Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, ia berkata, “Bahwasanya ash-Sha’b bin Jatstsamah berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak ada pembatasan melainkan hak Allah dan Rasul-Nya,’ (HR Bukhari [2370]).
Ia berkata, ‘Diceritakan kepada kami bahwa Rasulullah saw. membatasi daerah an-Naqi’ dan bahwasanya ‘Umar r.a. membatasi derah asy-Syaraf dan ar-Rabadzah’.”
Kandungan Bab:
- Al-Himaa (pembatasan) adalah larangan menggembala di daerah tertentu.
- Sebagian ahli ilmu menerangkan dua makna bagi hadits ini, Pertama: Tidak seorang pun berhak membatasi daerah-daerah tertentu bagi kaum Muslimin kecuali yang telah dibatasi oleh Nabi saw. Kedua: Hak pembatasan ini boleh dilakukan oleh orang yang menggantikan kedudukan Nabi yaitu para khalifah.
- Tidak seorang pun imam (khalifah) sepeninggal Rasulullah yang berhak membatasi daerah tertentu khusus untuk dirinya. Ia hanya dibolehkan membatasi seperti pembatasan yang dibuat oleh Rasulullah saw untuk maslahat kaum Muslimin, dengan catatan tidak terlihat kemudharatannya.
Dalilnya adalah perbuatan dan perkataan ‘Umar r.a, Adapun perbuatan beliau, dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa ‘Umar membatasi daerah ar-Rabadzah untuk unta-unta zakat. (Shahih, HR Ibnu Abi Syaibah [VII/304/3244])
Adapun perkataan beliau dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa ‘Umar bin al-Khaththab r.a. menugaskan seorang bekas budaknya bernama Hunay untuk mengurus Himaa (daerah khusus terlarang). ‘Umar berkata, “Hai Hunay, tahanlah dirimu terhadap kaum Muslimin dan hindarilah do’a orang yang terzhalimi atas dirimu, karena do’a orang yang terzhalimi dikabul-kan. Persilahkan masuk Himaa para pemilik sekumpulan unta dan kambing yang berjumlah sedikit. Awasilah unta-unta milik ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan ‘Utsman bi ‘Affan karena apabila unta-unta mereka mati, mereka masih memiliki kebun kurma dan sawah. Adapun pemilik shu-raimah dan kambing yang berjumlah sedikit. Jika unta dan kambingnya mati, maka di dengan anak-anaknya akan melabrakku sambil berkata, ‘Hai Amirul Mukminin!’ Lantas apakah aku akan membiarkan mereka, sungguh celaka kamu ini? Air dan padang rumput lebih mudah bagiku menyediakannya dari pada emas dan perak. Demi Allah, mereka akan menganggapku telah menzhalimi mereka. Sesungguhnya negeri ini adalah tanah air mereka. Mereka telah berperang mempertahankannya pada masa Jahiliyyah. Setelah Islam datang mereka pun mengislamkannya. Demi Allah, yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalaulah bukan karena harta yang aku gunakan fi sabilillah niscaya aku tidak akan membuat daerah larangan di tanah air mereka meskipun sejengkal,” (HR Bukhari [3058]).
Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah [VIII/285], “Maksudnya adalah seorang pun tidak punya hak membatasi tanah kecuali menurut produser yang telah digariskan oleh Rasulullah saw.”
- Jadi pembatasan tanah yang dilarang adalah pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh orang-orang Arab pada masa Jahiliyyah, yaitu para pemimpin-pemimpin Arab dahulu apabila singgah di satu tempat yang subur, maka ia suruh anjing melolong di tempat yang tinggi. Batas tanah adalah sejauh suara lolongan anjing tersebut yang diukur diameternya dari tiap-tiap sisi. Tak boleh seorang pun menggembala di tempat tersebut dan dibolehkannya untuknya bersama orang lain menggembala di luar daerah itu.
Itulah yang ditetapkan oleh Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-‘Umm (IV/47), “Dahulu kala orang Arab yang terpandang kedudukannya apabila singgah di suatu tempat yang subur, maka ia suruh anjingnya naik ke puncak bukit jika di sana ada bukit atau tempat yang tinggi jika tidak ada bukit. Lalu ia suruh anjing itu melolong, lalu orang-orang suruhannya berdiri mendengar sampai sejauh mana lolongan anjing tersebut. Lantas ia membuat batas sejauh suara lolongannya yang diukir diameternya dari tiap-tiap sisi. Ia boleh menggembala bersama orang-orang lain di luar daerah tersebut. Dan ia melarang daerah tersebut terhadap orang lain untuk hewan-hewan ternaknya yang lemah. Ia tidak mau hewan-hewan ternak yang lain merumput bersama hewan-hewannya. Dan kami melihat sabda Nabi saw -wallaahu a’lam-, ‘Tidak ada pembatasan melainkan bagi Allah dan Rasul-Nya,’ yaitu pembatasan dalam makna khusus seperti yang disebutkan di atas. Dan bahwasanya ucapan: ‘Hak Allah dan Rasul-Nya tiap-tiap pembatasan dan lainnya,’ yakni Rasulullah saw membuat pembatasan untuk kepentingan kaum Muslimin. Tidak boleh bagi orang lain selain beliau membuat batas-batas untuk kepentingan pribadi karena Rasulullah saw tidak memiliki melainkan sesuatu yang dibutuhkan oleh beliau dan keluarga beliau dan untuk kepentingan kaum Muslimin. Sampai-sampai apa yang Allah berikan kepada beliau, yaitu seperlima digunakan kembali untuk maslahat ummat beliau. Demikian pula harta beliau yang lebih dari kebutuhan digunakan untuk maslahat kaum Muslimin, yaitu untuk kuda dan senjata sebagai bekal jihal fi sabilillah. Harta dan jiwa beliau disiapkan untuk ketaatan kepada Allah. Semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam bagi beliau dan membalas beliau dengan sebaik-baik balasan yang diberikan kepada seorang Nabi atas jasanya terhadap ummatnya.”
- Akan tetapi disyaratkan pada pembatasan yang dibolehkan: Harus dilakukan oleh orang-orang yang mengganti kedudukan Nabi saw, yaitu khalifah dan syarat berikutnya pembatasan tersebut tidak menimbulkan kerugian terhadap kaum Muslimin. Wallaahu a’lam.
- Sebagian ahli ilmu beranggapan al-himaa yang dimaksud dalam hadits ini adalah menghidupkan tanah tak bertuan. Mereka mengklaim hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits yang berisi pembolehan menghidupkan tanah tak bertuan. Ini jelas kekeliruan dan bertentangan dengan realita. Karena seluruh ahli ilmu membedakan antara al-himaa dengan menghidupkan tanah tak bertuan.
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authaar (VI/53), “Sebagian orang mengira antara hadits yang berisi larangan al-himaa dan hadits-hadits yang berisi pembolehan menghidupkan tanah tak bertuan terdapat pertentangan. Asal usul anggapan seperti ini disebabkan mereka tidak membedakan antara keduanya. Dan ini jelas keliru karena al-himaa lebih khusus daripada menghidupkan tanah tak bertuan.”
- Sabda Nabi dalam hadits an-Nu’man bin Basyir yang Muttafaq ‘alaih, “Ketahuilah, bagi setiap raja ada himaa (daerah larangan)” bukanlah hujjah bagi yang menetapkan adanya hak membuat daerah larangan di luar produser yang telah digariskan di atas. Karena ini hanyalah khabar, tidak dapat diambil hukum syar’i darinya, wallaahu a’lam.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/328-331.