هَلْ يَنْظُرُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيَهُمُ اللّٰهُ فِيْ ظُلَلٍ مِّنَ الْغَمَامِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَقُضِيَ الْاَمْرُ ۗ وَاِلَى اللّٰهِ تُرْجَعُ الْاُمُوْرُ
“Tidak ada yang mereka tunggu-tunggu kecuali datangnya Allah bersama malaikat dalam naungan awan, sedangkan perkara (mereka) telah diputuskan. Dan kepada Allah-lah segala perkara dikembalikan.”
Di dalam ayat ini terkandung ancaman Allah yang sangat keras dan mampu untuk meluluh-lantahkan hati manusia. Allah berfirman, “Tidak ada yang ditunggu-tunggu oleh orang yang merusak dunia yang selalu mengikuti langkah-langkah setan dan menolak perintah Allah kecuali hari pembalasan. Di mana pada hari tersebut Allah tampakkan segala hal yang menakutkan, menegangkan, mengerikan, dan mengguncangkan hati orang-orang zalim. Mereka akan mendapatkan balasan keburukan atas perbuatan mereka. Pada hari itu Allah melipat langit dan bumi, meluluh-lantahkan bintang-bintang, menggulung matahari dan bulan. Pada hari itu juga malaikat yang mulia akan turun. Pada hari itu, Allah Yang Maha Menciptakan juga akan turun. Allah berfirman,
فِيْ ظُلَلٍ مِّنَ الْغَمَامِ
“Dalam naungan awan.”
Untuk memisahkan di antara para hamba-Nya dengan memberikan keputusan yang adil. Timbangan pun diletakkan, buku-buku catatan amal mulai dibuka, maka memutihlah wajah-wajah para penghuni surga dan menghitamlah wajah-wajah para penghuni neraka. Sehingga pada hari itu, akan dapat dibedakan mereka yang selalu berbuat kebaikan dengan mereka yang selalu berbuat keburukan. Pada hari itu, setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya. Seandainya orang yang dzalim tahu apa balasan dari perbuatan mereka, tentulah mereka akan menggigit jarinya.
Ayat ini dan ayat-ayat yang semisal dengannya adalah dalil yang digunakan oleh Ahlussunnah untuk menetapkan sifat ikhtiyariyah (yang tergantung pada kehendak Allah) seperti istiwa’, nuzul, maji’ dan sifat-sifat lainnya yang telah Allah kabarkan atau telah dikabarkan melalui lisan nabi-Nya. Ahlussunnah menetapkan sifat-sifat tersebut sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya tanpa menyerupakan dengan makhluk, tidak menyimpang, tidak pula meniadakan sifat tersebut. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Mu’atholah. Mereka terbagi menjadi beberapa bagian seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Asy-Ariyah dan lain sebagainya yang keseluruhannya meniadakan sifat ini atau mentakwilkannya demi tujuan peniadaan sifat dengan takwil-takwil yang tidak ada keterangannya dari Allah, bahkan hakikat takwil itu hanyalah demi mencela penjelasan Allah dan penjelasan rasul-Nya. Mereka menganggap bahwa apa yang mereka takwilkan atau yang mereka katakana akan mendatangkan hidayah.
Padahal mereka tidak memiliki dalil naqli sedikitpun, bahkan tidak pula dalil aqli.
Mengenai dalil naqli, Ahlussuannah mengatakan bahwa nash-nash yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah, baik konteks lahirnya atau bahkan kandungan tegasnya, menunjukkan kebenaran apa yang diyakini oleh mazhab ahlussunnah. Sedangkan untuk mengeluarkan dari makna aslinya, masih membutuhkan pendalilan yang lain. Oleh karena itu, mereka yang bermadzhab batil mengurangi dan menambahkan dengan dalil-dalil yang tidak tepat.
Sedangkan dalil aqli, maka tidak ada satupun pikiran yang akan meniadakan sifat ini dari Allah ta’ala. Bahkan pikiran akan menunjukkan bahwa orang yang berbuat pasti lebih sempurna dari orang yang tidak mampu untuk berbuat. Dan bahwa perbuatan Allah yang berkaitan dengan diri-Nya dan yang berkaitan dengan penciptaan-Nya adalah sebuah kesempurnaan. Apabila mereka mengira bahwa menetapkan sifat-sifat akan menjurus kepada penyerupaan terhadap makhluk-Nya, maka harus dikatakan kepada mereka bahwa perkataan tentang sifat mengikuti perkataan tentang dzat. Jika Allah memiliki dzat yang tidak serupa dengan segala macam dzat-dzat yang lain, maka Allah juga memiliki sifat yang tidak serupa dengan sifat-sifat yang lain. Sifat Allah sesuai dengan dzat-Nya, dan sifat makhluk sesuai dengan dzatnya. Maka dalam menetapkan sifat Allah, tidak akan mengandung penyerupaan terhadap makhluk.
Dikatakan kepada kelompok yang menetapkan Sebagian sifat dan meniadakan sebagiannya, atau mereka yang menetapkan nama bagi Allah namun meniadakan konsekuensi sifat dari nama tersebut: bisa dengan menetapkan semua yang telah Allah tetapkan atau yang telah ditetapkan oleh Rasulullah atau bisa dengan meniadakan keseluruhannya sehingga ia menjadi orang yang mengingkari Allah sebagai Rabb semesta alam. Sedangkan menetapkan Sebagian dan meniadakan sebagian adalah satu buah paradoks. Coba bedakan antara sifat yang engkau tetapkan dan sifat yang engkau tiadakan, pastilah engkau tidak mendapati perbedaan. Jika engkau mengatakan bahwa apa yang engkau tetapkan dari sifat Allah tidak akan mengakibatkan penyerupaan Allah dengan makhluk. Maka ahlussunnah juga mengatakan demikian, bahwa apa yang mereka tetapkan dari sifat-sifat yang engkai tiadakan tidak akan mengakibatkan penyerupaan Allah dengan makhluk.
Kesimpulannya, bahwa barangsiapa yang meniadakan sesuatu dan menetapkan sesuatu dari apa yang telah ditunjukkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah atas penetapannya, maka tindakan itu saling bertolak belakang. Tidak terdapat dalil syar’i dan tidak pula akal yang akan mampu menetapkannya, bahkan hal tersebut menyimpang dari logika dan dalil yang telah diriwayatkan.
Sumber: Diterjemahkan dari Taisirul Karimir Rahman Fie Tafsiri Kalamil Manan, Syaikh Abdur Rahman Bin Nasir As-Sa’di, Daar Ibnu Hazm, Cetakan pertama, halaman 78-79