عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أُمِّ عَبْدِ اللَّهِ عَائِشَةَ رضي الله عنهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدُّ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ. وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ.
Dari Ummul Mukminin, Ummu Abdillah, Aisyah dia berkata, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang melakukan dalam urusan (agama) kami ini hal baru yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim),
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak berdasarkan perintah dari (agama) kami, maka ia tertolak.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Syarah Hadits
Imam An-Nawawi
Sabda beliau: “Barangsiapa yang melakukan hal baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak.” Maksudnya adalah: ditolak. Dalam hadits di atas terdapat dalil bahwa ibadah, baik mandi, wudhu, puasa, maupun shalat, apabila dilakukan tidak seperti yang diajarkan oleh syariat, maka ditolak dan dikembalikan kepada pelakunya. Juga sesuatu yang diperoleh dari transaksi yang rusak harus dikembalikan kepada pemilik aslinya dan tidak boleh dimiliki.
Suatu ketika ada yang berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Anakku adalah karyawan orang ini. Anakku telah berzina dengan istri sang majikan. Aku diberitahu bahwa anakku harus dirajam, maka aku menebusnya dengan seratus ekor kambing dan satu budak perempuan.” Lalu beliau bersabda,
الوَلِيدَةُ وَالغَنَمُ رَدُّ عَلَيْكَ
“Budak perempuan dan kambing itu dikembalikan kepadamu.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Dalam hadits tersebut terdapat dalil bawa siapa yang melakukan bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat maka dia berdosa dan amalan yang dia lakukan ditolak, dan dia terkena ancaman.
Rasulullah ﷺ telah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا، أَوْ آوَى مُحْدِثًا، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan bid’ah atau melindungi pelakunya, maka baginya adalah laknat Allah.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Syarah Hadits
Imam Ibnu Daqiq Al-‘Id
Para pakar bahasa mengatakan: ar-radd di sini bermakna ditolak, yaitu batil dan tidak sah.
Sabda beliau, “Yang tidak berdasarkan perintah dari (agama) kami,” maksudnya: hukum yang telah kami tetapkan.
Hadits di atas adalah salah satu pilar yang agung dalam agama Islam. Hadits tersebut termasuk jawâmi’ul kalim (kalimat singkat, padat, dan berisi) yang disampaikan oleh Nabi. Dalam hadits tersebut terdapat penjelasan gamblang tentang tertolaknya semua bid’ah dan hal baru. Ini juga merupakan dalil batalnya semua transaksi yang terlarang dan transaksi seperti itu tidak berbuah pahala. Beberapa ahli ushul fiqh menggunakan hadits di atas sebagai kaidah bahwa:
النَّهْيُ يَقْتَضِي الْفَسَادَ
Larangan itu menunjukkan adanya kerusakan.
Riwayat lainnya, yaitu sabda beliau, “Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak berdasarkan perintah dari (agama) kami, maka ia tertolak,” secara tegas menyatakan keharusan meninggalkan semua perkara baru, baik yang dibuat oleh pelakunya atau sudah dibuat oleh generasi sebelumnya. Sebab, hal itu sering dijadikan dalil oleh para penentang yang keras kepala. Apabila mereka melakukan bid’ah mereka mengatakan, “Saya tidak membuat satupun hal baru, mereka kemudian berdalil dengan hadits di atas.”
Hadits di atas termasuk hadits yang layak dihafal, disebarluaskan, dan digunakan untuk memberantas berbagai kemungkaran, sebab hadits tersebut berisi semua hal tersebut. Adapun cabang-cabang dari ushul yang tidak keluar dari sunnah, maka itu tidak termasuk dalam amalan yang tertolak ini, misalnya penulisan Al-Qur’an ke dalam mushaf-mushaf dan beberapa madzhab yang berpegang pada pandangan para ulama mujtahid yang mengembalikan persoalan cabang kepada kaidah ushul yang berupa sabda Rasulullah, juga buku- buku yang membahas tentang ilmu nahwu, matematika, ilmu waris, dan ilmu-ilmu lainnya yang bersumber dan berasal dari sabda dan perintah Rasulullah. Semuanya tidak masuk dalam dalam pembahasan hadits di atas.
Sumber: Penjelasan Lengkap Hadits Arbain, Abu Abdillah Said bin Ibrahim, Al Wafi Publishing, Hal 106-109.