Melantunkan Syair Bukan Hal Tercela
Melantunkah syair bukanlah perkara yang tercela karena hal ini berdasarkan dalil teks dan akal. Adapun dalil dari teks, yaitu; diriwayatkan bahwa Rasulullah melantunkan syair Umayyah bin Abi Shalt sebanyak seratus bait dan begitu pula Abu Bakar melantunkan syair Qis bin Sa’idah. Adapun dalil dari sisi akal, yaitu; syair adalah sebuah ungkapan, maka ungkapan yang baik adalah baik dan ungkapan yang buruk adalah buruk sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i .
Imam Asy-Syafi’i juga berkata, “Syair itu mengandung hikmah.” Maksud dari perkataan tersebut adalah agar orang yang jahil tidak berkata, “Membuat dan melantunkan syair adalah hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang alim dan mujtahid,” karena pikiran seperti ini adalah suatu kejahilan. Namun syair adalah ungkapan yang mengandung ilmu dan hikmah hingga syair juga dapat dikatakan sebagai sebaik-baiknya kalimat.
Rasulullah dan Syair
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Rasulullah adalah seorang nabi dari suku Quraisy, namun beliau tidak pandai dalam merangkai syair dan menulis tulisan suku Quraisy karena Allah berfirman kepada Rasul-Nya, “Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya…” (Yasin: 69) dan juga berfirman, “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).” (Al- Ankabut: 48)
Setelah dua pengantar ini, kami akan menyebutkan beberapa syair-syair yang dinukilkan dari Imam Asy-Syafi’i. Diriwayatkan bahwa sebagian dari murid-murid Abu Hanifah bertanya kepada beliau beberapa permasalahan yang sangat sulit, maka beliau pun menjawabnya. Kemudian beliau berkata:
Sesungguhnya permasalahan-permasalahan yang kalian utarakan kepadaku…
Sungguh hakikat-hakikatnya tersingkap dengan penjelasanku…
Begitu pula beliau melantukan syairnya:
Gemetarlah api jiwaku dengan membaranya orang-orang yang meninggalkanku…
Dan gelaplah malamku disebabkan terangnya bara api mereka…
Lalu ketika beliau masuk ke Mesir, maka datanglah murid-murid Imam Malik untuk duduk di majlisnya, namun ketika beliau memperlihatkan perselisihan pendapatnya dalam beberapa masalah terhadap Imam Malik, maka mereka pun meninggalkannya. Lalu beliau pun melantunkan syair berikut ini:
Dan barangsiapa yang memberikan ilmu kepada orang-orang jahil…
Maka mereka akan menyia-nyiakannya…
Dan barangsiapa yang berpaling dari orang-orang yang menjawab panggilan…
Maka dia adalah golongan orang yang dzalim…
Pada suatu hari Imam Asy-Syafi’i pernah meminjam beberapa buku dari Muhammad bin Al-Hasan, maka beliau menuliskan syair kepada Muhammad sebagai berikut:
Sesungguhnya ilmu melarang kepada pemiliknya untuk mencegah- nya dari pemilik lainnya…
Semoga ia telah memberikannya kepada orang-orang yang berhak memilikinya…
Beliau juga berkata, Kedudukan orang yang safih (bodoh) di sisi orang yang faqih…
Seperti kedudukan faqih di sisi safih…
Inilah seserang yang zuhud dalam ilmu ini…
Dan ini dalam ilmu ini lebih zuhud darinya dalam ilmu ini…
Beliau juga berkata,
Jikalau engkau tidak mengetahui…
Dan engkau tidak menjadi golongan yang bertanya kepada yang tahu…
Lalu bagaimana engkau akan mengetahui…
Jikalau engkau mengetahui…
Maka engkau tidak akan menyelisihi orang yang mengerti…
Beliau juga berkata, ”
Dan janganlah engkau menyangka bahwa Allah akan lalai walaupun sesaat…
Dan janganlah engkau menyangka bahwa sesuatu yang gaib
akan luput dari-Nya…
Kita telah lalai dari umur yang diberikan Allah hingga kita menyadari…
Sungguh kita berlumuran dosa dan setelahnya lumuran dosa pula…
Semoga Allah mengampuni apa yang telah berlalu…
Dan mengizinkan kepada kita untuk bertaubat hingga kita dapat bertaubat…
Al-Muzani berkata, “Pada suatu hari saya mengunjungi Imam Asy-Syafi’i yang sedang sakit, lalu saya berkata kepada beliau, “Bagaimana kabarmu wahai guru kami?” beliau berkata,
Sungguh aku telah memasuki pagi ini dengan meninggalkan dunia…
Dan sungguh aku akan meninggalkan kawan-kawan…
Dan sungguh aku akan bertemu dengan buruknya amalan Dan sungguh aku akan bertemu dengan Tuhan…
Dan sungguh aku akan meminum gelas kematian…
Demi Allah! aku tidak tahu apakah aku akan masuk ke surga atau ke neraka jahannam…
Sumber: Manaqib Imam Syafi’i, Imam Fakhruddin Ar Razi, Pustaka Al Kautsar, hal 180-182