Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata, “Kami berperang bersama Rasulullah saw, kaum muhajirin berkumpul bersama Rasulullah saw. sehingga mereka banyak. Dalam rombongan muhajirin ada seorang lelaki yang suka berkelakar. Ia memukul pantas seorang anshar. Maka marah besarlah orang anshar itu sehingga keduanya saling memanggil temannya. Si anshar berteriak, ‘Hai orang-orang anshar!’ Sedang si muhajirin berseru, ‘Hai orang-orang muhajirin!’ Maka Rasulullah saw. pun keluar dan berkata, ‘Mengapa harus ada seruan ahli Jahiliyah? Kemudian Rasulullah saw. bertanya, ‘Ada apa gerangan dengan mereka?’ lalu diceritakan kepada beliau tentang seorang muhajirin yang memukul pantat seorang anshar. Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Tinggalkanlah seruan Jahiliyah itu karena ia amat buruk’!” (HR Bukhari [3518]).
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a, dari Rasulullah saw. bersabda, “Bukan dari golongan kami orang yang menampar-nampar pipi saat musibah, mengoyak-oyak pakaian dan meratap dengan ratapan jahiliyah,” (HR Bukhari [3519]).
Dari Ubai bin Ka’ab r.a, bahwa ia mendengar seorang pria berkata, “Hai keluarga fulan!” maka Ubay berkata kepadanya, “Gigitlah kemaluan bapakmu!” Ubay mencelanya terang-terangan tanpa memakai bahasa kiasan! Orang itu berkata kepadanya, “Wahai Abul Mundzir (Abu Ubay) engkau bukanlah orang yang suka berkata keji” Ubay berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa berbangga-bangga dengan slogan-slogan jahiliyah, maka suruhlah ia menggigit kemaluan ayahnya dan tidak usah pakai bahasa kiasan terhadapnya,” (Shahih, HR Bukhari dalam Adabul Mufrad [963]).
Masih dari Ubay r.a, ia berkata, “Dua orang beradu nasab pada masa Rasulullah saw, salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan lantas engkau ini siapa? Celakalah engkau! Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Dua orang saling berbangga nasab pada masa Nabi Musa, salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan -hingga ia menyebutkan sembilan nenek moyangnya- lantas engkau ini siapa? celaka engkau! Maka ia berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan bin Islam.’ Lalu Allah mewahyukan kepada Musa tentang dua laki-laki yang beradu nasab tadi. Adapun engkau wahai orang yang menisbatkan diri sampai kepada sembilan nenek moyangmu semuanuya berada dalam neraka dan engkaulah yang kesepuluhnya. Adapun engkau wahai orang yang menisbatkan diri kepada dua orang saja (yakni kepada ayah dan kakeknya saja) keduanya berada dalam surga dan engkaulah yang ketiganya’,” (HR Ahmad [V/128]).
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kamu berbangga-bangga dri ala jahiliyah dan berbangga-bangga dengan nenek moyang. Sesungguhnya diantara kalian ada yang mukmin lagi bertakwa dan ada yang fasik lagi celaka, kalian adalah anak keturunan Adam dan Adam diciptakan dari tanah. Hendaklah mereka meninggalkan kebiasaan membangga-banggakan suku. Karena mereka hanyalah bara dari bara-bara api neraka atau mereka akan menjadi lebih hina dari pada seekor serangga yang mendorong kotoran dengan hidungnya,” (Hasan, Abu Dawud [5116]).
Kandungan Bab:
- Haram hukumnya berbangga dengna nenek moyang dan nasab keterunan, khususnya dengan cara Jahiliyah dan pengagungan yang berlebihan. Allah telah mengabarkan bahwa pada asalnya manusia itu sama. Hanya saja mereka dibedakan kedudukannya dengan ketakwaan, Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesunggunya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal,” (Al-Hujarat: 13).
- Slogan Jahiliyyah amatlah buruk, barangsiapa berbangga-bangga dengannya maka balaslah dengan ucapan, “Gigit saja kemaluan bapakmu itu!” Sebagai peringatan dan teguran, dan tidak perlu mengganti kata kemaluan dengan kata-kata kiasan. Hadits inilah yang dipraktekkan oleh Umar bin Khattab r.a, ia berkata, “Barangsiapa berbangga dengna kabilah maka suruhlah ia menggigit atau mengisap kemaluan nenek moyangnya!” (HR Ibnu Abi Syibah [XV/33/19031]).
- Berbangga-bangga hanya dibolehkan dengan membanggakan Islam dan menisbatkan diri kepadanya, mengamalkannya, menerapkan syari’atnya dan mendakwahkannya.
- Kemuliaan seseorang terletak pada apa yang terlahir di dirinyanya bukan pada nasabnya. Sebagaimana dikatakan oleh al-Fadhl bin Abi Thahir, “Seseorang dipandang mulia apabila ia memiliki kemuliaan pada dirinya, kemuliaan seseorang bukanlah terletak pada nasabnya. Tidaklah sama orang-orang yang membangga-banggakan nasabnya dengan orang yang benar-benar memiliki kemuliaan.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/572-575.