Bab Shalat Janazah

1. Hukum Shalat Jenazah
Hukum shalat atas mayat muslim adalah fardhu kifayah berdasar perintah Nabi saw. tentangnya yang termaktub dalam banyak hadist. Di antaranya, dari Zaid bin Khalid al-Juhani, ia berkata bahwa seorang sahabat Nabi saw. gugur di medan perang Khaibar, lalu para sahabat menginformasikan hal tersebut kepada Rasulullah saw.  Maka Rasulullah saw. bersabda, “Shalatilah sahabat kalian itu!" Maka berubahlah raut wajah mereka untuk itu. Kemudian Rasulullah bersabda (lagi), “Karena sesungguhnya sahabat kalian itu telah melakukan pencurian harta rampasan sebelum dibagikan dalam jihad fi sabilillah!"  Lalu kami memeriksa perbekalannya, maka kami dapati kain sulaman milik orang Yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham. (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:79,  ‘Aunul Ma’bud VII : 378 no:2693, Ibnu Majah II : 950 no:2848 dan Nasa’i IV:64).

2. Dua Orang Pengecualian Yang Tidak Wajib Dishalati

a. Anak kecil yang belum baligh
Aisyah  r.a. berkata, “Telah meninggal dunia Ibrahim, putera Nabi saw. dalam usianya yang kedelapan belas bulan, dan Rasulullah saw. tidak menshalatinya.” (Hasanaul Isnad: Ahkamul Janaiz hal:80, Shahih Abu Daud no:2729 dan Abu Daud VIII: 476 no: 3171). 

b. Orang yang Gugur sebagai Syahid
Dari Anas  r.a. (ia berkata), “Bahwa para syuhada perang Uhud tidak dimandikan, dikebumikan bersama darahnya, dan tidak (pula) mereka dishalati.” (Hasan :Shahihul Abu Daud no: 2688, ‘Aunul Ma’bud VIII : 408 no:3119 secara ringkas dan Tirmidzi II : 241 no: 1021 secara panjang lebar). Namun ketidakwajiban menshalati kedua golongan diatas tidak berarti disyari’atkan shalat atas keduanya. Dari Aisyah r.a. berkata, “Telah didatangkan ke hadapan Rasulullah saw.  seorang anak kecil dari kaum Anshar (yang meninggal), kemudian beliau menshalatinya,” (Shahih:Nasa’i no:1839, Muslim IV: 2050 no:2262, dan Nasa’i IV : 57). Dari Abdullah bin az-Zubair r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah menyuruh (para sahabat mengurusi) mayat Hamzah pada perang Uhud, lalu dikafani dengan kain kafan bergaris dari Yaman, kemudian beliau menshalatinya dengan takbir sembilan kali. Kemudian didatangkan (lagi) banyak mayat (kepada beliau), lalu diletakkan dalam satu shaf, lalu beliau menshalati mereka dan juga dia (Hamzah) bersama mereka (Sanadnya Hasan: al-Janaiz hal.49, dan semua rawi-rawinya terpercaya. Ath-Thahawi meriwayatkannya dalam Ma’nil Atsar I:290).  

3.Makin Banyak Orang Yang Menshalati Jenazah Semakin Afdhal Bagi Sang Mayat Dan Lebih Bermanfaat.
Hal ini berdasar sabda Nabi saw., “Tidaklah seseorang meninggal dunia kemudian dishalati oleh seratus orang muslim semuanya memberikan syafa’at kepadanya.” (Shahih:Shahihul Nasa’i no:1881, Muslim II:654 no: 947, Tirmidzi II: 247 no:1034, dan Nasa’i IV: 75).

Dan sabda Rasulullah saw. yang lain, “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, kemudian dishalati oleh empat puluh orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, melainkan pasti Allah memperbolehkan mereka memberi syafa’at kepadanya." (Shahih:ash-Shahihah no:2267, Muslim II: 655 no: 948, ‘Aunul Ma’bud VIII : 451 no:3154 dan Ibnu Majah I: 477 dengan redaksi yang mirip). 

4. Dianjurkan Membentuk Tiga Shaf Di Belakang Imam, Sekalipun Mereka Berjumlah Sedikit
Dari Martsad al-Yazani dari Malik bin Hubairah  r.a. bahwa Rasulullah saw.  bersabda, “Setiap orang yang wafat, lalu dishalati oleh tiga shaf dari kalangan orang muslim, pasti (diampuni dosa-dosanya).” Marstad berkata, adalah Malik apabila orang-orang yang akan shalat jenazah sedikit jumlahnya, dia membagi mereka menjadi shaf, berdasar hadist ini. (Hasan : Ahkamul Janaiz hal:99-100, ‘Aunul Ma’bud VIII : 448 no:3150, Tirmidzi II:246 no:1033 dan Ibnu Majah I: 478 no:1490).

Bila ternyata jenazahnya banyak dan bercampur antara jenazah laki-laki dan perempuan, lalu dishalati satu per satu, maka ini adalah hukum asalnya. Namun jika dishalati sekaligus hukumnya boleh, dengan menempatkan posisi jenazah laki-laki lebih dekat ke arah imam, sedangkan yang perempuan lebih dekat ke arah kiblat. Berdasar riwayat dari Nafi’ dari Ibnu Umar  r.a. bahwa ia pernah menshalati sembilan jenazah sekaligus, dengan menempatkan posisi jenazah laki-laki dekat ke arah imam dan jenazah perempuan lebih dekat ke arah kiblat, lalu menjajarkannya bershaf-shaf dan meletakkan jenazah Ummu Kulsum binti Ali, isteri Umar bin Khatab bersama puteranya yang bernama Zaid. Sementara yang menjadi imam pada waktu itu adalah Sa’id bin ‘Ash, sedang diantara jama’ah terdapat Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id dan Abu Qatadah, lalu diletakkan jenazah anak-anak lebih dekat ke imam. Tiba-tiba ada seseorang yang berkata, “Maka aku mengingkari cara shalat ini.” Kemudian kuperhatikan Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id dan Abu Qatadah, lalu aku tanya (mereka), “Apa – apaan ini?" Maka jawab mereka, ”Inilah sunnah.” (Shahih:Shahih Nasa’i no:1869, Ahkamul Janaiz hal:103, dan Nasa’i IV :71).

5. Tempat Melaksanakan Shalat Jenazah
Shalat  jenazah boleh  dilaksanakan  di dalam  masjid  berdasar  riwayat berikut ini:

Dari Aisyah r.a. bertutur, tatkala Sa’ad bin Abi Waqash meninggal dunia, para isteri Nabi saw. menyuruh agar jenazahnya diletakkan di masjid sehingga mereka dapat menshalatinya. Para pengusung jenazah pun kemudian meletakkannya di serambi dan mereka (para isteri Nabi saw. ) menshalatinya. Kemudian sampailah informasi kepada mereka (para isteri Nabi saw.)  bahwa banyak orang laki-laki mengecam kejadian tersebut, dan mereka berkomentar, “Sebelumnya tidak pernah jenazah dimasukkan ke dalam masjid.” Sikap mereka itu segera sampaikan kepada Aisyah, lalu ia berkata, “Betapa tergesa-gesanya mereka mencela suatu perbuatan yang belum mereka ketahui dasarnya. Mereka mencela kami karena kami memasukkan jenazah ke dalam masjid, padahal Rasulullah saw. tidak menshalati Suhail bin Baidhaa’, kecuali di tengah-tengah masjid,” (Shahih:Shahihul Nasa’i no:1859, Muslim II : 668 no: 100 dan 973 dan lafadz baginya ‘Aunul Ma’bud VIII : 477 no:3173 secara ringkas, dan Nasa’i IV:68).

Namun yang lebih afdhal shalat jenazah dilaksanakan di luar masjid, di tempat yang memang dipersiapkan untuk mengerjakan shalat jenazah sebagaimana sudah dimaklumi bahwa pada masa Nabi saw., pada umumnya shalat jenazah dilakukan di luar masjid.

Dari Ibnu Umar r.a. bahwa ada sekelompok orang Yahudi datang kepada Nabi saw. dengan membawa dua orang dari kalangan mereka yang berzina, yang satu laki-laki dan satu (lagi) perempuan. Kemudian beliau memerintah agar keduanya dirajam (dilempari dengan batu) di dekat masjid. (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:106, dan Fathul Bari III : 199 no:3129).

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. memberitahu (kepada para sahabat) berita kematian (raja) Najasyi pada hari wafatnya, lalu beliau keluar ke tempat shalat (yang biasa dipakai shalat jenazah), kemudian beliau mengatur shaf mereka, lantas bertakbir empat kali.” (Muttafaqun ‘alaih:Fathul Bari III: 116 no:1245, Muslim II:656 no:951, ‘Aunul Ma’bud IX: 5 no:3188, dan Nasa’i  IV: 72).

Tidak boleh shalat jenazah di tengah-tengah kuburan, berdasar hadits Anas bin Malik  r.a., bahwa Nabi saw. pernah melarang (umatnya) shalat jenazah di antara kuburan (Sanad Hasan : Ahkamul Janaiz hal:108. Syaikh Al Abam berkata, Diriwayatkan juga oleh Abu Dawad ath’Thayalisi II: 80 no:1). 

6. Tempat Berdirinya Imam
Dari Abu Ghalib al-Khayyath berkata, Aku menyaksikan Anas bin Malik r.a. menshalati mayat laki-laki, dia berdiri persis pada posisi kepalanya. Tatkala jenazah laki-laki diangkat, didatangkan kepadanya jenazah perempuan dari kaum Quraisy atau kaum Anshar, lalu dikatakan kepadanya.”Wahai Abu Hamzah, ini jenazah seorang wanita puteri si Fulan maka shalatilah ia.” Kemudian dia menshalatinya dengan berdiri tepat di bagian tengahnya. Di antara kami al-‘Ala bin Ziyad al-Adawi, tatkala ia melihat ada perbedaan posisi berdiri Abu Hamzah ketika menshalati laki-laki dengan menshalati perempuan, maka ia bertanya, “Wahai Abu Hamzah, Apakah memang demikian cara Rasulullah saw. berdiri menshalati jenazah sebagaimana engkau menshalati laki-laki dan menshalati perempuan?” Jawabnya, “Ya (betul).” Maka al-‘Ala menoleh kepada kami dan berkata, “Hendaklah kalian memelihara (sunnah Nabi saw.) ini.” (Shahih:Shahih Ibnu Majah no:1214, ‘Aunul Ma’bud VIII : 484 no:3178, Tirmidzi II:248 no:1039 dan Ibnu Majah I: 479: 1494). 

7. Cara Shalat Jenazah
Boleh melakukan takbir jenazah empat, lima, sampai sembilan kali takbir. Sebaliknya dilakukan secara variatif (terkadang empat, terkadang, lima dan seterusnya).

Adapun yang empat kali takbir, berdasar hadist Abu Hurairah :

Bahwa Rasulullah saw. memberitahu (kepada para sahabat) tentang kematian Najasyi pada hari wafatnya, kemudian beliau keluar menuju tempat yang biasa dipakai mengerjakan shalat jenazah, lalu mengatur shaf mereka, lantasi takbir empat kali. (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:106, dan Fathul Bari III :199 no:1329).

Adapun yang lima kali takbir mengacu kepada hadits :

Dari Abdurrahman bin Abi Laila, ia bertutur, adalah Zaid bin Arqam bertakbir untuk shalat jenazah kami empat kali, dan dia pernah bertakbir untuk satu jenazah yang lain, lima kali. Kemudian aku bertanya kepadanya tentang hal tersebut, maka dia menjawab, “Adalah Rasulullah saw. bertakbir sebanyak itu.” (Shahih:Shahih Ibnu Majah no:1212 no:1028, Ibnu Majah I:482 no:1505, dan Nasa’i IV:72).

Adapun yang enam dan tujuh kali takbir, maka diriwayatkan oleh sebagian atsar yang mauquf (dari perbuatan sebagian sahabat), namun status hukumnya disamakan dengan yang marfu’ (dengan yang dilakukan oleh Rasulullah); karena sebagian sahabat senior mempraktikkannya di hadapun sahabat yang lainnya dan tak satupun di antara mereka yang menegurnya :

Dari Abdullah bin Ma’qal  r.a. bahwa Ali bin Abi Thalib pernah menshalati jenazah Sahal bin Hunaif dengan enam kali takbir, kemudian menoleh kepada kami sambil berkata, “Dia adalah sahabat yang ikut dalam perang Badar.” (Sanadnya Hasan: Ahkamul Janaiz hal:113 Mustadrak Hakim III:409, dan Baihaqi IV:36).

Dari Musa bin Abdullah bin Yazid bahwa Ali pernah menshalati jenazah Abu Qatadah dengan tujuh kali takbir, dan adalah dia termasuk sahabat yang ikut perang Badar. (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:114, dan Baihaqi IV:36).

Dari Abdi Khair, berkata, adalah Ali r.a. bertakbir enam kali untuk ahli Badar, lima kali untuk para sahabat Nabi saw., dan empat kali untuk masyarakat umum.” (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:113, Ad-Daraquthni II: 73 no:7 dan Baihaqi IV:37).

Adapun yang sembilan kali takbir, diriwayatkan dari Adullah bin az-Zubair r.a. bahwa Nabi saw. pernah menshalati jenazah Hamzah dengan sembilan kali takbir.” (Sanadnya hasan: Ahkamul Janaiz hal:49, dan rawi-rawinya kepercayaan, sebagaimana yang diriwayatkan ath-Thahawi dalam Ma’anil Atsar I:290). 

8.  Disyari’atkan Mengangkat Tangan Pada Takbir Pertama
Dari Abdullah Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. biasa mengangkat kedua tangannya dalam shalat jenazah pada takbir yang pertama saja, kemudian tidak mengangkat tangan lagi (pada takbir-takbir berikutnya).” (Rawi-rawinya tsiqah: Ahlamul Janaiz hal.116).

Kemudian menempatkan tangan kanan pada punggung telapak tangan kiri di atas pergelangan dan atas lengannya, lalu menempatkannya di dadanya.

Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata, “Adalah para sahabat pernah diperintah (oleh Nabi saw.)  agar setiap orang (yang shalat) meletakkan tangan kanannya pada lengan kirinya dalam shalat.” (Shahih: Mukhtashar Bukhari no:402, Fathul Bari II:224 no:740 dan Muwathtak Malik hal.111 no: 376).(Diantara ulama ada yang membenarkan angkat tangan pada setiap takbir dengan berdalil pada riwayat Imam Baihaqi bahwa Ibnu Umar mengangkat tangan pada semua takbir shalat jenazah. Lihat kibat Janazah hal 86 oleh K.H. Nadjah Abjad terbitan Bulan Bintang Jakarta (Pnt).

Kemudian  sesudah takbir pertama, membaca al-Fathihah dan surah yang lain :

Dari Thalhah bin Abdullah bin ‘Auf r.a. berkata, “Aku pernah shalat di belakang Ibnu Abbas r.a. dalam shalat jenazah, lalu ia membaca surat al-Fatihah dan surah (yang lain) dengan suara keras hingga mendengarnya. Tatkala usai shalat, aku pegang tangannya lalu kutanyakan hal tersebut kepadanya, maka ia menjawab, “Sesungguhnya aku mengeraskan suara agar kalian mengetahui, bahwa sesungguhnya hal itu adalah sunnah Nabi saw. dan (sesuatu yang) haq”. (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:119, Nasa’i IV:75, adapun tentang membaca surah al-Fatihah saja diriwayatkan oleh Bukhari, Fathul Bari III: 203 no: 1335, Abu Dawud, ‘Aunul Ma’bud VIII:495 no:3182, Tirmidzi 246 no:1032 dan Ibnu Majah I: 479 no: 1495).

Membaca ayat dengan lirih (tanpa bersuara) berdasar hadist berikut :

Dari Abu Amamah bin Sahl r.a. berkata, “Menurut sunnah Nabi saw. dalam menshalati jenazah adalah membaca al-Fatihah pada takbir pertama secara pelan, kemudian bertakbir tiga kali, lalu memberi salam.” (Sanadnya Shahih: Ahkamul Janaiz hal:111, dan Nasa’i IV:75).

Kemudian takbir kedua membaca shalawat kepada Nabi saw. berdasar hadits Abu Umamah r.a. di atas bahwa ia pernah menerima informasi dari seorang sahabat Nabi saw. dengan mengatakan, bahwa menurut sunnah Nabi saw. dalam menshalati agar imam bertakbir, kemudian membaca surah al-Fatihah dengan pelan sesudah takbir pertama, kemudian membaca shalawat kepada Nabi saw. dan mengikhlaskan do’a untuk jenazah pada tiga takbir. Tidak membaca apa-apa sesudahnya, kemudian memberi salam dengan pelan. (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:122, asy-Syifi’I dalam al-Umm I: 270, dan Baihaqi IV:39).

Kemudian, dalam takbir-takbir selanjutnya, hendaklah dengan ikhlas berdo’a untuk sang mayat, berdasar sabda Nabi saw., "Apabila kamu menshalati mayat, maka hendaklah kamu berdo’a dengan ikhlas untuknya." (Hasan : Irwa-ul Ghalil no:732, Shahihul Jami’us Shaghir : 669, ‘Aunul Ma’bud VIII: 496 no:3183 dan Ibnu Majah I: 480 no:1497).

Hendaklah mendo’akan mayat dengan do’a-do’a yang bersumber dari Nabi saw., diantaranya ialah :

Dari ‘Auf bin Malik r.a. berkata, Rasulullah saw. menshalati jenazah, lalu kuhafalkan do’a darinya, yaitu Beliau berdo’a; ALLAHUMMAGFIRLAHUU WARHAMHU, WA’AAFIHI WA’FU ‘ANHU, WA AKRIM NUZULLAHUU, WA WASSI’ MADKHALAHUU, WAGHSILHU BIL MAA-I WATSTSALJI WAL BARADI, WA NAQQIHII MINAL KHATAAYAA KAMAA YUNAQQATS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANASI, WA BDILHU DAARAN KHAIRAN MIN DAARHII WA AHLAN KHAIRAN MIN AHLIHII, WA ZAUJAN KHAIRAN MIN ZAUJIHII WA ADKHIL HUL JANNATA, WA A’ID HU MIN’ADZAABIL QADRI WA ADZAA BIN NAAR (Ya Allah, limpahkan ampunan kepadanya dan rahmatilah Dia, bebaskanlah dia dan ma’afkanlah, dan muliakanlnya kedatangannya, lapangkanlah tempat masuknya, dan sucikanlah dia dengan air, salju, dan embun, dan bersihkanlah dia dari segala kesalahannya sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran (noda) dan gantilah baginya sebuah rumah yang lebih baik daripada rumahnya, keluarga yang lebih baik daripada keluarganya, isteri yang lebih baik daripada isterinya dan masukkanlah dia ke dalam surta dan lindungilah dia dari adzab kubur dan adzab neraka).” Ia berkata, “Aku mendambakan seandainya akulah yang menjadi mayat itu.” (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:123, Muslim II: 662 no:963, Ibnu Majah I: 481 no:1500, dan Nasa’i IV:73).

Berdo’a antara takbir dan salam untuk jenazah disyari’atkan berdasar hadits :

Dari Abi Ya’fur dari Abdullah bin Abi Aufa  r.a. ia berkata, aku menyaksikannya (ya’ni menyaksikan Ibnu Abi Aufa) bertakbir dalam shalat jenazah empat kali, kemudian berdiri sejenak-ya’ni berdo’a kemudian berkata, “Apakah kalian menyangka aku bertakbir lima kali?” Jawab mereka, “Tidak,” Ia berkata “Sesungguhnya Rasulullah SAW bertakbir empat kali.” (Sanadnya Shahih: Ahkamul Janaiz hal:126, dan Baihaqi IV:35).

Kemudian mengucapkan dua salam seperti dalam shalat wajib, sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Ini didasarkan pada hadits dari Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, Ada tiga hal yang selalu dikerjakan Rasulullah saw., namun justeru ditinggalkan oleh masyarakat; salah satunya ialah mengucapkan salah dalam shalat jenazah seperti salam dalam shalat (wajib). (Sanadnya hasan: Ahkamul Janaiz hal:127, dan Baihaqi IV:43).

Namun boleh mencukupkan dengan mengucap salam sekali saja, berdasarkan hadits :

Dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. menshalati jenazah dengan empat kali takbir dan sekali salam. (Sanadnya hasan: Ahkamul Janaiz hal:128, Mustadrak Hakim I:360,  dan Baihaqi IV:43). 

9. Tidak Boleh Mengerjakan Shalat Jenazah Pada Waktu-Waktu Terlarang, Kecuali Kondisi Darurat
Dari ‘Uqbah bin Amir r.a, berkata, “Ada tiga waktu yang Rasulullah saw. melarang kita mengerjakan shalat, atau mengubur mayat-mayat kita, yaitu ketika matahari terbit hingga naik, (kedua) ketika matahari berdiri tegak hingga bergeser ke arah barat, dan (ketiga) ketika matahari menjelang terbenam hingga tenggelam.” (Shahih : Shahih Ibnu Majah no: 1233, Muslim I:568 no: 831, ‘Aunul Ma’bud VIII: 481 no: 3176, Tirmidzi II: 247 no:1035, Nasa’i I:275 dan Ibnu Majah I:481 no:1519). 

10.   Keutamaan Shalat Jenazah Dan Mengantarkannya.
Dari Abu Hurairah r.a.  dari Nabi saw. bersabda, “Barang siapa shalat jenazah, namun tidak mengiringinya (kekuburan), maka mendapat (pahala) satu qirath, jika ia mengantarkannya maka mendapat dua qirath.” Kemudian beliau ditanya “Seperti apa dua qirath itu?” Jawab beliau, “Yang terkecil diantara keduanya itu seperti gunung Uhud.” (Shahih : Shahihul Jami’us Shaghir no6355 dan Muslim II : 653 no:53 dan 945). 

Keutamaan dalam mengantarkan jenazah ini hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki, tidak meliputi kaum perempuan. Karena Nabi saw. pernah melarang kaum hawa mengiringi jenazah dengan larangan littanzih (untuk dijauhi dan dihindari), bukan littahrim (harim). Sebab Ummu ‘Athiyah berkata :

“Kami dilarang mengiringi jenazah, namun tidak begitu ditekankan kepada kami.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III: 144 no:1278, ‘Aunul Ma’bud VIII:449 no: 3151, Ibnu Majah I: 502 no:1577, Muslim II : 464 no:938).

Tidak boleh mengiring jenazah seraya melakukan hal-hal yang berseberangan dengan syari’at: diantaranya yang ditegaskan oleh nash ada dua hal, yaitu mengiringinya dengan tangisan keras dan membawa bakaran wangi-wangian, sebagaimana yang disinyalir dalam sabda Nabi saw. ,“Jangan kamu mengiringi jenazah dengan rintihan suara dan api.” (Sanadnya hasan: Ahkamul Janaiz no:70 dan ‘Aunul Ma’bud VIII : 453 no:3155)

Termasuk yang dilarang adalah berdzikir dengan suara keras ketika mengiring jenazah, karena hal ini termasuk bid’ah dan karena ada riwayat dari Qais bin Abbad, berkata, “Adalah para sahabat Nabi SAW benci mengeraskan suara ketika mengiring jenazah.” (Para perawinya tsiqah: Ahlamul Janaiz hal.71 dan diriwayatkan oleh Baihaqi IV:74)

Disamping itu, perbuatan tersebut menyerupai kebiasaan kaum Nashrani, yang mana kebiasaan mereka ketika mengiringi jenazah membaca Injil mereka sambil menyanyikan suara-suara sendu yang melambangkan belasungkawa. Lebih buruk lagi adalah jika mengikuti kebiasaan mereka, saat mengiringi jenazah dengan irama musik yang melantun penuh haru, seperti yang dilakukan di sebagian negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim karena mengikuti atau mengekor orang-orang kafir. Hanya kepada Allah jualah kami mohon pertolongan dan perlindungan. 

11.        Wajib Mempercepat Perjalanan Jenazah Ke Kuburan, Namun Tidak Sampai Lari-Lari Kecil
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw., “Segerakanlah mengubur jenazah, jika ia (termasuk orang) yang shalih, maka merupakan kebaikan yang kalian peruntukkan baginya; namun bila tidak demikian, maka merupakan keburukan yang kalian lepaskan dari pundak kalian.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III : 182 no:1315, Muslim II: 651 no:944, ‘Aunul Ma’bud VIII: 469 no:3165, Tirmidzi II: 1020 dan Nasa’i IV: 42).  

Diperbolehkan mengiringi jenazah di depannya dan di belakangnya, di samping kanannya dan disamping kirinya, dengan catatan harus selalu dekat dengan jenazah, kecuali pengantar yang naik kendaraan, maka seharusnyalah mengiringinya di belakang jenazah berdasarkan hadits Mughirah:

Dari al-Mughirah bin Syu’bah  r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang naik kendaraan (berjalan mengiringi) di belakang jenazah, sedangkan yang berjalan kaki boleh mengambil posisi sesukanya." (Shahih : Shahihul Jami’us Saghir no:3533, Tirmidzi II:248 no:1036, Nasa’i IV:55, dan ‘Aunul Ma’bud VIII:467 no:3164). 

Namun yang afdhal pengantar jenazah berjalan di belakangnya, karena sesuai dengan makna sabda Nabi saw., “Dan, ikutilah jenazah-jenazah itu!" (Sanadnya hasan: Ahkamul Janaiz hal:74, dan Baihaqi IV:25). 

Sabda Nabi saw. diatas diperkuat oleh penegasan Ali r.a.

“Berjalan (mengiringi jenazah) dibelakangnya adalah lebih afdhal dari pada berjalan (mengiringi jenazah) di depannya, sebagaimana lebih afdhalnya shalat seseorang dengan berjama’ah dari pada shalatnya sendirian.” (Sanadnya hasan: Ahkamul Janaiz hal:74, dan Baihaqi IV:25). 

12.        Do’a Ketika Akan Masuk Kawasan Kuburan Atua Ketika Melewatinya
“Dari Aisyah r.a. ia berkata, “Ya Rasulullah, apa yang akan saya ucapkan ketika menziarahi kubur mereka ? Maka jawab beliau, “Ucapkanlah, ASSALAMU’ALAA AHLID DIYAAR MINAL MUKINIINA WAL MUSLIMIN, WA YARHAMULLAHUL MUSTAQDIMIINA MINNA WAL MUSTAKHIRIN WA INNA INSYA ALLAHU BIKUM LAAHIQUUN (Mudah-mudahan kesejahteraan terlimpahkan kepada penghuni perkampungan ini. Mudah-mudahan Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada orang-orang yang telah mendahului kami dan yang akan menyusul kami, dan insya Allah kami akan berjumlah denganmu).” (Shahih: Shahihul Jami’ul Shaghir: Ahkamul Janaiz hal:183, Muslim II:669 no:103 dan 974, dan Nasa’i IV:91).

Dari Sulaiman bin Burairah dari bapaknya r.a. ia berkata, “Adalah Rasulullah saw. sering mengajar para sahabatnya bila ia hendak berangkat untuk ziarah kubur, ASSALAMU’ALAIKUM YA AHLAD DIYAAR MINAL MUKMINIINA WAL MUSLIMIN, WA INNA INSYA ALLAHU BIKUM LALAAHIQUUNA, AS ALULLAHA LANAA WA LAKUMUL ‘AAFIYAH (Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu, wahai penghuni negeri ini dari kalangan orang-orang mukmin dan orang-orang muslim; insya Allah  kami akan berjumpa dengan kalian. Aku memohon kepada Allah perlindungan untuk kami dan kamu),” (Shahih: Shahih Nasa’i no:1928, Muslim II:671 no:975 dan Nasa’i IV:94).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 342 –  359.