Dampak-dampak Buruk Maksiat 2

Gambar Orang Menyesal

    9. Kemaksiatan memperpendek dan menghilangkan keberkahan umur

Jika kebaikan memperpanjang umur, berarti kedurhakaan menguranginya. Terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini. Sebagian orang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan berkurangnya umur bagi pelaku maksiat adalah hilangnya keberkahan umur. Pernyataan inilah yang benar karena ia merupakan sebagian akibat dari maksiat. Sebagian lagi berpendapat bahwa kemaksiatan memang benar-benar mengurangi umur, sebagaimana halnya maksiat mengurangi rizki. Allah telah menjadikan banyak sebab yang mampu menambah dan mengurangi keberkahan rizki. Oleh sebab itu, keberkahan dalam umur juga mempunyai banyak sebab yang mampu menambah dan menguranginya.

Mereka berpendapat: “Penambahan dan pengurangan umur dengan berbagai sebab bukanlah perkara yang tidak bisa diterima. Sebab, rizki, usia, bahagia, derita, sehat, sakit, kaya, dan miskin hadir sesuai dengan ketetapan Allah, namun Dia menetapkan apa saja yang dikehendaki tersebut dengan berbagai sebab, yang memang dibuat mengarah kepada terjadinya akibat.”

Golongan yang lain berkomentar: “Maksiat dikatakan mengurangi umur karena hakikat kehidupan sebenarnya adalah hidupnya hati. Oleh karena itu, Allah menyebut orang kafir sebagai orang mati, tidak hidup, sebagaimana firman-Nya:

أَمْوَاتُ غَيْرُ أَحْيَاءِ

“Mereka adalah orang mati, tidak hidup….” (QS. An-Nahl: 21)

Jadi, pada hakikatnya, yang dimaksud dengan kehidupan adalah hidupnya hati. Seberapa lama hati itu hidup maka sepanjang itulah umur manusia. Ia tidak lain hanyalah waktu-waktu yang dipergunakan untuk mengingat Allah. Pada saat itulah, takwa dan kebaikannya bertambah. Inilah hakikat umurnya, yang tiada lagi umur selainnya.

Secara umum, dapat ditarik kesimpulan bahwa jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan berbagai kemaksiatan, maka sirnalah kehidupan hakikinya yang kelak dia temui. Pelakunya akan merasakan akibat kemaksiatan tersebut pada hari ketika ia mengungkapkan penyesalannya:

يَلَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

“Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini.” (QS. Al-Fajr: 24)

Hal ini tidak terlepas dari dua perkara; apakah sebelumnya seseorang mempunyai visi tentang kemaslahatan dunia dan akhirat, ataukah tidak. Jika dia tidak memiliki visi tentang itu, maka seluruh umurnya telah sia-sia dan hidupnya hilang percuma. Kebalikannya, apabila dia mempunyai visi, maka jalan yang ditempuh terasa panjang karena adanya berbagai rintangan. Ia sulit memperoleh sebab-sebab yang mengantarkan kepada kebaikan karena sibuk berbuat yang sebaliknya. Inilah pengurangan hakiki dari umurnya.

Rahasia masalah ini terletak pada pengertian umur manusia sebagai masa hidupnya. Tidak ada kehidupan baginya kecuali dengan mendekatkan diri kepada Rabbnya, menikmati dzikir dan kecintaan kepada-Nya, serta mengutamakan ridha-Nya.

     10. Kemaksiatan akan melahirkan kemaksiatan lain yang semisalnya

Kemaksiatan akan menanam benih kemaksiatan lain yang semisalnya. Sebagiannya melahirkan sebagian yang lain. Sampai-sampai, pelakunya merasa sulit untuk meninggalkan dan keluar dari maksiat tersebut.

Sebagian Salaf mengatakan: “Hukuman dari keburukan adalah munculnya keburukan setelahnya, sedangkan ganjaran dari kebaikan adalah munculnya kebaikan sesudahnya. Jika seorang hamba melakukan kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya: ‘Amalkan aku juga.’ Apabila dia melakukannya, maka kebaikan yang lain lagi akan mengatakan hal serupa, demikianlah seterusnya. Alhasil, berlipat gandalah keuntungannya dan bertambahlah kebaikannya. Demikian pula dengan maksiat. Hal ini terus berlangsung hingga ketaatan atau kemaksiatan menjadi suatu sifat dan kebiasaan yang melekat dan tetap pada diri seseorang.

Jika orang yang senantiasa berbuat kebaikan meninggalkan sebagian ketaatan, niscaya jiwanya menjadi sesak dan bumi yang luas pun terasa sempit. Ia ibarat ikan yang terpisah dari air. Jiwanya akan kembali tenteram jika dia mengerjakan lagi apa yang telah ditinggalkan.

Demikian pula dengan orang yang durhaka. Jika ia meninggalkan maksiat dan berbuat kebaikan, maka jiwanya akan sesak dan dadanya terasa sempit, sampai akhirnya ia kembali lagi kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak orang fasik yang tetap melakukan maksiat meskipun dia tidak merasakan kelezatannya. Faktor pendorongnya hanyalah kegundahan ketika terpisah darinya.

Hal ini dinyatakan secara gamblang oleh al-Hasan bin Hani’ dalam syaʻirnya:

Segelas (khamer) yang kuminum terasa lezat, namun berikutnya hanyalah penyembuh dari yang pertama.

Ada lagi yang bersya’ir:

Obatku adalah sebab dari penyakitku sendiri seperti peminum khamer berobat dengan khamer lagi.

Seorang hamba akan terus-menerus melakukan ketaatan, mencintai, membiasakan, dan mementingkan kebaikan sehingga Allah mengutus para Malaikat dengan rahmat-Nya untuk menolong, menganjurkan, serta mendorongnya dalam hal tersebut, ketika tidur maupun duduk, agar dia melakukan ketaatan tadi. Sebaliknya, seorang hamba akan terus-menerus melakukan maksiat, mencintai, dan mementingkannya sehingga Allah mengutus syaitan-syaitan kepadanya untuk membantunya dalam melakukan maksiat tersebut.

Pada kondisi pertama, Allah menguatkan tentara ketaatan dengan bantuan Malaikat, sehingga mereka menjadi para penolongnya (dalam ketaatan) yang terbaik. Sementara pada kondisi kedua, Dia menguatkan tentara kemaksiatan dengan bantuan syaitan sehingga mereka menjadi para penolongnya (dalam kemaksiatan).

     11. Maksiat melemahkan jiwa

Dampak inilah yang paling dikhawatirkan menimpa seorang hamba, yaitu lemahnya hati dari kehendaknya akibat maksiat. Keinginan untuk bermaksiat semakin menguat, sedangkan keinginan untuk bertaubat semakin melemah, sedikit demi sedikit, sampai akhirnya keinginan untuk bertaubat hilang secara keseluruhan. Bahkan, seandainya separuh dirinya meninggal, dia tetap tidak bertaubat kepada Allah. Yang dilakukannya hanya beristighfar atau bertaubat secara lisan, seperti halnya para pendusta, sementara hatinya masih terikat janji dengan maksiat, yakni terus-menerus memikirkannya, dan bertekad untuk melakukannya ketika ada kesempatan. Kelemahan hati seperti ini termasuk penyakit terbesar yang paling dekat dengan kebinasaan.

     12. Maksiat menyebabkan hati tidak lagi menganggapnya sebagai perkara yang buruk

Hati tidak lagi menganggap kemaksiatan sebagai perkara yang buruk karena telah menjadi suatu kebiasaan. Dalam kondisi demikian, pelaku maksiat tidak lagi peduli dengan pandangan manusia yang menganggap dirinya buruk, ataupun komentar jelek mereka terhadapnya. Bahkan, bagi pemuka kefasikan, kondisi ini merupakan puncak ketidakpedulian dan kesempurnaan kelezatan. Sampai-sampai, salah seorang dari mereka berbangga diri dengan maksiat dan menceritakannya kepada orang yang tidak mengetahui bahwa ia melakukan maksiat. Ia berkata: “Wahai Fulan, aku telah berbuat ini dan itu.”

Manusia seperti ini tidak pantas dilindungi. Akibatnya, dia terhalang dari jalan menuju taubat dan pintu-pintunya pun biasanya telah tertutup.

Nabi bersabda:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافَى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ: أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُوْلُ : يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا، كَذَا وَكَذَا، فَيَهْتِكُ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ

“Setiap ummatku dilindungi, kecuali al-mujaahiruun (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Termasuk sikap menampakkan maksiat adalah ketika Allah menutupi (maksiat) hamba-Nya (pada malam hari), kemudian pagi harinya dia memaparkannya dan berkata: ‘Wahai Fulan, pada hari ini dan itu aku telah melakukan begini dan begitu.’ Ia membongkar kejelekan dirinya sendiri, padahal pada malam hari Rabbnya telah menutupinya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Setiap kemaksiatan merupakan warisan dari ummat-ummat yang telah dibinasakan Allah Azza wa Jalla. Homoseksual adalah warisan kaum Luth. Mengambil hak secara lebih namun kurang dalam memberikan hak orang lain adalah warisan kaum Syu’aib. Merasa tinggi (angkuh) di muka bumi, bahkan berbuat kerusakan di dalamnya, adalah warisan kaum Fir’aun. Sombong dan semena-mena adalah warisan kaum Hud. Dengan demikian, pelaku maksiat adalah orang yang memakai baju warisan sebagian ummat tersebut, padahal mereka adalah musuh Allah.

‘Abdullah bin Ahmad meriwayatkan dalam kitab az-Zuhd,  karya ayahnya, dari Malik bin Dinar, dia berkata: “Allah mewahyukan kepada salah seorang Nabi dari kalangan Nabi-Nabi Bani Israil: ‘Katakanlah kepada kaummu: ‘Janganlah kalian memasuki tempat masuk (kediaman) musuh-musuh-Ku, janganlah kalian memakai pakaian musuh-musuh-Ku, janganlah kalian menaiki tunggangan musuh-musuh-Ku, dan janganlah kalian menyantap makanan musuh- musuh-Ku, sehingga kalian menjadi musuh-musuh-Ku pula sębagaimana mereka adalah musuh-musuh-Ku.”

Di dalam Musnad Ahmad, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:

بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِيْ تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Aku diutus dengan pedang menjelang hari Kiamat sampai hanya Allah semata yang diibadahi, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dijadikan rizkiku di bawah bayang-bayang tombakku, serta dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang yang menyelisihi perintahku. Sungguh, barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.”

Sumber: Terjemah Adda wad Dawaa, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, Hal 138-143