Allah berfirman dalam kitab-Nya, “Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (Al-Ahzab: 50).
Diriwayatkan dari Urwah bin Zubeir, ia berkata, “Khaulah binti Hakim termasuk wanita yang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah saw. Aisyah r.a. berkata, “Tidakkah seorang wanita malu menghibahkan dirinya untuk laki-laki?”
Ketika turun ayat, “Kamu boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (isteri-isterimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki,” (Al-Ahzab: 51).
Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku lihat Rabb-mu senantiasa segera menuruti kemauanmu,” (HR Bukhari [5113] dan Muslim [1464]).
Kandungan Bab:
- Tidak halal bagi seorang wanita menghibahkan dirinya kepada seorang laki-laki tanpa mahar, tanpa wali dan tanpa dua orang saksi. Karena hal ini merupakan keistimewaan Rasulullah saw. berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin,” (Al-Ahzab: 50).
Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir al-Qur’anil ‘Adzim (III/507), “Halal bagimu wahai Nabi seorang wanita yang menghibahkan dirinya kepadamu untuk engkau nikahi tanpa mahar, jika engkau menghendakinya. Dan tidak boleh bagi seorang wanita menghibahkan dirinya kepada seorang laki-laki tanpa wali dan tanpa mahar kecuali Rasulullah saw.”
Hal itu berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka,” (Al-Ahzab: 50).
Yaitu pembatasan empat orang isteri, berapa pun jumlah budak yang mereka inginkan, disyaratkan adanya wali, kewajiban mahar dan saksi-saksi. Dan kami berikan keringanan bagimu wahai nabi dan tidak Kami wajibkan atas mu sesuatu dari perkara tersebut. Allah berfirman, “supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (HR Al-Ahzab: 50).
- Pernikahan harus ada mahar, wali dan dua orang saksi meskipun seorang wanita menawarkan dirinya untuk dinikahi. Dalilnya adalah hadits Sahal bin Sa’ad, ia berkata, “Seorang wanita datang menemui Rasulullah saw. dan sesungguhnya ia telah menghibahkan dirinya untuk Allah dan Rasul-Nya. Namun Rasulullah saw. berkata, “Sekarang ini aku tidak ada minat kepada wanita.”
Seorang laki-laki berkata, “Nikahkanlah aku dengannya!” Rasulullah berkata, “Berilah ia pakaian.” “Aku tidak punya!” jawab laki-laki itu. “Berilah ia mahar meskipun cincin dari besi” kata Nabi. Namun laki-laki itu mengaku kepada Nabi bahwa ia tidak memilikinya. Maka nabi berkata, “Apakah kamu mengafal sesuatu ayat Al-Quru’an?” ia berkata, “Ya, ayat ini dan ini” Rasulullah saw. bersabda, “Aku nikahkan kamu dengan mahar ayat-ayat al-Qur’an yang kamu hafal,” (HR Bukhari [5029] dan Muslim [1425]).
Kalalulah mahar, wali dan saksi bukan syarat dalam aqad pernikahan tentu Rasulullah saw. telah menikahkannya tanpa mahar, sebagaimana dzahir hadits tersebut, wallahua’lam.
- Para ahli ilmu berbeda pendapat tentang aqad nikah dengan lafadz hibah, jual beli, tamlik (memberi) dan kata-kata kiasan. Namun pendapat yang benar adalah penggunaan kata dalam lafadz seperti itu dilarang berdasarkan alasan-alasan berikut ini:
- Ayat tersebut berlaku khusus untuk Rasulullah saw.
- Untuk memisahkan atar akad nikah dengan akad-akad lainnya.
- Karena lafadz kawin dan nikah telah disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah dalam permasalahan ini, wallahua’lam.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/40-43.