Larangan dalam Syarat-Syarat Pertanian dan Sewa-Menyewa Sawah atau Kebun

Dari Rafi’ bin Khadij r.a, ia berkata, “Kami adalah penduduk Madinah yang paling banyak kebunnya. Salah seorang dari kami menyewakan kebunnya. Ia berkata, ‘Hasil tanah yang ini adalah bagianku dan yang itu adalah bagianmu.’ Kadang kala tanah yang ini membuahkan hasil sedang yang satunya tidak membuahkan hasil. Lau Rasulullah saw. melarang mereka dari hal tersebut,” (HR Bukhari [2332] dan Muslim [1547]).

Dari Tsabit bin Dhahhak r.a. bahwa Rasulullah saw. melarang muzara’ah (sewa-menyewa sawah), (HR Muslim [1549]).

Kandungan Bab:

  1. Larangan dalam hadits-hadits tersebut berlaku apabila sewa-menyewa tersebut mengandung syarat-syarat yang tidak jelas atau dapat menjurus kepada gharar (ketidak jelasan). Misalnya si pemilik memungut hasil bagian-bagian tertentu untuk dirinya atau mengambil jeraminya (rerumputannya).

    Dalam hadits riwayat Muslim dari Hanzhalah bin Qais al-Anshari, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khadij tentang sewa-menyewa sawah dengan emas dan perak. Ia menjawab, ‘Tidak masalah!’ Hanya saja dahulu orang-orang menyewakan tanah mereka pada masa Rasulullah saw. dengan mengambil rerumputan yang tumbuh di pinggiran sawah atau di saluran pengairannya atau mengambil beberapa hasil tanaman. Kadang kala tanaman ini mati dan tanaman yang lain hidup dan kadang kala sebaliknya. Begitulah cara sewa-menyewa tanah yang mereka lakukan. Oleh karena itu, Rasulullah saw. melarangnya. Adapun bila menyewakannya dengan sesuatu yang jelas dan terjamin, maka dibolehkan.”

    Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authaar (VI/13), “Hadits ini menunjukkan haramnya praktek muzara’ah (sewa-menyewa sawah) karena mengandung unsur gharar dan ketidakjelasan yang bisa mengakibatkan pertengkaran.”

    Al-Laits bin Sa’ad berkata, “Sewa-menyewa sawah yang dilarang ini apabila para ahli yang paham halal haram mengetahuinya pasti mereka tidak membolehkannya karena bisa menimbulkan mudharat dan kerugian,” (HR Bukhari [2346 dan 2347]).

    Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (V/26), “Perkataan al-Laits ini selaras dengan pendapat Jumhur ulama tentang larangan sewa-menyewa sawah yang menjurus kepada gharar dan ketidakjelasan, bukan sewa-menyewa dengan emas atau perak.” 

  2. Para ulama berbeda pendapat tentang sewa-menyewa sawah dengan sebagian dari hasilnya. Dan berdasarkan pendapat yang terpilih hukumnya boleh. Dalilnya adalah sebagai berikut:
    1. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. tidak melarangnya, hanya saja beliau mengatakan, “Andaikata seseorang memberikan sawahnya kepada saudaranya tentu lebih baik baginya daripada meminta bagian tertentu dari hasilnya,” (HR Bukhari [2342] dan Muslim [1550]). 
    2. Kebijakan yang Rasulullah saw ambil terhadap Yahudi Khaibar, beliau memberi mereka kebun kurma dengan kompensasi menyerahkan separuh dari hasilnya kepada beliau. Kebijakan ini berlanjut sampai Rasulullah saw meninggal. 
    3. Keterangan yang dosebutkan dalam hadits Rafi’, “Adapun bila menyewakan dengan sesuatu yang pasti dan terjamin maka tidaklah mengapa (yakni boleh).” 
  3. Boleh menyewa tanah atau sawah atau kebun dengan emas atau perak.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/320-322.

Baca Juga