Disyariatkan bagi setiap muslim melakukan ta'ziyah kepada keluarga yang ditinggal wafat, dengan cara yang sekiranya dapat menghibur keluarga yang dilayat dan dapat meringankan beban kesedihannya, menganjurkannya agar ridha dan bersabar serta tabah sebagaimana yang pernah diajarkan dan diucapkan oleh Rasulullah saw.. Jika tidak, maka dengan mengucapkan kata-kata yang baik, yang kiranya dapat mewujudkan tujuan yang baik dan tidak bertentangan dengan syari'at. Dalam hal ini dijelaskan oleh hadits berikut. Dari Usamah bin Zaid r.a. berkata, ketika kami duduk-duduk di samping Nabi saw., tiba-tiba datanglah utusan dari salah seorang puterinya kepada beliau menjemput dan menyampaikan informasi kepadanya, bahwa bayi atau puteranya tengah menghadapi kematian. Lantas Rasulullah saw. bersabda (kepada orang tersebut), "Kembalilah kepadanya, lalu disampaikanlah kepada, 'Sesungguhnya milik Allah apa saja yang diambil-Nya; karena itu hendaklah ia bersabar dan mengharap pahala dari-Nya!"' (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III:150 no:1284 dan Muslim II:635 no:923).
Seyogyanya menjauhi dua hal, sekalipun mayoritas masyarakat melakukannya, yaitu:
a. Melakukan ta’ziyah dengan cara berkumpul di tempat tertentu, misalnya di rumah, di kuburan, atau di masjid.
b. Orang yang sedang berduka cita menyediakan makanan kepada orang-orang yang melayat.
Hal di atas berbenturan dengan hadits berikut.
Dari Jabir bin Abdullah al-Bajali r.a. berkata. “Dahulu kami biasa menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga yang ditimpa kematian dan membuat makanan seusai pemakaman termasuk niyahah, meratap (yang telah dilarang).” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1308 dan Ibnu Majah I: 514 no:1612).
Justru yang sesuai dengan sunnah Nabi saw. hendaklah sanak kerabat dan tetangga membuatkan makanan dan mencukupi kebutuhan keluarga orang yang sudah ditimpa musibah.
Hal ini didasarkan pada hadits dari Abdullah bin Ja’far r.a. berkata, ketika datang berita wafatnya Ja’far tatkala ia gugur dalam medan perang, Nabi saw. bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far; karena telah datang kepada mereka suatu perkara yang membuat mereka sibuk, atau telah datang kepada mereka apa-apa yang membikin mereka sibuk.” (Hasan : Shahihul Jami’us Shaghir 1015, ‘Aunul Ma’bud I: 406 no: 3116, Tirmidzi II: 234 no:1003 dan Ibnu Majah VIII:514 no:1610).
Hal-hal yang bermanfaat bagi mayat:
1. Do’a seorang muslim untuknya. Ini didasarkan pada firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a, 'Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.'" (Al-Hasyr:10).
Disamping itu, berdasarkan sabda Nabi saw., "Do’a seorang muslim untuk saudaranya dari kejauhan (tidak berhadapan) adalah mustajab (terkabulkan), di atas kepalanya ada seorang malaikat yang mewakili, setiap mendo’akan kebaikan untuk saudaranya, berkatalah sang malaikat itu, 'Semoga do’amu itu dikabulkan dan bagimu yang semisalnya.'" (Shahih: Shahihul Jami’ no: 3381 dan Muslim IV:2094 no:2733).
2. Membayar hutang mayat, oleh siapa saja. Berdasar hadits pelunasan hutang yang dilakukan oleh Abu Qatadah sebesar dua Dinar. (Hadits ini terekam dalam awal-awal Kitab Janaiz ini, tepatnya pada pembahasan : Hendaknya sebagian keluarga segera melunasi hutangnya, walaupun sampai habis peninggalannya.(pent).
3. Membayarkan nadzar mayat, baik nadzar dalam bentuk berpuasa ataupun lainnya, berdasarkan hadits dari Sa’ad bin Ubadah r.a. bahwa ia pernah minta nasihat kepada Rasulullah saw., yaitu ia berkata, “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan dia mempunyai nadzar (janji).“ Maka Rasulullah bersabda, “Tunaikanlah (hutang) nadzar ibumu itu!” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari V:389 no: 2761, Muslim III: 1260 no:1638, ‘Aunul Ma’bud IX:134 no:3283, Tirmidzi III:51 no:1586 dan Nasa’i VII:21).
4. Segala amal shalih yang dilakukan anak yang shalih. Allah saw. berfirman, “Dan bahwasanya segenap manusia tiada memperoleh apapun selain apa yang telah diusahakannya." (An-Najm:39)
Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik apa yang dimakan seorang adalah dari hasil jerih payahnya (sendiri), dan sesungguhnya anak (kandung) adalah bagian dari usahanya.“ (Shahih: Irwa-al Ghalil no:1626, ‘Aunul Ma’bud IX:444 no : 3511 dan ini lafadznya, Tirmidzi II: 406 no : 1369, Ibnu Majah II: 723 no: 2137 dan Nasa’i VII: 241).
5. Apa-apa yang ditinggalkannya berupa amal jariyah dan amal shalih lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga (hal); (pertama) berupa amal jariyah, (kedua) ilmu yang bermanfaat, atau (ketiga) anak shalih yang mendoakannya.” (Shahih : Shahihul Jami’ no: 793, Muslim III: 1255 no: 1631, ‘Aunul Ma’bud VIII : 86 no: 2863, Tirmidzi II: 418 no: 1390, dan Nasa’i VI: 251).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 373 — 377.