Raja’

Th (2)

Kaitannya dengan tempat persinggahan raja’ (mengharap) ini, Allah telah befirman,

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إلى رَبِّهم الوسيلة أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut adzab-Nya.” (Al-Isra’: 57).

Mencari jalan dalam ayat ini artinya mencari cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ubudiyah dan juga mencintai-Nya. Ada tiga sendi iman: Cinta, rasa takut dan berharap. Tentang harapan ini Allah telah menjelaskan,

فمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحاً ولا يُشرك بعِبَادَة ربه أحدا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Al-Kahfi: 110).

أولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 218).

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Jabir Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, tiga hari sebelum wafat,

لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بربه

“Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal melainkan dia berbaik sangka terhadap Rabbnya.”

Juga dari Jabir disebutkan di dalam Ash-Shahih, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

يقول الله عز وجل: أنا عند ظن عبدي بي فليظن بي ما شاء

“Allah Azza wa Jalla befirman, “Aku berada pada persangkaan hambaku kepada-Ku. Maka hendaklah dia membuat persangkaan kepada-Ku menurut kehendaknya.”

Raja’ merupakan ayunan langkah yang membawa hati ke tempat Sang Kekasih, yaitu Allah dan kampung akhirat. Ada yang berpendapat, artinya kepercayaan tentang kemurahan Allah.

Perbedaan raja (mengharap) dengan tamanny (berangan-angan), bahwa berangan-angan disertai kemalasan, pelakunya tidak pernah bersungguh-sungguh dan berusaha. Sedangkan mengharap itu disertai dengan usaha dan tawakal. Yang pertama seperti keadaan orang yang berangan-angan andaikan dia mempunyai sepetak tanah yang dapat dia tanami dan hasilnya pun dipetik. Yang kedua seperti keadaan orang yang mempunyai sepetak tanah dan dia olah dan tanami, lalu dia berharap tanamannya tumbuh. Karena itu para ulama telah sepakat bahwa raja’ tidak dianggap sah kecuali disertai usaha. Raja’ itu ada tiga macam; Dua macam terpuji dan satu macam tercela, yaitu:

  1. Harapan seseorang agar dapat taat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah, lalu dia mengharap pahala-Nya.
  2. Seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat dan mengharap ampunan Allah, kemurahan dan kasih sayang-Nya.
  3. Orang yang melakukan kesalahan dan mengharap rahmat Allah tanpa disertai usaha. Ini sesuatu yang menipu dan harapan yang dusta.

Orang yang berjalan kepada Allah mempunyai dua pandangan: Pandangan kepada diri sendiri, aib dan kekurangan amalnya, sehingga membukakan pintu ketakutan, agar dia melihat kelapangan karunia Allah, dan pandangan yang membukakan pintu harapan baginya. Karena itu ada yang mengatakan bahwa batasan raja’ adalah keluasan rahmat Allah.

Ahmad bin Ashim pernah ditanya, “Apakah tanda raja’ pada diri hamba?” Dia menjawab, “Jika dia dikelilingi kebaikan, maka dia mendapat ilham untuk bersyukur, sambil mengharap kesempurnaan nikmat dari Allah di dunia dan di akhirat, serta mengharap kesempurnaan ampunan-Nya di akhirat.”

Maka ada perbedaan pendapat, mana di antara dua macam raja’ yang paling sempurna, raja’-nya orang yang berbuat baik untuk mendapatkan pahala kebaikannya, ataukah raja’-nya orang yang berbuat keburukan lalu bertaubat dan mengharapkan ampunan-Nya?

Pengarang Manazilus-Sa’irin mengatakan, bahwa raja’ merupakan tempat persinggahan dan kedudukan yang paling lemah bagi orang yang berjalan kepada Allah, karena di satu sisi raja’ menggambarkan perla- wanan, dan di sisi lain menggambarkan protes.

Memang kami mencintai Abu Isma’il yang mengarang Manazilus- Sa’irın. Tapi kebenaran jauh lebih kami cintai daripada cinta kami kepadanya. Siapa pun orangnya selain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang ma’shum, perkataannya boleh diambil dan boleh ditinggalkan. Kami berprasangka baik terhadap perkataan Abu Isma’il ini, tetapi kami akan menjabarkannya agar menjadi lebih jelas.

Perkataannya, “Raja’ merupakan tempat persinggahan dan kedudukan yang paling lemah bagi orang yang berjalan kepada Allah”, hal itu jika dibandingkan dengan tempat persinggahan lain seperti ma’rifat, cinta, ikhlas, jujur, tawakal dan lain-lainnya, bukan berarti keadaannya yang lemah dan kurang.

Sedangkan perkataannya, “Karena di satu sisi raja’ menggambarkan perlawanan, dan di sisi lain menggambarkan protes”, karena raja’ merupakan kebergantungan kepada kehendak hamba agar mendapatkan pahala dan karunia dari Allah. Padahal yang dikehendaki Allah dari hamba ialah agar hamba itu memenuhi hak Allah dan bermu’amalah dengan-Nya dengan hukum keadilan-Nya. Jika dalam mu’amalahnya dengan Allah, hamba mendasarkan kepada hukum karunia, maka hal ini termasuk bentuk perlawanan. Seakan-akan orang yang berharap menggantung hatinya kepada sesuatu yang berlawanan dengan kehendak Penguasa. Berarti hal ini menajikan hukum kepasrahan dan ketundukan kepada-Nya. Berarti raja hamba itu berlawanan dengan hukum dan kehendak-Nya. Orang yang mencintai ialah yang mengabaikan kehendak dirinya sendiri karena mementingkan kehendak kekasihnya. Sedangkan dari sisi yang menggambarkan protes, karena jika hati bergantung kepada raja, lalu tidak mendapatkan apa yang diharapkan, maka ia akan protes. Kalau pun hati mendapatkan apa yang diharapkan, ia tetap protes, karena apa yang didapatkan tidak tepat dengan apa yang diharapkan. Toh setiap orang tentu mengharap karunia Allah dan di dalam hatinya pasti melintas harapan ini. Ada sisi lain dari protes ini, yaitu dia protes kepada Allah karena apa yang diharapkannya itu. Sebab orang yang berharap tentu mengangan-angankan apa yang diharapkannya dan dia terpengaruh olehnya. Yang demikian ini berarti merupakan protes terhadap takdir dan menajikan kesempurnaan kepasrahan dan ridha kepada takdir.

Inilah yang dikatakan Abu Isma’il di dalam Manazilus-Sa’irin beserta interpretasinya yang paling baik. Hal ini dapat ditanggapi sebagai berikut, bahwa apa yang dikatakan itu dan sejenisnya merupakan ketergelinciran yang diharapkan diampuni karena kebaikan beliau yang banyak, ia memiliki kejujuran yang sempurna, mu’amalahnya dengan Allah benar, keikhlasannya kuat, tauhidnya murni tetapi tidak ada orang selain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang terjaga dari kesalahan dan kekurangan.

Ketergelinciran ini mendatangkan fitnah terhadap golongan orang-orang yang kebaikan, kehalusan jiwa dan mu’amalahnya tidak seperti mereka. Lalu mereka pun mengingkari dan berburuk sangka terhadap golongan ini. Bualan ini juga mendatangkan cobaan terhadap orang-orang yang adil dan obyektif, yang memberikan hak kepada orang yang memang berhak dan menempatkan segala sesuatu pada proporsinya, yang tidak menghukumi sesuatu yang benar dengan yang cacat atau kebalikannya. Mereka menerima apa yang memang diterima dan menolak apa yang memang harus ditolak. Bualan-bualan inilah yang ditolak dan diingkari para pemuka ulama dan mereka membebaskan diri dari hal-hal seperti ini serta akibat-akibat yang ditimbulkannya, seperti yang diceritakan Abul-Qasim Al-Qusyairy, “Aku mendengar Abu Sa’id Asy- Syahham berkata, “Aku pernah bermimpi bertemu Abu Sahl Ash-Shaluky yang sudah meninggal dunia. Aku bertanya kepadanya (dalam mimpi), “Apa yang dilakukan Allah terhadap dirimu?” Abu Sahl menjawab, “Allah telah mengampuni dosaku karena masalah-masalah yang ditanyakan orang- orang yang lemah.”

Tentang perkataan Abu Isma’il, “Raja’ merupakan tempat persinggahan dan kedudukan yang paling rendah”, maka ini tidak benar, bahkan ini merupakan tempat persinggahan yang agung, tinggi dan mulia. Harapan, cinta dan rasa takut merupakan inti perjalanan kepada Allah. Allah telah memuji orang-orang yang berharap dalam firman-Nya

لقدْ كَانَ لكم في رسول الله أسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).

Disebutkan di dalam hadits shahih, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

يا ابن آدم إنك ما دعوتني ورجوتني غفرت لك على ما كان منك ولا أبالي

“Allah befirman, “Wahai anak Adam, sesungguhnya selagi kamu berdoa dan berharap kepada-Ku, maka Aku mengampuni dosamu, apa pun yang kamu lakukan dan Aku tidak peduli.”

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

يقول الله عز وجل: “أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه إذا ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي وإن ذكرني في ملأ ذكرته في ملأ خير منهم وإن اقترب إلي شبرا اقتربت إليه ذراعا وإن اقترب إلي ذراعا اقتربت إليه باعا وإن أتاني يمشي أتيته هرولة

“Allah befirman, “Aku berada pada persangkaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku besertanya. Jika dia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku mengingatnya di dalam Diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di dalam keramaian orang, maka Aku mengingatnya di dalam keramaian orang yang lebih baik darı mereka. jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa, jika dia mendatangi- Ku dengan berjalan kaki, maka Aku mendatanginya dengan berlari- lari kecil.” (Muttafaq Alaihi).

Allah telah mengabarkan orang-orang khusus dari hamba-hamba- Nya, yang kemudian orang-orang musyrik beranggapan bahwa hamba-hamba yang khusus ini bisa mendekatkan mereka kepada Allah. Padahal hamba-hamba yang khusus itu pun masih berharap kepada Allah dan takut kepada-Nya.

Sumber: Terjemah Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Pustaka Al Kautsar, Hal 196-200.