Tidak kenal, itulah di antara sebab yang membuat kita kurang menghormati pendapat para ulama terdahulu.
Berkenalanlah!
Ada benarnya orang yang berkata; “Tak kenal maka tak sayang”.
Lalu bagaimana kita bisa kenal sedangkan mereka sudah tiada?
Terjawab dengan satu kalimat indah “Sanarhal wa tabqal ātsār” kita akan tiada namun bekas dan sinar jejaklah yang akan terus menyala.
Jejak mereka, para ulama, tertulis dengan tinta emas menghiasi lembaran sejarah. Bacalah! Engkau akan mengetahui bagaimana gigih dan juang mereka dalam menuntut ilmu, agar hatimu melembut menempatkan mereka sebagai pewaris para anbiya’.
Sebenarnya, saya tulis kumpulan pragraf ini adalah untuk mengajak kita semua membaca biografi para ulama, karena di antara tujuan terpenting mengetahui luasnya ilmu, kegigihan, wara’, zuhud serta ujian yang mereka hadapi adalah agar supaya:
1. Generasi sekarang tidak mudah menyamakan pendapat mereka dengan pendapat “penuntut ilmu” yang baru ikut ta’lim tiga bulan. Kalau istilah para masyayikh “Thuwailib ilm” bukan “Thalib ‘ilm”.
2. –Agar- tidak mudah membuang pendapat mereka, kemudian menuduh mereka sebagai Ahlu Bid’ah hanya dikarenakan kebodohan dan keterbatasan ilmu kita.
3. -Agar- kita “tahu diri”, oh! Ternyata ilmu dan amal kita tak seberapa dibanding mereka.
4. -agar- Mengetahui bahwa merekalah salaf dan para penerusnya, sehingga wawasan kita lebih terbuka, menghormati mereka selaku pejuang dīn ini, yang sudah selayaknya mendapat doa baik dari kita selaku generasi muda.
5. –Agar- hati dan dadamu lapang menerima perbedaan di antara mereka, selama itu ranah khilafiyah ijtihadiyah.
Gambarannya;
Imam Abu Hanifah sang imam besar, Imam Malik pernah berkomentar tentangnya, “Jika orang ini (Abu Hanifah) mengatakan bahwa tiang masjid ini terbuat dari emas niscaya kalian akan percaya dikarenakan hujjahnya yang sangat kuat.”. lalu datang orang yang baru belajar bahasa Arab di akhir zaman ini mengatakan bahwa beliau tidak kuat hujjahnya dan tidak terlalu faham akan dalil. Ma’adzallah!
Imam Syafi’i, yang tak diragukan lagi keilmuannya, Imam yang dijuluki sebagai “Penolong Sunnah”, orang yang sangat paham akan sunnah. Lalu datang manusia yang lupa berkaca, meremehkan pendapat Imam Syafi’i sembari berkata bahwa Imam Syafi’i lemah haditsnya, ada bid’ahnya. Lā haula wa lā quwwata illā billah.
Ibnu Abi Hatim, Imam besar yang pernah makan ikan mentah karena tidak sempat masak lantaran sibuk menuntut ilmu.
Ibnu Aqil memilih roti basah supaya bisa lansung ditelan agar waktunya tidak terbuang untuk mengunyah.
Imam Haramain yang tidak tidur kecuali jika sudah terpaksa tidur dan tidak makan kecuali jika sudah betul-betul lapar.
Imam Fakhur Rāzi yang menyayangkan karena waktunya terbuang untuk makan.
Begitu besarnya perjuangan para ulama tersebut, kemudian datang orang di abad modern merendahkan pendapat dan ijtihad mereka sambil nyantai nonton tv, minum teh dan menikmati hidangan. Ainal adab?
Ada yang lebih parah lagi;
Imam Nawawi yang pernah tidak tidur berbaring selama dua tahun karena menuntut ilmu, dan ilmunya diterima oleh umat Islam.
Lalu ada sekelompok orang yang semangat namun keras dan kurang berilmu, mencela bahkan ingin membakar buku-buku imam Nawawi karena beliau mentakwil ayat-ayat sifat sebagaimana takwilannya Asyā’irah (ini dikisahkan oleh syaikh Utsaimin rahimahullah dalam muqaddimah Syarh Al-Arba’in). Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’un.
Betapa bahaya jika tak pernah kenal mereka namun lisan tajam menusuk dan merusak harga diri mereka. Hati-hati keracunan jika “makan” daging ulama.
Berkenalanlah dengan mereka, semoga kelak anda dan saya dikumpulkan bersama mereka dalam Firdaus A’la.
Amiin Yaa Rabb.