Larangan Memakai Julukan Abul Qasim

Dari Anas bin Malik r.a, ia berkata, “Seseorang memanggil rekannya di perkuburan Baqi’ dengan berseru, ‘Hai Abul Qasim!’ Rasulullah saw. menoleh kepadanya. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, bukan engkau yang aku maksud. Namun, aku memanggil si Fulan.’ Maka Rasulullah saw. berkata, ‘Pakailah namaku tapi jangan pakai kuniyahku’,” (HR Bukhari [3537] dan Muslim [2131]).

Dari Jabir bin ‘Abdillah r.a, ia berkata, “Salah seorang dari kami dianugerahi anak. Ia menamainya al-Qasim. Mereka berkata, ‘Kami tidak akan memanggilmu Abul Qasim dan tiada kemuliaan bagimu.’ Maka ia pun menemui Rasulullah saw. dan melaporkannya kepada beliau. Rasulullah saw. berkata, ‘Namakanlah anakmu ‘Abdurrahman’,” (HR Bukhari [6186 dan 6189] dan Muslim [III/1684]).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa salah seorang dari kami memperoleh anak lalu ia menamainya al-Qasim. Mereka berkata, “Kami tidak akan memanggilmu Abul Qasim sebelum kami bertanya kepada Rasulullah saw.” Maka Rasulullah mengatakan, “Namailah dengan namaku. Namun jangan pakai kuniyahku,” (HR Bukhari [3114 dan 6187]).

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Abul Qasim saw. berkata, ‘Pakailah namaku tapi jangan pakai kun-yahku’,” (HR Bukhari [3539] dan Muslim [2134]).

Masih dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah saw. melarang seseorang menggabungkan antara nama dan kunyahnya, yakni dengan nama Muhammad Abul Qasim, (Shahih ligharihi, HR Bukhari dalam al-Adabul Mufrad [844], at-Tirmidzi [2841], Ahmad [II/433], Ibnu Hibban [5814 dan 5817]).

Kandungan Bab:

  1. Para ulama berselisih pendapat tentang hukum memakai kun-yah Abul Qasim. Ada beberapa pendapat yang disebutkan oleh an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (XIV/112-113):
    1. Tidak boleh seorang pun memakai kuniyah Abul Qasim, baik namanya Muhammad ataupun bukan. 
    2. Larangan tersebut mansukh (telah dihapus). 
    3. Larangan tersebut bermakna tanzih dan etika (yakni bermakna makruh). 
    4. Larangan memakai kuniyah Abul Qasim berlaku khusus bagi orang yang namanya Muhammad atau Ahmad. 
    5. Larangan memakai kuniyah Abul Qasim bersifat mutlak, berikut pula larangan memakai nama al-Qasim agar ayahnya tidak dipanggil Abul Qasim. 
    6. Memakai nama Muhammad adalah dilarang secara mutlak, baik ia memiliki kun-yah ataupun tidak. 
    7. Larangan tersebut berlaku khusus pada masa Rasulullah saw masih hidup. 
  2. Pendapat yang terpilih dalam masalah ini adalah pendapat yang melarang secara mutlak berdasarkan alasan berikut ini:

    Pertama: Bersihnya hadits-hadits larangan mutlak dari kontroversi dan pertentangan.

    Al-Baihaqi berkata dalam as-Sunan (IX/309), “Hadits-hadits larangan mutlak lebih banyak dan lebih shahih sanadnya, wallaahu a’lam.”

    Dalam kitab Syu’abul Iimaan (VI/394) al-Baihaqi berkata, “Hanya saja hadits-hadits larangan memakai kun-yah Abul Qasim secara mutlak lebih banyak dan lebih shahih.”

    Kedua: Tidak boleh beralih kepada penghapusan hukum (nasikh mansukh) kecuali bila tidak mungkin dilakukan penggabungan dan dapat diketahui mana dalil yang paling akhir, dan itu yang tidak bisa dibuktikan di sini.

    Ketiga: Pendapat yang mengatakan bahwa larangan tersebut khusus bagi yang memiliki nama Muhammad atau Ahmad agar tidak menggabungkan antara nama Rasul dan kuniyah beliau. Dalam hal ini ada sebuah hadits dha’if yang tidak dapat dijadikan hujjah. Yaitu hadits Jabir yang marfu’ berbunyi, “Barangsiapa memakai namaku, maka janganlah ia memakai kun-yahku. Dan barangsiapa memakai kun-yahku, maka janganlah ia memakai namaku,” (Dhaif, HR Abu Dawud [4966], at-Tirmidzi [2842]).

    Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafazh, “Jika kalian memakai kuniyahku, maka janganlah pakai namaku, dan jika kalian memakai namaku, maka janganlah pakai kuniyahku,” (Dhaif, HR Ibnu Hibban [5816]).

    Namun, tidak termasuk dalam bab ini hadits Abu Hurairah yang disebutkan di atas, “Rasulullah saw. melarang seseorang menggabungkan antara nama dan kuniyahnya, yakni dengan nama Muhammad Abul Qasim” karena larangan memakai kuniyah Abul Qasim sudah jelas dan tinggallah bolehnya memakai nama beliau saw, dan itulah yang benar. Hadits ini tidak boleh dipahami bahwa orang yang namanya bukan Muhammad atau Ahmad boleh memakai kuniyah Abul Qasim.

    Keempat: Adapun mengartikan larangan tersebut kepada makna tanzih dan etika (yakni bermakna makruh), maka indikasi-indikasi yang memalingkan larangan dari makna tahrim (bermakna haram) tidak terlepas dari cacat, baik keshahihan dalil maupun maknanya.

    Yang pertama adalah hadits ‘Aisyah ra, ia berkata, “Seorang wanita datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku melahirkan seorang anak dan aku namakan ia Muhammad dan aku beri kuniyah Abul Qasim. Diceritakan kepadaku bahwa engkau membenci hal itu.” Maka Rasulullah berkata, ‘Siapakah yang menghalalkan namaku tapi mengharamkan kuniyahku?’ atau ‘Siapakah yang mengharamkan kuniyahku tapi menghalalkan namaku’?” (Dhaif jiddan, HR Bukhari dalam at-Taariikh al-Kabiir [I/155], Abu Dawud [4968], al-Mizzi dalam Tahdziibul Kamaal [XXVI/233], ath-Thabrani dalam ash-Shaghiir [I/14) dan al-Baihaqi [IX/309-310]).

    Para ahli ilmu sepakat bahwa riwayat-riwayat tersebut adalah lemah dan munkar, tidak dapat dipakai karena bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih dan jelas maknanya. Al-Baihaqi berkata (IX/310), “Hadits-hadits larangan memakai kun-yah Abul Qasim secara mutlak lebih shahih daripada hadits al-Hajbi ini dan lebih banyak. Hadits-hadits larangan itulah yang lebih layak dipakai bukan selainnya.”

    Sebelumnya Bukhari telah mengatakan dalam at-Taariikh al-Kabiir (I/155-156), “Hadits-hadits tersebut lebih shahih, yakni hadits, ‘Pakailah namaku tapi jangan pakai kuniyahku’.”

    Yang kedua adalah hadits ‘Ali bin Abi Thalib r.a, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu bila aku mendapat anak sepeninggalmu bolehkah aku menamakannya Muhammad dan memberinya kuniyah dengan kuniyahmu?” Rasulullah berkata, “Ya boleh!” Itu merupakan keringanan yang beliau berikan kepadaku, (Shahih, HR Bukhari dalam al-Adabul Mufrad [843], Abu Dawud [4967], at-Tirmidzi [2843], al-Hakim [IV/278]).

    Hadits ini tidak memalingkan larangan tersebut dari makna tahrim kepada makna makruh atau etika karena ‘Ali bin Abi Thalib ra mengetahui larangan dan hukum haramnya. Oleh karena itulah ia meminta izin, maka hal itu merupakan dispensasi khusus baginya dan tidak untuk orang lain. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat ath-Thahawi, “Hal itu khusus untukmu tidak untuk orang lain.” Kalaulah sekiranya larangan tersebut bermakna makruh tentu hal itu bukan termasuk dispensasi untuknya, wallaahu a’lam.

    Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata dalam kitab Zaadul Ma’aad (II/348), “‘Ali r.a. telah mengatakan bahwa hal itu merupakan dispensasi khusus untuknya. Dan ini menunjukkan bahwa larangan tersebut tetap berlaku bagi orang lain selain ‘Ali, wallaahu a’lam.”

    Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (X/573), “Ath-Thabari mengatakan, ‘Pembolehan hal itu bagi ‘Ali dan pemberian kun-yah Abul Qasim bagi anak beliau merupakan isyarat bahwa larangan tersebut bermakna makruh bukan bermakna haram. Alasan yang mendukungnya adalah kalaulah larangan tersebut bermakna haram tentu para Sahabat telah mengingkarinya dan tentunya mereka tidak akan membiarkan Ali memberi anaknya kun-yah Abul Qasim. Itu semua menunjukkan bahwa mereka memahami larangan tersebut bermakna tanzih (makruh).”

    Perkataan ini dibantah bahwa masalahnya tidak hanya sebatas yang dikatakan oleh ath-Thabari tadi, barangkali para Sahabat mengetahui dispensasi ini hanya untuk ‘Ali bukan untuk yang lainnya sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa riwayat atau mereka memahami larangan tersebut hanya berlaku pada masa Rasulullah saw. saja. Pendapat ini lebih kuat karena sebagian sahabat menamai anak-anak mereka Muhammad dan memberi mereka kuniyah Abul Qasim, yaitu Thalhah bin ‘Ubaidillah. Ath-Thabrani menegaskan bahwa Nabilah yang memberinya kuniyah Abul Qasim.”

    Kelima: adapun membatasi larangan tersebut hanya berlaku pada masa Rasulullah saw. saja berdasarkan hadits ‘Ali di atas, maka tidaklah tepat, karena pembolehan tersebut merupakan kekhususan untuk ‘Ali tidak untuk orang lain. Oleh sebab itu, berdalil dengan hadits ‘Ali sebagai pendukung pendapat ini tidaklah tepat. Sementara adanya sebagian Sahabat yang melakukannya, maka itu bukanlah alasan sebab tidak diterima perkataan siapa pun apabila bertentangan dengan Sunnah Nabi saw.

    Al-Baihaqi berkata dalam kitab as-Sunan (IX/310), “Mengkhususkan larangan ini hanya pada zaman Nabi saw dan alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang berusaha menggabungkan hadits-hadits tersebut dengan mengatakan bahwa larangan tidak berlaku setelah wafat Rasulullah saw, termasuk alasan yang dikatakan oleh Imam asy-Syafi’i, ‘Tidak ada hujjah bagi perkataan siapa pun bila berhadapan dengan sabda Nabi saw, wallaahu a’lam’.

    Keenam: Sebagian ulama tidak membolehkan penggunaan nama Muhammad. Mereka berdalil dengan hadits Anas r.a. yang marfu’, “Kalian menamai anak-anak kalian Muhammad kemudian kalian melaknat mereka?!” (Dhaif, HR Abu Dawud ath-Thayalisi sebagaimana disebutkan dalam al-mathaalib al-‘Aliyah [2796], dan melalui jalurnya Abu Ya’la meriwayatkannya [3386], al-Bazzar [1987], Ibnu Adi dalam al-Kaamil [II/623] dan al-Hakim [IV/293]).

    Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata dalam kitab Zaadul Ma’aad (II/347-348), “Sebagian orang yang tidak diperhitungkan perkataannya mengambil pendapat yang aneh dengan melarang penggunaan nama Muhammad, mereka menyamakannya dengan larangan memakai kun-yah beliau saw. Menurut pendapat yang benar: Boleh menggunakan nama Muhammad adapun memakai kuniyah beliau adalah dilarang. Larangannya pada masa beliau hidup lebih keras lagi, dan menggabungkan antara nama dan kuniyah beliau juga dilarang.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/560-569.

Baca Juga