Kebutuhan Kepada Para Rasul Dan Apa Yang Mereka Alami Bersama Kaum Mukminin Dalam Dakwah

كَانَ النَّاسُ اُمَّةً وَّاحِدَةً ۗ فَبَعَثَ اللّٰهُ النَّبِيّنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ ۖ وَاَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ اِلَّا الَّذِيْنَ اُوْتُوْهُ مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ بَغْيًا ۢ بَيْنَهُمْ ۚ فَهَدَى اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِاِذْنِه ۗ وَاللّٰهُ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ. اَمْ حَسِبْتُمْ اَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَّثَلُ الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۗ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاۤءُ وَالضَّرَّاۤءُ وَزُلْزِلُوْا حَتّٰى يَقُوْلَ الرَّسُوْلُ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَه مَتٰى نَصْرُ اللّٰهِ ۗ اَلَآ اِنَّ نَصْرَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ

“Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.  Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (Surah Al-Baqarah: 213-214)

  1. Seluruh Manusia Adalah Satu Umat

Anak cucu Adam dulu berada dalam kondisi di mana mereka membutuhkan hidayah ilahi, maka Allah memberi mereka karunia dengan mengutus para rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu, dan bersama sebagian dari rasul-rasul itu, Allah menurunkan kitab yang menunjukkan manusia kepada kebenaran.

Kondisi seperti apa yang dialami manusia sebelum pengutusan para rasul dan nabi? fumhur berkata: Manusia dulunya merupakan umat hidayah yang memeluk agama yang satu, dengan akidah dan syariat yang sama, yaitu agama Islam, tapi kemudian mereka berselisih sehingga Allah mengutus nabinabi sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Masa antara Nuh dan Adam adalah sepuluh abad, semua manusia pada masa itu memeluk satu syariat yang benar (yaitu Islam), tapi kemudian mereka berselisih, sehingga Allah mengutus nabi-nabi sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.”

Jumhur juga berargumen bahwa Adam alaihis salam adalah seorang nabi dan anakanaknya memeluk agamanya serta memberi hidayah kepada orang lain sampai timbulnya kedengkian di antara dua putranya.

Sementara itu sejumlah ulama lain (Ibnu Abbas, Atha’, dan Hasan al-Bashri) berpendapat bahwa manusia pada masa itu merupakan umat dhalaal (umat yang sesat) yang tidak mendapat hidayah dengan kebenaran dan -dalam tindak tanduknya-tidak berhenti pada batasan atau aturan syariat. Dalilnya, kondisi manusia kala itu menuntut pengutusan para rasul, dan dengan begitu misi mereka terlihat masuk akal. Tugas para rasul itu ialah menjadi penengah dalam perselisihan-perselisihan manusia yang timbul dari kerusakan akidah dan penghambaan kepada hawa nafsu yang sesat. Kalau tidak demikian, tentu pengutusan para rasul tidak ada artinya.

Sedangkan Abu Muslim al-Ashfahani dan Qadhi Abu Bakr al-Baqillani berkata bahwa makna ayat ini begini: “Manusia dulunya berada di atas fitrah, melaksanakan apa yang ditunjukkan oleh akal dalam soal akidah dan amal, akan tetapi ketundukan manusia kepada akal mereka itu bukanlah berdasarkan petunjuk Tuhan, sehingga akhirnya timbul perselisihan. Memang, seringkali prasangka menghalangi manusia untuk memahami maksud sesungguhnya dari akidah dan hukum-hukum.”

Penyusun Tafsir al-Manaar memilih makna yang lain, yaitu bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Artinya, Allah menciptakan manusia sebagai umat yang satu, saling terkait satu sama lain dalam penghidupan. Sulit bagi individu-individunya untuk hidup di dunia ini sampai ajal yang ditakdirkan Allah bagi mereka kecuali dengan cara hidup berkelompok dan saling bantu. Tiap individu tak mungkin hidup mandiri tanpa membutuhkan individu lain. Jadi, potensi orang-orang lain mesti digabungkan ke potensi dirinya. Hal ini dikenal dengan istilah al-insaanu madaniyyun bith-thab’. Dengan demikian, makna ayat ini adalah, “Manusia diciptakan dengan memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok, dan itu mendorong timbulnya persaingan dan perselisihan. Karena itulah para rasul diutus guna menengahi pertikaian di antara manusia, membimbing ke arah kebenaran dan kebaikan, serta menjelaskan kebatilan dan kesesatan”.

Sumber: Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. 2013. Tafsir Al-Munir Fie Aqidah Wa Syariah Wa Manhaj. Jakarta: Gema Insani