Kisah Imam Syafi’i

Imam Syafii

Para ulama sejarah sepakat bahwa Imam Asy-Syafi’i lahir pada tahun 150 H, yaitu tahun dimana Imam Abu Hanifah wafat. Sebagian ulama menggambarkan kelahiran Imam Asy-Syafi’i dengan kata, “Imam Asy-Syafi’i lahir pada hari Imam Abu Hanifah meninggal dunia.”

Al-Hafizh Al-Baihaqi berkata, “Ungkapan yang menyatakan beliau lahir pada hari (meninggalnya Abu Hanifah) tidak saya dapatkan melainkan hanya beberapa riwayat saja, namun ungkapan yang menyatakan beliau lahir pada tahun (meninggalnya Abu Hanifah) adalah riwayat yang masyhur dari para ulama sejarah.” Imam Asy-Syafi’i wafat pada waktu isya di malam jum’at dan dikuburkan pada hari jum’at setelah waktu ashar. Hari itu adalah hari akhir di bulan Rajab tahun 204 H dan beliau berumur 54 tahun.

Ar-Rabi’ berkata, “Ketika kami selesai dari pemakaman jenazah Imam Asy- Syafi’i, kami melihat hilal bulan Sya’ban dan beliau dikuburkan di pemakaman Al-Muqatham dekat pemakaman orang-orang Quraisy yang terletak di antara kuburan Bani Abdul Hakam.” la juga berkata, “Beberapa hari sebelum Imam Asy-Syafi’i meninggal dunia, aku bermimpi bahwa Adam meninggal dan orang-orang berkumpul untuk mengiringi jenazahnya. Ketika saya terbangun dari mimpi, saya pun bertanya kepada para ulama akan tafsir mimpiku itu, mereka pun menjawab, “Tidak lama lagi, akan meninggal seorang ulama besar dunia ini, karena Allah berfirman, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya…” (Al-Baqarah: 31) Dan, tidak lama setelah peristiwa mimpi tersebut, Imam Asy-Syafi’i meninggal dunia.”

Beberapa sifat beliau, yaitu, beliau adalah orang yang tinggi badannya, baik akhlaknya, menyayangi manusia, pakaiannya selalu bersih, lisannya fasih, berwibawa, memperlakukan orang-orang dengan baik, dan beliau mewarnai rambutnya dengan warna agak kemerah-merahan karena hal tersebut adalah sunnah Rasulullah.

Harmalah berkata, “Imam Asy-Syafi’i ketika menjulurkan lidahnya maka akan menyentuh hidungnya.” Hal ini menunjukkan kemampuan beliau yang luar biasa dalam berbicara dengan fasih. Namun di akhir hidupnya, beliau terkena penyakit hingga beliau sakit keras dan menyebabkan perubahan fisik yang cukup parah. Ketika beliau akan menaiki kendaraannya, maka darah pun mengucur hingga mengenai baju dan sepatunya. Hari demi hari penyakit tersebut pun makin parah hingga sahabat-sahabatnya melubangi ranjang dan kasur beliau, lalu meletakkan wadah di bawahnya agar darah tersebut tidak berceceran.

Diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i bahwa beliau berkata, “Saya dilahirkan di kota Gaza dan ketika berumur dua tahun, saya pun pindah ke kota Makkah,” dalam riwayat lainnya beliau berkata, “Saya dilahirkan di Yaman, ibuku merasa khawatir jika saya banyak menyia-nyiakan waktuku, maka ia pun menyuruhku untuk menyusul keluargaku yang ada di kota Makkah agar saya bisa menjadi seperti mereka. Kemudian ibuku mempersiapkan segala keperluan perjalananku menuju kota Makkah. Setibanya di kota Makkah, umur saya pada saat itu 10 tahun, maka saya pun langsung menuju kepada salah satu keluargaku untuk tinggal bersamanya dan saya memulai untuk menuntut ilmu. Salah satu dari keluarga saya berkata, “Janganlah kamu menyibukkan dirimu dengan belajar, tapi sibukkanlah dengan hal lain yang lebih bermanfaat,” namun saya lebih condong kepada ilmu dan saya merasakan kenikmatan hidup pada dua hal, yaitu; ilmu dan memanah. Saya sangat mahir dalam memanah hingga saya mampu mengenai sepuluh sasaran dengan tepat dengan sepuluh panah yang saya bidikkan.”

Setelah itu diriwayatkan bahwa Imam Asy-Syafi’i tidak lagi menyebutkan dirinya dengan mencari ilmu. Akhirnya orang-orang pun berkata kepadanya, “Demi Allah, ilmumu lebih luas dari pada kemahiranmu dalam memanah.”

Muhammad bin Abdul Hakam meriwayatkan bahwa ketika ibu Imam Asy-Syafi’i sedang mengandung bayinya, ia bermimpi bahwa seorang yang hebat dan besar telah keluar dari perutnya, lalu setiap tulang-tulangnya berjatuhan di setiap kota, maka para penafsir mimpi pun berkata, “Sungguh ia akan melahirkan seorang ulama yang agung dari perutnya yang akan menyebarkan ilmunya di setiap penjuru negara Islam.”

Imam Asy-Syafi’i berkata, “Saya pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan beliau berkata kepada saya, “Wahai Fulan, dari manakah asalmu?” saya pun menjawab, “Saya berasal dari keturunanmu,” kemudian beliau berkata, “Mendekatlah kepadaku,” maka saya pun mendekatinya dan beliau mengambil sedikit air ludahnya dan saya pun membuka mulutku, setelah itu beliau menandai dengan ludahnya itu pada lidah, mulut dan bibirku, kemudian beliau berkata, “Pergilah! Semoga Allah selalu melimpahkan keberkahan-Nya padamu.”

Imam Asy-Syafi’i juga pernah berkata, “Awal-awal masa kecilku di kota Makkah, saya pernah bermimpi bahwa seorang yang sangat berwibawa menjadi imam dalam shalat di Masjidil Haram, setelah ia selesai mengimami shalat maka orang tersebut beranjak dari tempatnya untuk mengajarkan orang- orang tentang agama mereka, maka saya pun mendekati orang tersebut dan berkata, “Ajarkanlah sesuatu kepadaku,” maka orang tersebut mengeluarkan suatu timbagan dan memberikannya kepadaku seraya berkata, “Inilah hadiah untukmu dan semoga Allah selalu menunjukkan jalan-Nya untukmu.”

Imam Asy-Syafi’i berkata lagi, “Maka saya pun datang kepada salah satu orang yang pandai menafsirkan mimpi dan memberitahukannya akan mimpi tersebut, maka ia pun berkata, “Sungguh engkau akan menjadi seorang imam besar dalam ilmu dan engkau akan selalu berpegang teguh di atas sunnah Rasulullah karena imam masjidil haram adalah sebaik-baiknya imam di dunia ini, adapun timbangan tersebut adalah tanda engkau akan mengetahui hakikat dari setiap sesuatu.”

Imam Asy-Syafi’i juga pernah berkata, “Saya pernah bermimpi bertemu dengan Ali bin Abi Thalib dan ia mengucapkan salam kepada saya, menjabat tangan, dan melepaskan cincinnya lalu ia pakaikan ke tangan saya,” maka saya pun pergi ke salah satu paman yang pandai menafsirkan mimpi, ia berkata, “Adapun jabatan tangan Ali bin Thalib kepadamu memiliki arti engkau akan selamat dari musibah, adapun ia melepas cincinnya lalu memasangkannya di jarimu memiliki arti namamu akan dikenal di seluruh penjuru dunia sebagaimana namanya dikenal di seluruh dunia.”

Para ahli sejarah menyebutkan bahwa Imam Asy-Syafi’i adalah orang yang sangat miskin sewaktu kecilnya, lalu ketika keluarganya menitipkannya di salah satu maktab untuk menimba ilmu, mereka tidak memiliki sesuatu harta apa pun untuk diberikan kepada guru yang mengajar di maktab tersebut hingga guru tersebut tidak menunaikan tugasnya dengan baik. Ketika guru tersebut mengajarkan anak-anaknya, Imam Asy-Syafi’i memperhatikan betul apa yang diajarkan orang tersebut hingga ia bisa memahaminya dengan cepat pelajaran tersebut. Ketika sang guru beranjak dari tempatnya, maka Imam Asy-Syafi’i mengajarkan kembali pelajaran tersebut kepada anak-anak sang guru.

Melihat hal ini, sang guru lalu berpikir bahwa Imam Asy-Syafi’i cukup baginya sebagai pengganti untuk mengajarkan anak-anaknya dan ia pun berhenti untuk mengharapkan imbalan dari keluarga Imam Asy-Syafi’i. Sang guru pun mengajar Imam Asy-Syafi’i hingga beliau dapat menghafal Al-Qur’an pada saat umur tujuh tahun.

Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ketika saya telah menghatamkan Al-Qur’an, maka saya pun mulai masuk ke dalam masjid untuk belajar kepada ulama-ulama dan menghafal hadits. Saya adalah orang yang miskin hingga saya kesulitan untuk membeli kertas, maka saya pun mengambil tulang-tulang sebagai pengganti kertas dan juga menggunakan kertas-kertas yang telah dibuang namun masih bisa dimanfaatkan.”

Ar-Rabi’ bin Sulaiman menukilkan bahwa Imam Asy-Syafi’i sudah mulai memberikan fatwa ketika beliau berumur lima belas tahun. Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi berkata, “Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafi’i, “Mulailah berfatwa wahai Abu Abdillah karena telah datang masamu untuk berfatwa,” sedang Imam Asy-Syafi’i pada saat itu masih berumur di bawah dua puluh tahun.

Ketahuilah bahwa guru pertama Imam Asy-Syafi’i adalah Muslim bin Khalid, setelah itu Imam Asy-Syafi’i mendengar seorang ulama besar yang bernama Malik bin Anas. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ketika saya mendengar ada seorang ulama besar yang bernama Imam Malik bin Anas, maka hati ini pun terdorong untuk menuntut ilmu kepada ulama tersebut. Kemudian saya meminjam kitab Al- Muwatha’ dari salah orang yang tinggal di Makkah dan saya pun menghafal kitab tersebut. Setelah itu, saya pergi menuju rumah gubernur Makkah untuk meminta surat izin menemui Imam Malik di kota Madinah. Ketika saya mendapatkan surat tersebut, maka saya langsung bergegas menuju kota Madinah.

Sesampainya di sana, saya pun langsung menuju rumah wali kota Madinah dan menyerahkan surat tersebut. Wali kota Madinah pun berkata, “Wahai anak muda! Jika engkau menyuruhku berjalan kaki dari kota Madinah menuju Makkah, itu lebih ringan bagiku dari pada harus berjalan menuju pintu rumah Imam Malik,” Saya pun berkata, “Walaupun seorang gubernur yang memerintahkanmu?” lalu ia berkata, “Marilah kita pergi ke majlisnya Imam Malik.”

Imam Asy-Syafi’i berkata lagi, “Kemudian saya pergi bersamanya menuju kediaman Imam Malik, sesampainya di sana, wali kota tersebut mengetuk pintu rumah Imam Malik, tidak lama kemudian keluarlah sang budak perempuan hitam. Sang wali kota berkata kepadanya, “Katakanlah kepada tuanmu, wali kota datang menemuimu,” lalu sang budak itu pun masuk, tidak lama kemudian ia keluar lagi dan berkata, “Tuanku berkata, “Jika engkau memiliki suatu pertanyaan, maka tulislah pertanyaan itu pada secarik kertas hingga nanti tuanku akan menjawabnya, jikalau engkau datang untuk suatu urusan yang penting, maka sungguh engkau telah mengetahui hari dibukanya majlis tuanku, maka pulanglah kalian!”

Lalu sang wali berkata, “Saya membawa surat dari gubernur untuk suatu urusan yang sangat penting,” maka sang budak masuk kembali sembari membawa kursi untuk diletakkan sebagai tempat duduk Imam Malik. Kemudian keluarlah sang Imam yang memiliki postur tubuh yang cukup tinggi dengan wibawa yang sangat besar, lalu sang wali memberikannya surat itu. Sang Imam pun membaca surat tersebut, hingga ketika ia sampai pada kalimat “Sungguh Muhammad bin Idris adalah seorang pemuda yang mulia….” maka sang Imam pun melempar surat tersebut dan berkata, “Subhanallah! Mengapa sekarang ilmu yang diwarisi Rasulullah harus dituntut dengan suatu surat.” Lalu Imam Asy-Syafi’i berkata, “Semoga Allah selalu menunjukkan kebenaran-Nya kepadamu. Saya adalah seorang laki-laki dari keturunan Bani Al-Muthalib,” Saya juga menceritakan kepadanya akan kisah saya yang cukup panjang. Setelah sang Imam mendengarkan kisahku, maka ia pun melihat kepada saya sejenak dan Imam mendengarkan kisahku, maka ia pun melihat kepada saya sejenak dan sebagaimana yang kita ketahui bahwa Imam Malik mempunyai firasat yang kuat, lalu ia berkata kepadaku, “Siapakah namamu?” Saya menjawab, “Muhammad bin Idris,” la berkata kepadaku, “Wahai Muhammad, bertakwa selalu kepada Allah dan jauhilah kemaksiatan karena engkau akan menjadi orang yang berilmu,” lalu saya berkata, “Baik,” lalu ia berkata lagi, “Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah engkau redupkan cahaya itu dengan kemaksiatan.” Sang Imam meneruskan ucapannya, “Jika engkau besok datang di majlisku, maka panggillah seseorang yang dapat membacakan Al-Muwattha kepadamu,” lalu saya berkata kepada sang Imam, “Sungguh saya telah menghafal kitab tersebut dan dapat membacakannya untukmu dari hafalanku.”

Besok harinya, saya pun kembali menemui Imam Malik dan mulai membacakan kitab tersebut kepadanya dan setiap saya ingin menghentikan bacaanku agar Imam Malik tidak merasa bosan, akan tetapi Imam Malik terkesima mendengar bacaan saya sehingga ia berkata, “Wahai anak laki-laki! Teruskan bacaanmu,” lalu saya membacakan kitab tersebut untuknya hingga saya menyelesaikannya dalam beberapa hari saja. Saya pun memutuskan untuk tinggal di kota Madinah hingga ajal menjemput Imam Malik .”

Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ketika Imam Malik meninggal dan saya juga dalam keadaan yang sangat miskin, datanglah gubernur Yaman ke kota Madinah, lalu sebagian orang-orang Quraisy membujuknya untuk mengajak saya dalam beberapa urusannya, maka ia pun mengajakku pergi bersamanya dan ia mempekerjakanku untuk urusan yang cukup banyak hingga orang-orang pun memuji saya.

Namun orang-orang yang dengki kepada saya bergegas untuk menemui Khalifah Harun Ar-Rasyid yang juga memiliki beberapa tangan kanannya di kota Yaman hingga tangan kanan tersebut menuliskan kepada sang Khalifah hal-hal yang menakutkan tentang orang-orang syiah. Namun sang tangan kanan tersebut juga menyebutkan bahwa di antara orang-orang syiah, ada seseorang yang bernama Muhammad bin Idris yang dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh sang pembunuh dengan pedangnya. Hal ini pun menjadi sebab jatuhnya Imam Asy-Syafi’i kepada ujian hidup yang cukup berat.

Para ahli sejarah juga menyebutkan bahwa Imam Asy-Syafi’i masuk ke negeri Irak pada tahun 177 H dan beliau menetap di sana selama dua tahun dan beliau juga menulis bukunya yang lama (pendapat lama) yang diberi nama Al-Hujjah. Kemudian kembali ke Baghdad pada tahun 199 H dan menetap di sana selama beberapa bulan, lalu beliau pindah ke Mesir dan menetap di sana hingga beliau wafat.

Wallahu a’lam bish showab

Sumber: Terjemah Manaqib Imam Asy Syafi’i, Imam Fakhruddin Ar Rozi, hal 18-23.