Bab Ziarah Kubur

Disyari’atkan ziarah kubur dengan maksud untuk mengambil pelajaran (‘ibrah) dan ingat akan kehidupan akhirat, dengan syarat tidak mengucapkan kata-kata yang mendatangkan murka Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagai misal, meminta sesuatu kepada penghuni kubur (orang mati) dan memohon pertolongan kepada selain Allah dan semisalnya.

Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya aku pernah mencegah kalian dari ziarah kubur, maka (sekarang) ziaralah kuburan; karena padanya mengandung ‘ibrah (pelajaran), namun janganlah kalian mengucapkan kata-kata yang menyebabkan Allah murka (kepada kalian).” (Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 179, Mustadrak Hakim I:374, Baihaqi IV:77 tanpa kalimat terakhir, kalimat tersebut berasal dari riwayat, al-Bazzar I:407 no: 861). 

Kaum perempuan juga seperti kaum laki-laki dalam hal dianjurkannya ziarah kubur karena kebersamaan kaum perempuan dengan kaum laki-laki dalam ‘illat’ sebab (alasan) yang karenanya disyari’atkan ziarah kubur, yaitu sabda Nabi saw., “Karena yang demikian itu dapat melunakkan hati, membuat mata mencucurkan air mata, serta mengingat akhirat." (Hadits ini (yang digarisbawahi) penterjemah kutip dari bab Ziarah Kubur dalam Ahlamul Janaiz oleh Syaikh Al – Albani). Di samping itu, karena ada tuntutan do’a dan dzikir ketika akan masuk kubur atau ketika melewatinya, di mana Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. apa yang akan diucapkannya ketika akan ziarah kubur, lalu beliau mengajarkannya, tidak melarangnya, dan beliau tidak menjelaskan bahwa kaum perempuan tidak boleh ziarah kubur. (Riwayat sudah termuat dalam pembahasan do’a dan dzikir ketika akan masuk kubur atau ketika melewatinya, pada beberapa halaman sebelumnya (Pent.).

Hal-hal yang Haram Dilakukan di Kubur
a. Menyembelih binatang ternak sebagai kurban mendambakan ridha Allah. Berdasarkan hadits Nabi saw. bersabda, "Tidak ada sesajen dalam Islam." Abdurrazaq bin Hamman menegaskan, “Dahulu di zaman jahiliyah, orang-orang gemar melakukan sesajen di kuburan dengan menyembelih sapi atau kambing." (Sanadnya Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 203 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 42 no:3206).

b. Meninggikan makam melebihi tanah galian.

c. Mengapur kuburan

d. Duduk-duduk di atasnya

e. Mendirikan bangunan di atasnya.

f. Menulis di atasnya

Lima point di atas terangkum dalam hadits berikut:

Dari Jabir r.a. berkata, Rasulullah saw. telah melarang mengapur kuburuan, duduk-duduk diatasnya, mendirikan bangunan diatasnya, meninggikan makam melebihi tanah galian, dan menulis di atasnya.” (Sanadnya Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 204 dan ini riwayat Abu Daud, sedangkan riwayat imam-imam yang lain ada penambahan dan pengurangan : Muslim II: 667 no:970, Tirmidzi II: 258 no: 1058 dan Nasa’i IV:86).

g. Shalat menghadap ke kuburan. Karena ada hadits Nabi saw., “Janganlah kamu shalat menghadap ke kuburan…” (Shahih: Shahihul Jami’ no:7348, Muslim II:668 no:972, ‘Aunul Ma’bud IX: 49 no:3213, Tirmidzi II: 257 no:1055 dan Nasa;i II:67).

h. Shalat di samping kuburan, walaupun tidak menghadap kepadanya. Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seluruh bumi adalah tempat sujud (kepada Allah), kecuali kuburan dan kamar mandi.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:2767, ‘Aunul Ma’bud II: 58 no:488 dan Tirmidzi I:199 no: 316).

i. Membangun masjid di atasnya. Dalam hal ini ada sejumlah hadits yang bersumber dari Nabi saw. di antaranya, dari Aisyah dan Abdullah bin Abbas r.a., berkata, tatkala Rasulullah didatangi (malaikat maut), beliau menutupkan kain bergaris ke wajahnya. Bila beliau merasakan sesak nafasnya maka dibuka penutup wajahnya. Dan Rasulullah bersabda, “Allah Ta’ala melaknat kaum Yahudi dan Nasrani yang telah menjadikan kuburan para nabinya sebagai masjid." Beliau mewanti-wanti (mengingatkan agar kita tidak melakukan) seperti yang mereka lakukan itu. (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari VIII:140 no:4444, Muslim I:377 no: 531 dan Nasa’i II:40).

Menjadikan kuburan sebagai lokasi perayaan yang didatangi/dikunjungi pada waktu-waktu tertentu atau musim-musim tertentu untuk beribadah di sisi kuburan atau semisal, hal ini dilarang berdasarkan hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu menjadikan kuburankan sebagai arena perayaan dan jangan (pula) kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan (yang bebas dari kegiatan ibadah); di mana saja kamu berada, maka bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya shalawatmu pasti sampai kepadaku.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7226, dan ‘Aunul Ma’bud VI: 31 no: 2026).

j. Mengadakan perjalanan khusus untuk ziarah
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda, "Janganlah pelana dipasangkan pada binatang yang dikendalikan (untuk bepergian dalam rangka ibadah) kecuali (untuk pergi) ke tiga masjid; Masjidil Haram, Masjid Rasulullah saw., dan Masjidil Aqsha.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III:63 no:1189, Muslim II:1014 no: 1397, ‘Aunul Ma’bud VI:15 no:2017 dan Nasa’i II:37).

k. Menyalakan lampu di atas kuburan. Perbuatan ini termasuk bid’ah, yang tidak pernah dikenal di kalangan ulama’ salaf yang shahih.

Rasulullah saw. bersabda, “Setiap bid’ah adalah sesat dan kesesatan di neraka (tempatnya).” (Shahih: Shahih Nasa’i no:1331, Muslim II:592 no:467 dan Nasa’I III:188). Di samping itu, dalam perbuatan ini (menyalakan lampu di kuburan) terdapat sikap menyia-nyiakan harta, padahal hal itu dilarang secara tegas oleh nash syar’i. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah membenci kalian lakukan tiga hal : menyebarkan isu, menyia-nyiakan harta, dan (ketiga) terlalu banyak bertanya.” (Muttafaqun ‘alaih:Fathul Bari III:340 no:1477 dan Muslim III:1340 no:1715).

l. Memecah (mematahkan) tulang jenazah; Karena ada hadits Nabi saw., "Sesungguhnya memecahkan tulang mayat orang mukmin seperti memecahkan tulang orang mukmin ketika hidup.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:2143, ‘Aunul Ma’bud IX : 24 no:3191 dan Ibnu Majah I:516 no:1616).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm.376 -386.