kali lipat. Pertanyaannya: apakah shalat Tahiyatul Masjid mempunyai kekhususan di Masjidil Haram? Para ulama berbeda pendapat di dalamnya.

Pendapat Pertama mengatakan jika seorang muslim masuk Masjidil Haram, maka disunnahkan baginya untuk melakukan thawaf, baik dalam keadaan berihram maupun tidak, kecuali jika  khawatir tertinggal shalat berjamaah, maka tidak perlu thawaf. Ini menunjukkan bahwa melakukan thawaf lebih utama dari pada shalat Tahiyatul Masjid.

Pendapat ini berdalil dengan beberapa dalil, diantaranya adalah,

(a) Firman Allah,

وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.” (Qs. al-Hajj: 26)

Pada ayat di atas, Allah mendahulukan penyebutan thawaf sebelum shalat atau ruku’ dan sujud. Itu menunjukkan keutamaan thawaf dibanding dengan shalat Tahiyatul Masjid.

(b) Hadist ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya beliau berkata,

 أن أول شيء بدأ به حين قدِم مكة أنه توضَّأ، ثم طاف بالبيت، ثم حج أبو بكر فكان أول شيء بدأ به الطواف بالبيت

“Bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Mekkah maka pekerjaan yang dimulai pertama kali adalah berwudhu lalu thawaf di Ka’bah. (HR. al-Bukhari, 1641 dan Muslim, 1236)

Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan thawaf, bukan dengan shalat Tahiyatul Masjid.

Berkata an-Nawawi, “Memulai dengan melakukan thawaf itu dianjurkan bagi setiap orang yang masuk (ke Masjidil Haram) baik dalam keadaan berihram maupun tidak. Kecuali jika dia khawatir tertinggal shalat wajib atau sunnah rawatib atau sunnah muakkadah atau shalat berjamaah.”

Berkata Syeikh Bin Baz, “Jika seorang muslim masuk Masjidil Haram maka disunnahkan baginya untuk melakukan thawaf kemudian shalat dua rakaat. Jika hal itu tidak memungkinkan atau karena malas atau karena waktu iqamat sudah dekat maka hendaknya dia melakukan shalat Tahiyatul Masjid dua rakaat.”

Pendapat Kedua mengatakan jika seseorang masuk Masjidil Haram maka ada dua keadaan;

(a) Keadaan pertama, dia masuk Masjidil Haram dengan niat thawaf, baik thawaf tersebut untuk ibadah haji atau umrah ataupun thawaf sunnah, maka hendaknya memulainya dengan thawaf. Thawaf ini merupakan bentuk penghormatan kepada Masjidil Haram. Makanya dalam keadaan seperti ini dia tidak dianjurkan memulainya dengan shalat Tahiyatul Masjid sebelum thawaf.

Apabila keadaannya tidak memungkinkan untuk melakukan thawaf karena penuh sesak atau ada sebab lain, maka tidak mengapa ia melakukan shalat Tahiyatul Masjid sebelum melakukan thawaf.

(c) Keadaan kedua, jika dia masuk Masjidil Haram dengan niat shalat atau menghadiri majlis taklim atau berdzikir dan membaca al-Qur’an, maka dianjurkan untuk shalat Tahiyatul Masjid sebagaimana yang dianjurkan di masjid-masjid lainnya. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Abi Qatadah di atas tentang perintah untuk melakukan shalat Tahiyatul Masjid, setiap seseorang masuk ke dalam masjid.

Keenam: Hukum Shalat Tahiyatul Masjid Setelah Duduk

Jika seseorang masuk masjid dan terlanjur duduk karena lupa atau tidak tahu, tetap apakah diperintahkan mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid?

Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini;

Pendapat Pertama mengatakan bahwa shalat tahiyatul masjid tetap diperintahkan walaupun seseorang sudah duduk. Ini pendapat al-Hanafiyah, al-Malikiyah, dan sebagian pendapat asy-Syafi’iyah. (az-Zaila’I, al-Bahru ar-Raiq, 2/38)

Mereka berdalil dengan hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata,

جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَجَلَسَ، فَقَالَ لَهُ: يَا سُلَيْكُ، قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا، ثم قال: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا

“Seorang laki-laki yang bernama Sulaik al-Ghathafani masuk masjid pada hari Jumat sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah, dia langsung duduk, maka beliau bersabda, “Wahai Sulaik, berdirilah dan shalatlah dua rakaat, serta peringan shalatnya”. Kemudian beliau bersabda, ”Jika salah satu dari kalian masuk masjid, sedangkan imam berkhutbah, maka hendaknya dia shalat dua rakaat, dan memperingan shalatnya.” (HR. al-Bukhari, 889 dan Muslim, 875)

Pendapat Kedua, menyatakan bahwa shalat Tahiyatul Masjid menjadi gugur ketika seseorang sudah terlanjur duduk, dan tidak perlu meng-qadha’nya. Sebagian lain merinci masalah ini, yaitu ketika duduknya belum lama, maka dia dianjurkan untuk berdiri lagi untuk shalat Tahiyatul Masjid. Tetapi jika duduknya sudah lama, maka tidak dianjurkan untuk berdiri dan shalat Tahiyatul Masjid. Ini adalah pendapat asy-Syafi’iyah. (an-Nawawi, al-Majmu’, 4/53)

Dari keterangan di atas, maka pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa duduk tidaklah menggugurkan perintah shalat Tahiyatul Masjid berdasarkan hadist Sulaik al-Ghathafani di atas.

Ketujuh: Jumlah Rakaat Shalat Tahiyatul Masjid

Pada dasarnya  shalat tahiyatul masjid itu berjumlah dua rakaat sebagaimana di dalam sabdanya: (فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ ) hendaknya dua shalat dua raka’at. Ini berlaku di saat seseorang melakukan shalat Tahiyatul Masjid sendiri.

Akan tetapi manakala dia melakukannya bersama jama’ah, maka jumlah rakaatnya tidak harus dua rakaat, namun disesuaikan dengan shalat berjama’ah yang sedang dia ikuti. Contohnya sebagai berikut: jika seseorang masuk masjid dan mendapati shalat berjama’ah sudah ditegakkan maka dia tidak dianjurkan untuk shalat Tahiyatul Masjid sendiri. Akan tetapi hendaknya dia bergabung dengan jama’ah shalat tersebut. Shalat yang dia lakukan bersama jama’ah tersebut sudah mewakili shalat Tahiyatul Masjid juga (walaupun secara tidak langsung). Sebab inti dari shalat Tahiyatul Masjid adalah menghormati masjid dengan tidak duduk sampai dia shalat terlebih dahulu. Ini terwujud dengan shalat dua rakaat ketika sendiri, atau bergabung dengan jama’ah shalat sejumlah rakaat yang mereka kerjakan.

Ini berlaku juga ketika seseorang masuk masjid setelah dikumandangkan adzan shalat Subuh, maka dia melakukan shalat Qabliyah Subuh dua rakaat, dan shalat ini sudah mewakili shalat Tahiyatul Masjid. Berkata Ibnu Nujaim di dalam al-Bahru ar-Raiq (2/38),

وقد قالوا إنَّ كُلَّ صَلَاةٍ صَلَّاهَا عِنْدَ دُخُولِهِ فَرْضًا أو سُنَّةً فَإِنَّهَا تَقُومُ مَقَامَ التَّحِيَّةِ بِلَا نِيَّةٍ

“Para ulama berkata, ‘Setiap shalat yang dilakukan ketika masuk masjid, baik itu shalat fardhu maupun sunnah, maka shalat tersebut telah mewakili shalat Tahiyatul Masjid, (walaupun) tidak diniatkan’.”

Al-Munawi di dalam Faidhu al-Qadir (1/337) menyebutkan bahwa jumlah rakaat shalat Tahiyatul Masjid tidak harus dua rakaat, boleh lebih. Karena jumlah rakaat dalam hadits tidak mempunyai mafhum mukhalafah, menurutnya bahwa ini kesepakatan ulama.

Kedelapan: Hukum Shalat Tahiyatul Masjid di Mushalla

Shalat Tahiyatul Masjid hanya dilakukan ketika seseorang masuk masjid. Bagaimana hukumnya jika seseorang masuk ke dalam mushalla, ruang serba guna dan lapangan ketika shalat Id? Jawabannya, tidak diperintahkan untuk melakukan shalat Tahiyatul Masjid jika seseorang masuk ke mushalla atau ruang serbaguna yang digunakan untuk shalat Jum’at atau lapangan shalat Id. Berkata al-Khatib asy-Syarbini di dalam Mughni al-Muhtaj (5/329),

ولا يفتقر شيء من العبادات إلى مسجد إلا التحية والاعتكاف والطواف

“Tidak ada suatu ibadah yang membutuhkan tempat masjid kecuali shalat Tahiyatul Masjid, i’tikaf dan thawaf.”

Sumber: Fiqh Masjid, Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA., Puskafi.