وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. “(QS. An-Nahl: 116)
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata :
“Sungguh dahulu orang-orang mulia dari kalangan para shahabat ketika dihadapkan kepada mereka sebuah masalah yang mereka tidak mengetahui hukum Allah tentangnya, mereka takut dan tidak mau memberikan jawaban pada masalah tersebut.” (Kitab Al ‘Ilm hal. 59)
Bicara agama tanpa ilmu adalah perkara yang sangat berbahaya bahkan lebih bahaya daripada syirik. Sebagaimana yang di katakan oleh Al-Alamah Syeikh Bin Baz
Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.”
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”.
Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata dalam kitab Minhah Ilmiyah Fii Tahdzib Syarh Thahawiyah: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya.”