Larangan Mengambil Hasil Usaha Budak Wanita Hingga Diketahui dari Mana Sumbernya

Dari ‘Aun bin Abi Juhaifah r.a, ia berkata, “Aku melihat ayahku membeli tukang bekam lalu ia menyuruhnya untuk memecahkan alat-alat bekamnya. Aku bertanya kepadanya tentang hal itu. Ia berkata, ‘Seungguhnya Rasulullah saw. melarang mengambil hasil penjualan darah, hasil penjualan anjing, mengeksploitasi budak wanita, melaknat tukang tato dan yang meminta ditato, melaknat pemakan riba dan pemberi riba dan melaknat tukang gambar’,” (HR Bukhari [2238]).

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang dari hasil usaha budak wanita,” (HR Bukhari [2283]).

Tahriq bin ‘Abidarrahman al-Qurasyi, ia berkata, “Rafi’ bin Rifa’ah mendatangi majelis kaum Anshar. Ia berkata, ‘Sesungguhnya pada hari ini Rasulullah saw. melarang kami kemudian ia menyebutkan beberapa perkara dan beliau melarang dari hasil usaha budak wanita kecuali usaha yang dikerjakan dengan tangannya sendiri.” Kemudian ia memperagakan dengan tangannya, yaitu membuat roti, menenun, dan menyisir wol, (Hasan, HR Abu Dawud [3426], al-Hakim [II/42]).

Dari Rafi’ bin Khadij r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang dari hasil usaha budak wanita apabila tidak diketahui dari mana sumber usahanya,” (Hasan, HR Abu Dawud [3427], al-Hakim [II/42]).

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya mengambil hasil usaha budak wanita hingga diketahui dari mana asalnya, apabila berasal dari pekerjaan yang dibolehkan, seperti menyisir wol, menenun dan lainnya, maka hukumnya halal. Jika tidak diketahui asalnya, maka hukumnya haram. 
  2. Tidak boleh mewajibkan setoran atas budak wanita, karena dikhawatirkan mereka akan mencari uang dengan menjual diri. Dalam hadits Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw melarang mengambil hasil usaha budak wanita karena dikhawatirkan mereka akan melacurkan diri,” (Shahih, HR Ibnu Hibban [5159]).

    Itulah yang disampaikan oleh ‘Utsman bin ‘Affan ra dalam khutbahnya di hadapan manusia: “Janganlah membebani budak wanita yang tidak terampil untuk bekerja. Karena apabila kalian membebani mereka, maka mereka akan melacurkan diri. Janganlah kalian membebani anak kecil bekerja. Karena apabila tidak mendapat hasil, ia akan mencuri. Jagalah kesucian diri apabila Allah telah menjaga kesucian dirimu. Hendaklah kalian memakan makanan yang baik-baik saja,” (Shahih, HR Malik [II/981], Ibnu Abi Syaibah [VII/36], al-Baihaqi [VIII/9008] dan ath-Thahawi dalam Musykilul Aatsaar [II/86]).

    Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah [VIII/21], “Larangan ini berlaku terhadap orang yang mewajibkan setoran atas budak wanitanya. Yaitu setoran dalam jumlah tertentu yang harus ia serahkan kepada tuannya. Larangan di sini hukumnya makruh tanzih, bukan haram karena dikhawatirkan budak wanita itu akan terjerumus ke lembah nista (pelacuran) dan mencari uang dengan melacurkan diri apabila ia tidak punya keterampilan. Ada hadits yang membolehkannya apabila ia mengerjakannya sendiri dengan tangannya (yaitu jelas sumbernya).”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/310-312.