Ada orang yang anak gadisnya dilamar, ketika merasa “sreg” dengan si pelamar, apa pun alasannya langsunglah ia setuju seratus persen tanpa sepengetahuan si gadis sedikit pun. Saat malam pertama sudah dekat, barulah si wali membisikannya agar si anak perempuan mempersiapkan diri untuk menikah.
Ini adalah salah satu kesalahan paling besar. Sebab, barangkali si istri tidak menyukai si suami. Apabila ia dipaksa menikah dengannya susahlah hidup mereka berdua. Karena itulah syari’at yang bijak melarang wali memaksa anak gadisnya menikah. Sebab, ia memang tidak berhak melakukannya.
Ada peneliti yang mencampur adukkan antara syarat adanya wali dalam pernikahan dan kelayakan wali dalam memaksakan anak gadisnya menikah. Kedua hal tersebut tidak saling mengharuskan sebab,tidak semua orang yang mensyaratkan wali dalam pernikahan mambolehkan wali memaksa anak gadisnya menikah dengan laki-laki yang diinginkan walinya tapi tidak disukai si gadis.
Bahkan,pendapat yang paling kuat adalah wali tidak dibolehkan memaksa anak gadisnya menikah bukan atas pilihannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata “Janda yang sudah baligh hanya dinikahkan atas seizin dirinya sendiri sesuai kesepakatan para imam.”
Pada kesempatan lain ia mengatakan “Perempuan baligh yang janda tidak boleh dinikahkan tanpa seizin dirinya sendiri, baik oleh ayahnya maupun oranglain, berdasarkan ijma para ulama.
Apabila wali menikhakan anak perempuanya tanpa seizin dirinya dan akad nikah telah dilangsungkan, mayoritas ulama berpendapat bahwa akad itu sah dan tidak perlu di perbaharui. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, juga ada satu riwayat bahwa Imam Ahmad berpendapat demikian.
Menurut Imam Syafi’i akad itu harus di perbaharui, dan akad yang lalu tidak sah lantaran tanpa seizin si anak perempuan jga ada satu riwayat bahwa Imam Ahmad berpendapat demikian.
Itu semua adalah tentang janda sedangkan perawan, ada perbedaan pendapat apakah meminta izinnya di anjurkan ataukah di wajibkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menilai pendapat yang lebih kuat adalah di wajibkan, ia berkata “Para ulama berbeda pendapat ihwal permintaan wali kepada anak perempuannya yang perawan dan sudah baligh, apakah itu di wajibkan ataukah di anjurkan. Yang tepat itu adalah diwajibkan.
Para ulama yang menilai permintaan izinnya wajib berdalil dengan teks-teks dalil yang mempersyaratkan permintaan izin perawan untuk dinikahkan, juga dengan teks-teks dalil yang tegas menyatakan pembatalan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terhdap pernikahan paksa oleh wali tanpa seizin anak perempuannya, sebagaimana telah disajikan.
Menikahkan anak gadis tanpa seizinnya, sementara ia tidak menyukainya, jika bertentangan dengan prinsip dan rasio, sedangkan Allah Azza wa Jalla tidak membenarkan walinya memaksanya menjual atau menyewakan sesuatu tanpa seiziinnya, ataupun memaksanya makan, minum atau mengenakan pakaian yang tidak ia kehendaki.
Lagi pula Allah telah menjadikan kasih dan sayang antara pasangan suami istri. Apabila pernikahan hanya terjadi dengan kebencian si istri dan ketidak sukaannya terhadap sisuami kasih macam apa dan sayang macam apa yang ada di dalamnya?
Syari’at pun telah mengatur solusi gugatan cerai bagi istri dari suaminya, ketika istri tidak menyukainya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menguraikan: Ikhwal pemaksaan ayah terhadap anak perempuannya yang sudah baligh untuk menikah, ada dua pendapat Ahmad yang diriwayatkan secara masyhur.
Pertama: Perawan yang sudah baligh boleh dipaksa menikah, seperti pendapat Malik dan Syafi’i. Pendapat inilah yang dipilih al-Kharqi dan al-Qadhi serta murid-muridnya.
Kedua: Tidak boleh dipaksa, seperti pendapat Abu Hanifa dan selainnya. Pendapat inilah yang dipilih Abu Bakar ‘Abdil’Aziz bin ja’far. Pendapat inilah yang tepat.
Para ulama juga berbeda pendapat ihwal tempat bergantung pemaksaan itu: apakah itu keperawanan ataukah kebeliaan ataukah kedua-duanya ataukah masing-masingnya.
Ada empat pendapat dalam madzhab Ahmad dan selainnya. Pendapat yang tepat, tempat bergantung pemaksaan itu adalah kebeliaan: sementara perawan yang sudah baligh tidak boleh dipaksa siapa pun untuk menikah.
Ia juga berkata, “Lagi pula, ayah tidak boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta benda anak perempuannya yang berakal sempurna tanpa seizinnya. Sementara kehormatannya lebih agung daripada harta bendanya.
Kesimpulannya, anak perempuan itu tidak boleh dinikahkan tanpa seizinnya: persyaratan izin ini bukan berarti tidak mewajibkan adanya wali dalam menikahkannya. Pendapat yang tepat, kehendak si anak perempuan dan kehendak si wali dalam pernikahan harus berkesesuaian.
Adalah benar bahwa si wali boleh berusaha membuat si anak perempuan setuju menikah apabila ia menolak menikah tanpa alasan yang jelas. Si wali juga boleh membuatnya setuju menikah degan si calon suami yang shalih dan ia mengkehendakinya.
Akan tetapi si wali tidak boleh memaksanya. Itu juga tidak berarti bahwa si gadis boleh berkeras kepala dengan dalih ia tidak boleh dipaksa.
Sumber: Trilogi Pernikahan oleh Syaikh DR. Muhammad bin Ibrahim Al-Hammad