1. Keutamaan Shalat Tathawwu
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, "Sesungguhnya amalan seseorang yang pertama kali dihisab pada hari kiamat (kelak) adalah shalatnya, jika shalatnya sempurna, maka sungguh ia berbahagia dan berhasil; namun jika shalatnya tidak benar, maka sungguh ia menyesal dan rugi; jika amalan fardhunya kurang, maka Rabb Tabarakta wa Ta'ala berfirman, "Lihatlah, adakah hamba-Ku (ini) memiliki amalan sunnah!' Kemudian ia melengkapi kekurangan amalan fardhunya dengannya, kemudian diperlakukan seperti itu seluruh amalannya." (Shahih: Shahih Nasa'i no: 451 dan 452, Tirmidzi I: 258 no: 411 dan Nasa'i 232).
2. Dianjurkan Dilaksanakan Di Rumah
Dari Jabir r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila seorang di antara kamu selesai melaksanakan shalat di masjidnya, maka kerjakanlah sebagian dari shalatnya (yaitu shalat sunnah) di rumahnya; karena sesungguhnya Allah menjadikan sebagian shalatnya sebagai cahaya rumahnya." (Shahih Mukhtashar Muslim no: 375 dan Muslim I: 239 no: 778)
3. Klasifiikasi Shalat Tathawwu'
Secara garis besar shalat tathawwu' terbagi dua; pertama shalat tathawwu muthlaqah (tidak terikat), dan kedua muqayyadah' (terikat).
Shalat Tathawwu' muqayyadah ialah shalat sunnah yang dikenal dengan sebutan shalat sunnah rawatib, baik yang qabliyah maupun yang ba'diyah. Ia terbagi dua yaitu muakkadah (yang sangat ditekankan), dan ghairu muakkadah (tidak ditekankan).
Adapun yang muakkadah, terdiri atas sepuluh raka'at:
Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, "Saya hafal dan Nabi saw. sepuluh raka'at, dua raka'at qabliyah zuhur, dua raka'at ba'diyah zuhur, dua raka'at ba'diyah maghrib,dua raka'at ba'diyah isya', dan dua raka'at qabliyah (sebelum) subuh. Dan mi adalah saat yang tidak seorang pun untuk ke (rumah) Nabi , maka Hafsah bercerita kepadaku bahwasanya beliau apabila muadzin sudah mengumandangkan adzan fajar telah terbit, beliau shalat dua raka'at." (Shahih: Irwa ul Ghalil no: 440, Fathul Bari III: 58 no: 80 dan 1181 lafadz ini baginya, Tirmidzi I: 271 no: 431 semakna).
Dari Aisyah bahwa Nabi tidak pernah meningkatkan empat raka'at qabliya zuhur dan dua raka'at qabliyah shubuh. (Shahih: Shahih Nasa'i no: 1658, Fathul Bari III: 58 no: 1182, ‘Aunul Ma'bud IV: 134 no: 124, Nasa'i I!1 251).
Adapun yang ghairu muakkadah ialah dua raka'at sebelum ashar, dua raka'at sebelum maghrib, dan dua raka'at (lagi) sebelum isya':
Dari Abdullah bin Mughaffal bahwa Nabi saw. bersabda, "Antara setiap adzan dan iqamah ada shalat, antara setiap adzan dan iqamah ada shalat," Kemudian Beliau bersabda, "bagi siapa saja yang menghendaki." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 110 no: 627, Muslim I: 573 no: 838, ‘Aunul Ma'bud IV: 162 no: 1269, Tirmidzi I: 120 no: 185, Nasa'i II: 28 dan Ibnu Majah I: 368 no: 1162).
4. Dianjurkan Melakukan Shalat Empat Rakaat Sebelum Ashar
Dari Ali r.a. ia berkata, "Adalah Nabi saw. biasa shalat empat raka'at sebelum ashar, beliau membaginya menjadi dua dengan ucapan salam kepada para malaikat yang selalu dekat dengan Allah dan kepada orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan kaum muslimin dan mukminin." (Hasan: Shahih Tirmidzi no: 353 dan Tirmidzi I:269 no:427).
Dari Ibnu Umar dari Nabi saw. bersabda, "Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada orang yang shalat empat raka'at sebelum ashar." (Hasan: Shahih Tirmidzi no:354, Tirmidzi I:270 no:428 dan ‘Aunul Ma'bud IV:149 no:1257).
5. Bacaan Ayat Al-Qur'an Nabi Saw Pada Sebagian Shalat Ini
Dari Aisyah r.a., ia berkata : Adalah Rasulullah saw. bersabda, "Dua surah yang terbaik yang dibaca pada dua raka'at qabliyah subuh ialah QUL HUWALLAHU AHAD dan QUL YAA AYYUHAL KAAFIRUUN." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:944, Shahih Ibnu Khuzaimah II: 163 no: 1114, al-Fathur Rabbani IV:225 no:987, dan Ibnu Majah I:363 no:1150).
Dan Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. pada dua raka'at qabliyah shubuh membaca QULYAA AYYUHAL KAAFIRUUN dan QUL HUWALLAAHU AHAD (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 360, Muslim I:502 no: 726, ‘Aunul Ma'bud IV: 135 no: 1243, Nasa'i II: 156, dan Ibnu Majah l: 363 no: 1148).
Dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah saw. pernah membaca pada dua raka'at qabliyah shubuh, pada raka'at pertama QUULUU AAMANNAA BILLAAHI WA MAA UNZILAILAINAA yang terdapat dalam surah al-Baqarah, dan pada raka'at kedua membaca AAMANNAA BILLAAHI WASYAHAD BI ANNAA MUSLIMUUN. (Shahih: Shahih Nasa'i no:905, Muslim I 502 no:727, Nasa'i II:155 dan ‘Aunul Ma'bud IV:137 no:1246).
Dari Ibnu Mas'ud r.a., ia berkata, "Tidak terhitung olehku berapa banyak kudengar Rasulullah selalu membaca pada dua raka'at ba'diyah maghrib dan dua raka'at qabliyah shubuh QUL YAA AYYUHAL KAAFIRUUN dan QULHUWALLAAHU AHAD." (Hasan Shahih: Shahih Tirmidzi no:355 dan Tirmidzi I:270 no:429).
6. Shalat Witir
1. Hukum dan keutamannya
Shalat witir hukumnya sunnah muakkadah, Rasulullah saw. sangat menganjurkan dan amat mendorong untuk mengerjakannya:
Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw., bersabda, "Sesungguhnya Allah itu ganjil yang mencintai (shalat) yang ganjil." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari XI:214 no:6410 dan Muslim IV:2062 no:2677).
Dari Ali r.a., ia bertutur: Sesungguhnya shalat witir tidak harus dikerjakan dan tidak (pula) seperti shalat kamu yang wajib, namun Rasulullah saw. melakukan shalat witir, lalu bersabda, "Wahai orang-orang yang cinta kepada al-Qur'an, shalat witirlah, karena sesungguhnya Allah itu ganjil yang menyenangi (shalat) ganjil." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:959, Ibnu Majah I:370 no:1169, Tirmidzi I:282 no:452, Nasa'i III:228 dan 229 dalam dua hadits dan ‘Aunul Ma'bud IV:291 no:1403 secara marfu' saja).
2. Waktu shalat witir
Shalat witir boleh dikerjakan dalam rentang waktu antara ba'da shalat isya' sampai dengan menjelang fajar shubuh. Namun yang paling afdhal pada sepertiga malam yang akhir yaitu kira-kira pukul 02.00 WIB (pent.)
Dari Aisyah r.a., . berkata, "Rasulullah saw. shalat witir setiap malam, dari awal malam, dari pertengahannya, dan dari akhir malam, lalu shalat witirnya berakhir pada waktu menjelang shubuh." (Muttafaqun ‘alaih: Muslim I:512 no:745 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari II:486 no: 996 secara ringkas, Nasa'i III:230, ‘Aunul Ma'bud IV:312 no:1422, Tirmidzi I:284 no:456 dan tambahan terakhir hanya ada pada Tirmidzi dan Abu Daud).
Dianjurkan mengerjakan shalat witir di awal waktu bagi orang orang yang khawatir tidak bangun di sepertiga malam yang akhir sebagaimana sangat dianjurkannya shalat witir di sepertiga malam yang akhir bagi mereka yang merasa yakin bisa bangun pada waktu itu.
Dari Abu Qatadah r.a., bahwa Nabi saw. bertanya kepada Abu Bakar r.a., "Kapan engkau shalat witir?" Jawabnya, "Aku shalat witir sebelum tidur (malam)." Kepada Umar beliau bertanya, "Kapan engkau shalat witir?" Jawabnya, "Saya tidur lebih dahulu, kemudian saya shalat witir." Kepada Abu Bakar beliau bersabda, "Engkau telah melaksanakan dengan hati yang teguh atau dengan mantap." Dan kepada Umar beliau bersabda, "Engkau mengerjakannya dengan sekuat tenaga." (Hasan Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 988, Shahih Ibnu Khuzaimah II: 145 no: 1084, ‘Aunul Ma'bud IV: 311 no: 1421, dan Ibnu Majah I: 379 no: 1202)
Dari Aisyah r.a., berkata, "Nabi saw. sering shalat (malam) sedangkan saya tidur melintang di tempat tidurnya. Maka apabila Rasulullah hendak shalat witir, beliau membangunkan saya, lalu saya shalat witir." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 487 no: 997 dan Muslim 1: 511 no: 744).
3. Jumlah raka'at dan sifat shalat witir:
Minimal shalat witir satu raka'at, sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat berikut:
Dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Shalatul lail dua rakaat dua raka'at, lalu apabila seorang di antara kamu khawatir tiba waktu shubuh, (maka hendaklah) ia shalat satu raka'at shalat witir sebagai penutup shalat sebelumnya." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II:477 no:990, Muslim I:516 no:749, Nasa'i 227 dan Tirmidzi I:273 no:435 sema'na dan ada tambahan).
Dari Aisyah r.a. berkata, "Rasulullah saw. tidak pernah menambah baik di bulan Ramadhan maupun lainnya melebihi sebelas raka'at. Beliau shalat empat raka'at, maka jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya, lalu shalat empat raka'at (lagi), maka janganlah kamu tanya perihal bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat (witir) tiga raka'at." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III:33 no:1147, Muslim I:509 no:738, ‘Aunul Ma'bud IV:218 no:1327 dan Tirmidzi I:274 no:437).
Darinya (Aisyah) r.a. berkata, "Adalah Rasulullah saw. biasa shalat malam tiga belas raka'at, beliau shalat witir lima raka'at bagian darinya, Beliau tidak duduk (tahiyyat), kecuali pada raka'at terakhir." (Shahih Muktashar Muslim no; 382, Muslim I: 508 no: 737'Aunul Ma'bud IV 216 no: 1324, dan TIrmidzi I: 285 no: 457 ada tambahan di akhir hadits).
Darinya (Aisyah) r.a.berkata, "Kami sering menyediakan untuk beliau siwak dan air wudhu'nya, kemudian Allah membangunkannya sesuai dengan kehendak-Nya membangunkan beliau di malam hari. Kemudian (setelah bangun) Rasulullah bersiwak dan berwudhu', lalu shalat sembilan raka'at tanpa duduk (tahiyyat), kecuali pada raka'at kedelapan. Lalu Beliau menyebut nama Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian bangkit tanpa memberi salam, berdiri untuk shalat raka'at ke sembilan, kemudian duduk (tahiyyat akhir), lalu menyebut (nama) Allah, memuji Nya dan berdo'a kepada-Nya, kemudian mengucapkan salam sampai terdengar oleh karni. Kemudian setelah memberi salam, beliau shalat (lagi) dengan duduk dua raka'at. Maka kesemua itu berjumlah ke sebelas raka'at, hai Ananda. Kemudian tatkala Nabiyullah saw. sudah tua dan sangat gemuk, Beliau shalat witir tujuh raka'at kemudian shalat (lagi) dua raka'at seperti yang dikerjakan pertama itu, maka itu semua berjumlah sembilan, hai Ananda." (Shahih: Shahih Nasa'i no: 1510, M 1: 512 no: 746, AunulMa'bud IV: 219 no: 1328, dan Nasa'i III: 199).
4. Jika shalat witir tiga raka'at, maka bacalah surat-surat sebagai berikut:
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: "Adalah Rasulullah SAW biasa membaca pada saat witir, SABBIHISMA RABBIKAL A'LAA dan QUL YAA AYYUHAL KAAFIRUUN dan QUL HUWALLAAHU AHAD, dan setiap rakaat." (Shahih: Shahih Nasa'i no:1607, Tirmidzi I:288 no: 461, Nasa'i III: 236 ada tambahan pada awalnya).
5. Doa qunut dalam shalat witir:
Dari al-Hasan bin Ali r.a., . berkata, "Rasulullah saw. pernah mengajariku beberapa kali yang kubaca dalam shalat witir: "ALLAHUMMAHDINII FIIMAN HADAID, WA ‘AAFINII FIIMAN AAFAIT WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT WA BARIK LIIFIMA A'THAIT WAQINII SYARRA MA QADHAIT FA INNAKA TAQDHI WA LAA YUQDHAA ‘ALAIK, WA INNAHUU LA YADZILLU MAN WAALAIT TABAARAKTA RABBANA WA TA ‘AALAIT (Ya Allah, tunjukilah aku di dalam golongan orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk dan tunjukilah akan aku di dalam golongan mereka yang telah Engkau lindungi, dan jadikanlah aku di dalam orang-orang telah Engkau beri kekuasaan, dan berilah barakah kepadaku pada apa telah Engkau anugerahkan dan periharalah aku kejahatan yang telah Engkau tentukan, karena sesungguhnya Engkaulah yang berwenang menghukum dan Engkau tidak dapat dihukum, dan sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau tolong Maha Mulia Engkau, hai Rabb kami! dan Maha Tinggi)." (Shahih: Shahih Nasa'i no: 1647, ‘Aunul Ma'bud IV: 300 no 1412, Tirmidzi 1:289 no: 463, Ibnu Majahl: 372 no: 1178, Nasa'i III: 248).
Do'a qunut ini dianjurkan dibaca sebelum ruku'. Hal ini berdasar riwayat dari Ubay bin Ka'ab r.a., bahwa Rasulullah saw. membaca qunut dalam witir sebelum ruku'." (Shahih: Shahih Abu Daud no: 1266 dan ‘Aunul Ma'bud IV: 352 no: 1414).
Tidak pernah disyari'atkan membaca do'a qunut dalam shalat fardhu, kecuali qunut nazilah, yang dikerjakan dalam semua shalat wajib, sesudah bangun dan ruku'.
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. apabila ingin mendo'akan keburukan untuk seseorang, atau hendak mendo'akan kebaikan untuk orang lain. Beliau qunut setelah bangun dan ruku' (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 4655 dan Fathul Bari VIII: 226 no: 4560).
Adapun qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus, maka perbuatan itu adalah bid'ah, sebagaimana yang dijelaskan para sahabat Rasulullah saw.
Dari Abu Malik al-Asyja'i, Sa'ad bin Thaniq, ia berkata: Saya pemah bertanya kepada ayahku (Thariq), "Wahai Ayahanda, sejatinya engkau benar benar pernah shalat di belakang Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, dan di belakang Ali, di sini di Kufah kurang lebih lima tahun, apakah mereka itu berqunut pada waktu shalat shubuh?" Jawabnya, "Wahai Ananda, itu perkara yang diada-adakan." (Shahih: Irwa-ulGhalilno: 435, al-Fathur Rabbani III: 472 dan VI: 394, dan Ibnu Majah I: 393 no: 1241).
Termasuk hal yang mustahil bahwa Rasulullah saw. pada setiap shubuh, ketika berdiri i'tidal, setelah bangun dan ruku' mengucap ALLAAHUMMAH DINII FIIMAN HADAIT, WA TAWAL FIIMAN TAWALLAIT dst, dengan suara keras dan diaminkan oleh segenap sahabat hingga beliau meninggal dunia. Kemudian tidak diketahui oleh ummat, bahkan disia-siakan begitu saja oleh mayoritas ummatnya, oleh jumhur sahabatnya, bahkan oleh mereka semuanya hingga seseorang diantara mereka menyatakan "Sesungguhnya qunut di waktu shubuh itu adalah bid'ah, sebagaimana yang telah ditegaska Sa'ad bin Thariq al-Asyja'i," tulis Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad I: 271).
7. Qiyamiul Lail (Shalat Malam)
Qiyamul lail adalah sunnah yang amat sangat dianjurkan Allah da Rasul-Nya dan termasuk ciri khas orang-orang yang bertakwa kepada Allah. Dia menegaskan, "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang selalu berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian." (Adz-Dzaariyat: 15-19).
Dari Abu Malik al-Asy'ari r.a. dan Nabi saw. bersabda, "Sesungguhnya di dalam surga terdapat banyak kamar yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalamnya dan bagian dalamnya dapat dilihat dan bagian luarnya yang Allah persiapkan untuk orang yang memberi makan (orang miskin), yang bertutur kata dengan lemah lembut, yang tekun berpuasa (sunnah), dan yang rajin shalat malam di saat orang-orang pada tidur nyenyak." (Hasan: Shahihul Jami'us Shaghir: 2123).
1. Tujuannya lebih ditekankan lagi bila dalam bulan Ramadhan:
Dari Abu Hurairah r.a., berkata, Rasulullah sangat menganjurkan qiyamu ramadhan, tanpa memerintah dengan keras (tanpa mewajibkannya), yaitu beliau bersabda, "Barangsiapa melaksanakan qiyamu ramadhan karena (dorongan) iman dan mengharapkan pahala di sisi Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (Muttafaqun ‘alaih: Muslim I: 523 no: 174 dan 759 Fathul Bari IV: 250 no: 2009 secara marfu' saja, ‘Aunul Ma'hud IV: 245 no: 1358, Tirmidzi 11: 151 no: 805, dan Nasa'i IV: 156).
2. Jumlah raka'atnya:
Minimal satu raka'at, dan maksimal sebelas raka'at, berdasarkan riwayat berikut:
Dari Aisyah r.a. berkata, "Rasulullah saw. tidak pernah menambah, baik di dalam Ramadhan maupun di bulan lainnya, atas sebelas raka'at." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III:33 no:1147, Muslim I:509 no:738, ‘Aunul Ma'bud IV:218 no:1327, Tirmidzi I:274 no:437).
Teks arabnya sudah temaktub dalam pembahasan jumlah raka'at shalat witir, beberapa halaman sebelumnya (pent.)
3. Qiyamu Ramadhan disyari'atkan dikerjakan secara berjama'ah.
Dari Aisyah, bahwa Rasulullah saw. pada suatu malam shalat di masjid, lalu banyak sahabat yang meniru shalat beliau, kemudian pada malam kedua beliau shalat (lagi) dan sahabat semakin banyak, kemudian pada malam ketiga atau keempat para sahabat sudah berkumpul (di masjid), namun Rasulullah saw. tidak sudi keluar menemui mereka (di masjid). Maka tatkala waktu shubuh tiba, beliau bersabda, "Sungguh aku mengetahui apa yang kalian lakukan, tiada sesuatupun yang menghalangiku untuk keluar (shalat) kalian, melainkan aku khawatir shalat ini difardhukan atas kalian." Dan ini terjadi pada bulan Ramadhan. (Muttafaqun ‘alaih: Muslim I: 524 no: 761, Fathul Bari III: 10 no: 1129 dan ‘Aunul Ma'bud IV: 247 no: 1360).
Dari Abdurrahman bin Abdin al-Qari, bahwa ia berkata, "Pada suatu malam di bulan Ramadhan saya pemah keluar pergi bersama Umar bin Khatthab ke masjid, ternyata orang-orang terbagi berkelompok-kelompok, yaitu ada orang yang shalat sendirian ada (lagi) orang yang shalatnya diikuti oleh beberapa orang. Maka Umar berkata, ‘Aku fikir, kalau aku kumpulkan orang-orang ini di bawah satu imam, tentu lebih pantas. Kemudian ia bertekat mengumpulkan mereka dan mengangkat Ubay bin Ka'ab sebagai imam mereka. Kemnudian aku keluar (lagi) bersamanya pada malam berikutnya, di waktu orang-orang sedang shalat di bawah satu imam, kemudian Umar berkata, Sebaik-baik bid'ah ini dan orang- orang yang tertidur dan shalat ini di awal waktu (mengerjakan di akhir waktu), lebih afdhal daripada mereka yang mengerjakannya.' Sedang orang-orang mengerjakannya di awal waktu." (Shahih: Mukhtashar Bukhari no: 986, Muwaththa' Malik hal. 85 no: 247, Fathul Bari IV: 250 no: 2010).
Perkataan Umar ini bukan merupakan dalil adanya bid'ah hasanah karena Nabi saw. Bersabda, "…… (setiap bid'ah adalah kesesatan)." Lagi pula bid'ah yang dimaksud Umar adalah maknanya secara bahasa, (pent.)
4. Pada selain bulan Ramadhan dianjurkan mengerjakan qiyamul lail bersama keluarganya
Dari Sa'ad bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila seorang suami membangunkan keluarganya di malam hari, lalu mereka berdua shalat atau shalat dua raka'at dengan berjama'ah niscaya dituliskan mereka ke dalam golongan laki-laki dan perempuan yang tekun berdzikir kepada Allah." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1089, ‘Aunul Ma'bud IV: 194 no: 1295 dan Ibnu Majah I: 423 no: 1335).
5. Mengqadha qiyamul lail
Dari Aisyah r.a., berkata, "Adalah Rasulullah saw. apabila tidak shalat malam karena sakit atau lainnya, beliau shalat dua belas raka'at di siang hari." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 4756, Muslim I: 515 no 140 dan 746).
Dari Umar bin Khatthab r.a., bahwa Rasulullah bersabda saw., "Barang siapa yang lupa dan wiridnya di malam hari, atau sebagian darinya, kemudian membacanya antara shalat shubuh dengan shalat zhuhur, maka ditulis (pahala) baginya seolah-olah ia membacanya di malam hari." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1104, Muslim I: 515 no: 747, Tirmidzi 11:41 no: 578, ‘Aunul Ma'bud IV: 197 no: 1299, Nasa'i III: 259, dan Ibnu Majah 1: 426 no: 1343).
6. Makruh meninggalkan qiyamul lail bagi orang yang sudah terbiasa mengerjakannya
Dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a. . berkata, "Rasulullah pernah bersabda kepadaku, "Ya Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan, dahulunya ia bangun shalat di malam hari, kemudian ia tinggalkan shalat malam." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III: 37 no: 1152, Muslim II 814no l85dan 1159)
8. Shalat Dhuha (Shalat Awwabin)
1. Disyari'atkan shalat dhuha
Dari Abu Hurairah r.a., . berkata, kekasihku saw. berwasiat kepadaku tentang tiga perkara: (Pertama) berpuasa tiga hari pada setiap bulan, (kedua) dua raka'at shalat dhuha, dan (ketiga) agar saya shalat witir sebelum tidur malam." (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 367, Muslim I: 499 no: 721, ‘AunulMa'budlV: 310 no: 1419). 2. Keutamaannya
Dari Abu Dzar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Setiap persediaan seorang di antara kamu harus bershadaqah, maka setiap satu tasbih (Subhaanallah) adalah shadaqah, setiap satu tahmid (Alhamdulillah) adalah shadaqah, setiap satu tahlil (Laa ilaa ha illallah) shadaqah, setiap satu takbir (Allahu Akbar) adalah shadaqah, menyuruh kepada yang ma'ruf adalah shadaqah, mencegah dan yang mungkar adalah shadaqoh, dan (pahala) itu semua bisa dicukupi oleh dua raka'at yang ia kerjakan di waktu dhuha." (Shahih: Muktashar Muslim no: 364, Muslim I: 499 no: 720, ‘Aunul Ma'bud IV: 164 no: 1271).
3. Jumlah raka'atnya
Jumlah raka'atnya, minimal dua raka'at sebabagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits di atas dan maksimal delapan raka'at:
Dari Ummu Hani r.a., bahwa Nabi saw. pada saat Fathu (penaklukan kota Mekah mandi di rumahnya, lalu shalat (dhuha) delapan raka'at. (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III:51 no:1176, Muslim I:226 no:71 dan 336, ‘Aunul Ma'bud IV:170 no:1277, Tirmidzi I:295 no:472, Nasa'i :126).
4. Waktu yang paling utama
Dari Zaid bin Arqam r.a., .berkata, Rasulullah saw. pergi ke penduduk Quba di saat mereka mengerjakan shalat dhuha, lalu beliau bersabda, ‘Shalat awwabin ialah shalat yang dikerjakan apabila panasnya tanah di waktu dhuha menyengat kaki anak unta.' (Shahih: Mukhtashar Muslim no:368 dan Muslim I:516 no:144 dan 748).
9. Shalat Thahur
Shalat sunnah sesudah berwudhu' ini didasarkan pada hadits sebagai berikut
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. berkata kepada bilal ketika usai shalat shubuh, "Ya Bilal, (tolong) jelaskan kepadaku tentang amalan yang paling engkau cintai yang biasa engkau laksanakan dalam Islam? Sebab, sejatinya aku telah mendengar suara hentakan kedua sandalmu di hadapanku di surga." Bilal menjawab, "Aku tidak pernah mengamalkan amalan yang paling kusenangi, (melainkan) bahwa tidaklah aku bersuci dengan sempurna, baik malam hari maupun siang hari, kecuali pasti setelah bersuci itu aku shalat seberapa banyak yang telah ditentukan kepadaku agar aku shalat." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III: 34 no: 1149 dan Muslim IV: 1910 no: 2458).
10. Shalat Istikharah
Shalat ini dianjurkan bagi setiap orang yang hendak mengerjakan urusan penting, lalu mereka memohon kepada Allah agar memilihkan yang terbaik untuk mereka, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits di bawah ini
Dari Jabir ra, ia berkata, Nabi saw. pernah mengajarkan kami istikharah semua urusan (penting) sebagaimana beliau ajarkan kami surah Al-Qur'an, beliau bersabda, "Apabila seorang di antara kamu hendak mengerjakan suatu perkara (penting), hendaklah ia shalat dua raka'at yang bukan fardhu, kemudian ucapkanlah Allahumma, ya Allah, sesungguhnya aku minta Engkau pilihkan yang baik dengan pengetahuan-Mu, dan aku minta kekuatan kepada-Mu dengan kekuatan-Mu, dan aku minta kepada-Mu karunia-Mu yang luas, karena sesungguhnya Engkau berkuasa sedangkan aku tidak berkuasa, Engkau mengetahui sedangkan aku tidak mengetahui, dan Engkaulah yang mengetahui perkara-perkara ghaib. Ya Allah, kalau engkau mengetahui bahwa urusan ini baik bagiku, buat agamaku, kehidupanku dan buat hari kesudahanku – atau ia mengucapkan, ‘Baik dalam urusan yang dunia maupun akhirat' – maka berikanlah dia kepadaku. Jika Engkau sudah mengetahui bahwa urusan ini tidak baik bagiku buat agamaku dan penghidupanku dan hari penghabisanku – atau ia rnengucapkan, ‘Baik dalam urusan yang segera maupun yang tidak' – maka palingkanlah dia dariku dan palingkanlah aku darinya, dan tentukan kepadaku kebaikan itu, walau dimanapun adanya kemudian jadikanlah aku orang yang ridha kepada (pemberian) itu.' Kemudian menyebutkan kebutuhannya." (Shahih Shahih Ibnu Majah no 1136, Fathul Bari XI: 183: no: 6382, ‘Aunul Ma'bud 396 no: 1524, Tirmidzi l: 298no 478, Ibnu Majah I: 440 no: 1383, dan Nasa'i VI: 80).
11. Shalat Gerhana
Apabila terjadi gerhana bulan atau gerhana matahari dianjurkan berseru dengan ucapan, "ASHSHALAATU JAAMI'AH."
Dari Abdullah bin Amr r.a., katanya, "Tatkala terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah saw.., diseru, ‘ASHSHALAATU JAAMI'AH." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 533 no: 1045, Muslim II: 627 no: 910: dan Nasa'i III: 136).
Apabila nasyarakat sudah berkumpul di masjid, maka shalatlah berjama'ah dua raka'at dipimpin satu imam, sebagaimana yang diuraikan dalam hadits berikut ini
Dari Aisyah r.a., berkata, "Pernah terjadi gerhana matahari di waktu Rasulullah saw. masih hidup, maka Rasulullah saw. pergi ke masjid, lalu para sahabat berbaris (membuat shaf-shaf) di belakangnya, kemudian beliau bertakbir, lalu Rasulullah saw. membaca bacaan yang panjang, kemudian bertakbir lalu ruku' satu ruku' yang panjang, kemudian mengucapkan ‘SAMI ALLHULIMAN HAMIDAH,' kemudian berdiri, tidak sujud, lalu membaca bacaan yang panjang, tetapi kurang daripada bacaan (ayat) pertama, kemudian bertakbir, lalu ruku' yang panjang, tetapi kurang dari pada ruku' yang pertama, kemudian mengucapkan, SAMI ALLAHULIMAN HAMIDAH RABBANAA LAKAL HAMDU', kemudian beliau sujud, kemudian beliau berbuat seperti itu pada raka'at kedua hingga sempurna empat ruku' dalam empat kali sujud, dan gerhana matahari pun selesai sebelum beliau usai (dari shalat itu)." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 533 no:1046, Muslim II:619 no:3 dan 901, ‘Aunul Ma'bud IV:46 no:1168, Nasa'i III:1 30).
Khutbah Sesudah Shalat Gerhana
Disunnahkan bagi imam, apabila selesai mengucapkan salam agar berkhutbah di hadapan hadirin, yang berisi peringatan dan nasihat buat mereka serta menganjurkan mereka agar rajin beramal shalih:
Dari Aisyah r.a., bahwa Rasulullah saw. pernah shalat pada waktu gerhana rnatahari, kemudian menceritakan sifat shalat Nabi sampai salain. sedangkan matahari sudah jalan (sudah selesai gerhana itu) -kemudian beliau berkhuthah di hadapan para sahabat, lalu beliau bersabda perihal gerhana matahari dan bulan, "Sesungguhnya keduanya adalah termasuk tanda-tanda (kebesaran Allah), keduanya mengalami gerhana bukanlah karena kematian atau hidupnya (lahirnya seseorang. Oleh karena itu, kalau kamu melihat gerhana itu, maka segeralah mengerjakan shalat (gerhana)." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 533 no: 046, Muslim II: 619 no: 3 dan 901, Aunul. Ma'bud IV: 46 no: 1168, dan Nasa'i III: 130).
Dari Asma' r.a., berkata, "Sesungguhnya Nabi saw. telah menyuruh (para sahabat) memerdekakan budak pada waktu terjadi gerhana matahari." (Shahih: Mukhtashar Bukhari no: 118 dan Fathul Bari II: 543 no: 1045).
Dari Abu Musa r.a., berkata: Telah terjadi gerhana matahari, lalu Nabi berdiri, khawatir terjadi kiamat, terus berangkat ke masjid, lantas Nabi berdiri, ruku'. dan sujud yang lama, tidak pernah aku lihat sebelumnya melakukan seperti itu. Dan, Rasulullah saw. bersabda, "Tanda-tanda kebesaran Allah Dia kirimkan Allah ini, bukan karena kematian dan hidupnya seseorang, dengannya Allah hendak menakuti hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, manakala kamu melihat sesuatu dan (gerhana) itu, maka segeralah kamu menyebut ‘(nama)-Nya, berdo'a kepada-Nya, dan beristighfar kepada-Nya." (Muttafaqun Fathul Bari II: 545 no: 1059, Muslim II: 628 no: 912, dan Nasa'i III: 153).
Secara lahiriyah sabda Nabi saw., "Maka segeralah kamu. . . " ini, bernilai wajib. Sehingga hukum shalat gerhana adalah fardhu kifayah, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu ‘Awanah dalam kitab shahihnya II: 398, "Bab keterangan tentang wajibnya shalat gerhana." Kemudian dia menampilkan hadits-hadits shahih yang memerintahnya. Dan ini jelas sesuai dengan pernyataan Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya 11:38, dimana menulis, "Bab perintah mengerjakan shalat gerhana matahari dan bulan…" Dan juga menampilkan sebagian hadits-hadits shahih yang memerintahnya.
Dalam Fathul Bari II: 527, al-Hafizh lbnu Hajar menegaskan, "Jumhur ulama berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah, namun Abu ‘Awanah dalam kitab shahihnya berpendapat wajib, dan aku tidak mendapatkan ulama' selain dia yang berpendapat wajib, kecuali riwayat dan Malik yang menyamakannya dengan shalat jum'at, dan Zain bin al Munayyir meriwayatkan dan Abu Hanifah bahwa ia mewajibkannya. begitu pula telah diriwayatkan dan sebagian penulis golongan hanafiyah bahwa sbalat gerhana wajib hukumnya." (Tamamul Minnah hal. (261 dengan sedikit perubahan)
12. Shalat Istiqaa
Apabila hujan sangat lama tidak turun dan tanah menjadi gersang, maka dianjurkan kaum muslimun pergi ke tanah lapang untuk menunaikan shalat istisqa' dua raka'at dipimpin oleh seorang imam, memperbanyak do'a dan istighfar, dan memutar selendangnya yang sebelah kanan diletakkan ke sebelah kiri:
Dari Abbad bin tamim dan pamannya, Abdullah bin Zaid r.a., ia berkata, "Nabi saw. pernah pergi ke tanah lapang untuk shalat istisqa' beliau menghadap kiblat, lalu shalat dua raka'at dan membalik selendangnya." Sufyan berkata, "Telah bercerita kepadaku al-Mas'ud dan Abu Bakar dia berkata, dia menjadikan selendang sebelah kanannya pindah ke sebelah kiri." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 515 no: 1027 dan lafadz mi baginya, Muslim II: 611 no: 2 dan 894, ‘Aunul Ma'bud IV: 24 no: 1149, Tirmidzi II: 34 no: 553. dan Nasa'i III: 155 semakna).
Darinya (yaitu Abdullah bin Zaid), ia berkata, "Saya melihat Nabi saw. tatkala pergi ke tanah lapang untuk shalat istisqa' beliau palingkan punggungnya menghadap para sahabat dan menghadap kiblat sambil berdo'a, lalu beliau pindahkan selendangnya, kemudian shalat dengan kami dua raka'at dengan suara keras ketika membaca ayat." (Shahih: Shahih Abu Daud no: 1029, Fathul Bari II: 514 no: 1025, dan ini lafadz baginya, Muslim II: 611 no: 4 dan 894, namun tidak ada kalimat "Dengan suara keras ketika membaca ayat," dan ‘Aunul Ma'bud IV:26 no: 1150).
13. Sujud Tilawah
Ibnu Hazm al-Muhalla V: 105-106, mengatakan, "Di dalam al-Qur'an terdapat empat belas ayat sajdah: Pertama di penghujung surah al-A'raf: (26), kedua surah ar-Ra'd: (15), ketiga surah an-Nahi: (50), keempat surah al Israa': (109), kelima surah Maryam: (158), keenam surah al-Hajj: (18), sedang ayat 77 dan surah al-Hajj itu bukan ayat sajdah, ketujuh surah al-Furqaan (60), ke delapan surah an-Naml: (26), kesembilan surah as-Sajdah: (15), kesepuluh surah as-Shad: (24), kesebelas surah Haa Miim: (38), kedua belas surah an-Najm: 62, ketigabelas surah al-Insyiqaq: (21), dan al-'Alaq: (19)."
Nomor ayat-ayat ini penerjemah kitab dari buku Pengajaran Shalat hal.77 oleh A. Hasan, terbitan Buku Pustaka Taman Bangil.
1. Hukum sujud tilawah
Dalam halaman sama, Ibnu Hazm menegaskan, "Sujud tilawah bukan wajib namun sekedar keutamaan (anjuran) dalam shalat fardhu, dalam shalat thathawwu dan juga di luar shalat, serta ketika matahari terbit dan terbenam. Boleh menghadap kiblat dan juga boleh tidak; boleh dalam keadaaan bersuci boleh juga tidak dalam keadaan bersuci." Selesai.
Penulis juga berpendapat sunnah, bukan wajib, karena Nabi pernah membaca surah an-Najm, lalu sujud (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 553 no: 1070, Muslim I: 405 no: 576, ‘Aunul Ma'bud IV: 282 no: 1393, Nasa'i II: 160). Zaid bin Tsabit pemah membacanya (surah an- Najm) dihadapkan beliau, beliau tidak sujud." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 554 no: 1073, Muslim I: 406 no: 577, Nasa'i II: 160, ‘Aunul Ma'bud IV: 280 no: 1391 dan Tirmidzi II: 44 no: 573). Hal mi menunjukkan keboichan sujud tilawah ketika membaca ayat sajdah, sebagaimana yang telah (ditegaskan oleh Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II: 555.
Dalam Muhalla V: 11, Ibnu Hazm berkata lagi, "Adapun sujud tilawah tanpa wudhu' sebelumnya dan tidak menghadap ke arah Kiblat, sesuai dengan kemauan yang bersangkutan, adalah ia bukan shalat, padahal Rasulullah sudah menegaskan :
"Shalat malam dan siang dua dua." (Shahih : Shahih Abu Daud no: 1151, Aunul Ma'bud IV: 173 no: 1281, Tirmidzi II: 54 no: 594, Ibnu Majah I:419 no:1322 dan Nasa'i III:227.
Makna hadits ini shalat-shalat sunnah di malam hari dan siang dilakanakan dengan cara setiap dua raka'at salam (edt.)
Jadi yang kurang dari dua raka'at tidak disebut shalat, kecuali ada nash yang menegaskan bahwa ia sebagai shalat, seperti satu raka'at shalat khauf, maupun shalat witir, shalat jenazah. Sedangkan mengenai sujud tilawah sama sekali belum didapati nash yang menegaskan bahwa ia sebagai shalat." Selesai.
2. Keutamaan sujud tilawah
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila Bani Adam membaca ayat sajdah lalu sujud (tilawah), niscaya syaitan menjauh sambil menangis, dan berseru, ‘Sungguh celaka, dia diperintahkan sujud (oleh Allah) lalu sujud, maka ia berhak mendapat surga; sedang aku diperintahkan sujud namun aku durhaka, maka bagianku adalah neraka." (Shahih: Mukhtashar Muslim no:369, dan Muslim I:87 no:81).
3. Dzikir ketika sujud tilawah:
Dari Aisyah ra, ia berkata, "Adalah Rasulullah saw. sering mengucapkan ketika sujud tilawah pada waktu shalat malam, dengan ucapan: ‘SAJADA WAJHI LILLADZII KHALAQAHUU WA SYAQQA SAM'AHUU WA BASHARA HUU WA BIHAULIHII WA BIQUWWATIH (Bersujudlah wajahku kepada (Allah) yang telah menciptakannya dan membuka pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya)." (Shahih: ShahihAbu Daud no: 1255, ‘Aunul Ma'bud IV: 289 no: 1401, Tirmidzi V:47 no:577 dan Nasa'i II:222).
Dari Ali ra bahwa Nabi saw. apabila sujud (tilawah) membaca, "ALLAHUMMA LAKA SAJADTU, WA BIKA AAMANTU, WA LAKA ASLAMTU, ANTA RABBII, SAJADA WAJHII LILLADZII SYAQQA SAM'AHUU WA BASHARAHUU, TABARAKALLAAHU AHSANUL KHAALIQIIN (Ya Allah, hanya kepada-Mu aku sujud, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku berserah diri, Engkaulah Rabbku, diriku sujud kepada (Dzat) yang menyebabkan mendengar dan melihat, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta)." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 866, Muslim I: 534 no: 771, Ibnu Majah I: 335 no: 1054, Aunul Ma'bud II: 463 no: 746, dan Tirmidzi V: 149 no: 3481).
Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata, "Saya pernah disisi Nabi saw., tiba-tiba datanglah seorang sahabat kepada beliau seraya berkata, "Sesungguhnya tadi malam aku bermimpi, yaitu seakan-akan aku shalat menghadap ke sebuah batang pohon, kemudian saya membaca ayat sadjah, lalu saya sujud (tilawah), maka pohon itu pun sujud meniru sujudku. Saya dengar ia mengucapkan (dalam sujud) ALLAHUMMAH THUT ‘ANNII BIHAA WIZRAA WAKTUBLII BIHAA AJRAA, WAJ'ALHAA LII ‘IN DAKA DZUKHRAA. (Ya Allah, dengannya hapuslah dosa dariku, dengannya tulislah pahala untukku, dan jadikanlah ia sebagai simpanan di sisi-Mu untukku) . "Ibnu Abbas berkata (lagi), "Saya lihat Nabi saw. pernah membaca ayat sajdah, lalu sujud dan di dalamnya saya dengar beliau baca seperti yang disampaikan laki-laki itu tentang dzikir yang dibaca pohon itu." (Shahih : Shahih Ibnu Majah no: 865, Tirmidzi 11:46 no: 576, dan Ibnu Majah I : 334 no: 1053).
14. Sujud Syukur
Dianjurkan bagi orang yang mendapat nikmat, atau selamat dan petaka, atau pun mendapat berita yang menyenangkan agar tunduk sujud demi meneladani Nabi saw. .
Dari Abu Bakrah bahwa Nabi apabila mendapat khabar yang menyenangkan hati, segera tunduk sujud karena Allah Tabaraka Wa Ta'ala. (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 1143, Ibnu Majah I: 446 no: 1394, dan lafadz ini baginya, ‘Aunul Ma'bud VII: 462 no: 2757, Tirmidzi III: 69 no: 1626).
Adapun hukumnya sama dengan sujud tilawah.
15. Sujud Sahwi
Telah sah bahwa Nabi saw. pernah lupa dalam shalat, dan juga sah darinya bahwa Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya saya hanyalah manusia (biasa), saya bisa lupa sebagaimana kamu sekalian lupa; karena itu manakala aku lupa, ingatkan saya!" (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 2339 dan Irwa-ul Ghalil no: 339).
Nabi saw. telah mensyari'atkan kepada ummatnya sejumlah ketentuan tentang sujud sahwi, yang penulis ringkas sebagai berikut (Fiqhus Sunnah I: 190):
1. Apabila lupa duduk tasyahhud awal:
Dari Abdullah bin Buhainah r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. shalat bersama kami dua raka'at dari sebagian shalat lima waktu, kemudian beliau bangun tanpa duduk (tahiyyat awal), maka para sahabat pun berdiri mengikutinya. Tatkala Rasulullah menyelesaikan shalatnya dan kami memperhatikan ucapan salamnya, ternyata beliau bertakbir sebelum salam, lalu sujud dua kali, lantas duduk lalu memberi salam." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III: 92 no: 1224, Muslim I: 399 no: 570, Nasa'i III: 19, ‘Aunul Ma'bud III: 347 no: 1021, Tirmidzi I: 242 no: 389 dan Ibnu Majah I: 381 no: 1206).
Dari al-Mughirah bin Syu'bah, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila seorang di antara kamu bangun dari raka'at kedua, namun belum sempurna berdiri, maka hendaklah duduk (lagi); tetapi jika sudah sempurna berdirinya, maka janganlah duduk (lagi) dan hendaklah ia sujud sahwi dua kali!" (Shahih: Irwa-ul Ghalil II: 109-110, Aunul Ma'bud III: 350 no: 1023, Ibnu Majah I: 381 no: 1208).
Satu hal yang patut diperhatikan, bahwa hadits ini tidak dibedakan antara bangkit hampir berdiri sempurna lalu berdiri, dengan baru bangkit lalu duduk lagi. Dalam hadits ini hanya disebutkan bahwa manakala ingat sebelum berdiri dengan sempurna, maka duduklah, sekalipun sudah hampir sempurna berdirinya.
2. Kelebihan Raka'at (Jika ia shalat 5 raka'at)
Dari Abdullah r.a., bahwa Rasulullah saw. pernah shalat zuhur lima rakaat, lalu ditanyakan kepadanya, "Apakah shalat ini (sengaja) ditambah?" Jawab beliau, "Ada apa?" jawab Abdullah, "Engkau telah shalat lima raka'at." Maka kemudian beliau langsung sujud sahwi dua kali sesudah mengucapkan salam. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III: 93 no: 1226, Muslim I: 401 no: 91 dan 572, ‘Aunul Ma'bud III: 325 no: 1006, Tirmidzi I: 243 no: 390, Ibnu Majah I: 380 no: 1205 dan Nasa'i III: 31).
3. Kurang Raka'at:
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw. pernah shalat dua raka'at, terus salam, kemudian Dzul Yadain bertanya kepadanya, "Apakah shalat ini telah dipendekkan?, Ataukah lupa, Ya Rasulullah?" Rasulullah balik bertanya, "Apakah pertanyaan Dzul Yadain ini benar?" Maka jawab para sahabat, "Ya betul", Kemudian Rasulullah shalat dua raka'at lagi, lalu mengucapkan salam, lalu takbir, kemudian sujud (sahwi) seperti sujud biasa atau lebih panjang kemudian bangun (dan sujud kedua), duduk lalu salam). (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III: 98 nO: 1228, Muslim 1: 403 no; 573, ‘Aunul Ma'bud III: 311 no: 995, Tirmidzi I: 247 no: 397, Nasa'i III: 30 dan Ibnu Majah I: 383 no: 1214).
Dari Imran bin Hushain r.a. bahwa Rasulullah saw. shalat ashar tiga rakaat, lalu memberi salam, kemudian masuk ke dalam rumahnya. Kemudian berdirilah seorang sahabat yang biasa dipanggil al-Khirhaq yang kedua tangannya agak lebih panjang datang menemui Rasulullah saw. seraya berkata, "Ya Rasulullah saw. lalu ia menceritakan perbuatan Rasulullah itu. Maka Rasulullah keluar dengan marah sambil menghela selendangnya hingga beliau sampai datang kepada para sahabat lalu bertanya, "Benarkah pernyataan sahabat ini" Jawab mereka, "Ya, benar." Maka kemudian Beliau shalat (lagi) satu raka'at, kemudian memberi salam, lalu sujud (sahwi) dua kali, lalu mengucapkan salam (lagi). (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1001, Muslim I: 404 no: 547, ‘Aunul Ma'bud III: 323 no: 1005, Nasa'i III: 25, Ibnu Majah I: 384 no: 1215).
4. Ragu-ragu, tidak tahu berapa jumlah raka'atnya:
Dari Ibrahim dan al-Qamah bahwa Abdullah r.a. bertutur, "Rasulullah saw. telah shalat (Ibrahim berkata, "Lebih atau kurang") tatkala Rasulullah mengucapkan salam, ada seorang sahabat bertanya kepadanya, "Ya Rasulullah, apakah terjadi sesuatu pada shalat?" jawab Beliau "Apa itu?' jawab mereka, "Engkau telah shalat begini, begini." Kemudian beliau merapikan kedua kakinya dan menghadap kiblat, lalu sujud sahwi dua kali, kemudian mengucapkan salam. Setelah itu Rasulullah menghadap kami, lalu bersabda, "Bahwa sesungguhnya, kalau terjadi sesuatu dalam shalat, niscaya aku sampaikan kepada kalian, namun sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, saya (bisa) lupa sebagaimana kamu lupa. Maka dan itu, manakala saya lupa, ingatkanlah; apabila seorang diantara kamu ragu-ragu dalam shalatnya, maka pilihlah yang lebih diyakini kebenarannya, lalu sempurnakanlah shalatnya. kemudian sujudlah dua kali (sebagai sujud sahwi)." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari I: 503 no: 401, Muslim I: 4 no: 572, ‘Aunul Ma'bud III: 326 no: 1007, Nasa'i 111:31 serta Ibnu Majali 1:382 no: 1211).
Dan memilih yang lebih diyakini dengan cara sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taymiyah dalam Majmul Fatawa XXIII: 13 "Mengingat apa yang kita baca dalam shalat, sehingga kita mencoba mengingat bahwa kita telah membaca surah dalam dua raka'at, sehingga kita telah shalat dua raka'at, bukan satu raka'at dan mengingat bahwa dia telah tasyahhud awal, dengan demikian dia mengetahui bahwa dia telah shalat dua raka'at dan bukan satu raka'at dan bahwa kita telah shalat tiga raka'at bukan dua raka'at, dan kita ingat, bahwa kita telah membaca surah al-Fatihah saja pada raka'at ketiga dan keempat. Dengan demikian kita tahu bahwa kita telah shalat empat raka'at, bukan tiga raka'at. Begitulah manakala kita berusaha mencari yang lebih dekat kepada yang benar, niscaya hilanglah keragu-raguan dan ini berlaku bagi Imam atau ketika shalat sendirian."
Yaitu Abdullah Ibnu Mas'ud (edt.) Ibrahim ragu-ragu, namun yang benar adalah kelebihan raka'at sebagaimana dijelaskan Ibnul Atsir dalam Jami'ul Ushul V:541.
Manakala sudah berusaha mencari yang lebih dekat kepada yang benar, namun belum juga jelas bagi kita, maka kita pilih yang lebih meyakinkan, yaitu bilangan yang lebih sedikit, sebagaimana yang digariskan dalam hadits di bawah ini:
Dari Abu Sa'id al-Khudri r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila seorang di antara kamu syak, ragu-ragu dalam shalatnya, yaitu tidak tahu berapa raka'at yang telah dikerjakannya, tiga raka'at ataukah empat raka'at? Maka buanglah yang diragukan dan lanjutkanlah shalatnya pada apa yang diyakininya, Kemudian sujudlah dua raka'at (sujud sahwi) sebelum salam. Jika ternyata ia telah shalat lima (raka'at), maka sujud itu sebagai penggenap shalatnya; dan jika ternyata ia sudah shalat dengan sempurna empat raka'at, maka dua sujud itu untuk merendahkan syaitan." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 632, Muslim 1: 400 no: 571, ‘Aunul Ma'bud III: 330 no: 1011 dan Nasa'i III: 27).
5. Hukum sujud sahwi:
Sujud sahwi wajib hukumnya, karena ada perintah Nabi saw., sebagaimana tersebut dalam hadits di atas dan Rasulullah saw. selalu sujud sahwi setiap kali mengalami kelupaan, tak pernah absen barang sekalipun.
6. Tempat sujud sahwi:
Dalam Majmu'ul Fatawa jilid XXIII: 24, Ibnu Taimiyyah rahimahullah menulis, "Pendapat yang paling kuat yaitu yang membedakan antara kelehihan raka'at dengan kekurangan raka'at, antara syak yang disertai dengan usaha memilih mana yang lebih dekat dengan kebenaran, dengan syak yang disertai dengan keputusan memilih yang meyakinkan. Semua ini mengacu kepada nash-nash yang kuat, dan perbedaan yang terjadi padanya adalah perbedaan yang ma'qul, logis."
"Yaitu apabila terjadi kekurangan, seperti lupa tasyahhud awal, maka shalat yang dikerjakan membutuhkan penambahan (penambalan), penambalan dilakukan sebelum salam agar dengannya shala tersebut menjadi sempurna, karena sesungguhnya salam adalah penutup shalat sehingga setelah salam, yang bersangkutan boleh melakukan pekerjaan selain shalat."
"Kalau disebabkan kelebihan, misalnya kelebihan satu raka'at maka sujud sahwinya tidak boleh dimasukkan dalam dalam shalat yang jumlah raka'atnya yang sudah kelebihan ini, bahkan sujud sahwi ini dilakukan sesudah mengucapkan salam, karena sebagai pengusir/penaklukan syaitan dan kedudukannya sama dengan satu raka'at sendiri yang sebagai penambah bagi shalat yang kurang raka'atnya. Karena Nabi saw. menjadikan dua kali sujud ini sebagai satu raka'at."
Begitu juga apabila seseorang ragu-ragu sambil berusaha memilih yang lebih dekat kepada yaitu maka ia harus menyempurnakan shalatnya dan sujud sahwinya setelah salam sebagai pelecehan/ penghinaan terhada syaitan. Demikian manakala ia terlanjur mengucapkan salam padahal belum sempurna, masih kurang shalatnya, lalu ia menyempurnakannya, sedangkan ucapan salam pada akhir shalat penyempurna ini sebagai tambahan; dan sujud sahwinya dilakukan sesudah salam karena sebagai pelecehan terhadap syaitan."
Adapun apabila ia syak (ragu) dan tidak jelas baginya mana yang lebih kuat, maka di sini mungkin ia shalat empat atau pun mungkin lima raka'at, nah jika ia telah shalat lima raka'at, maka sujud sahwinya itu sebagai penggenap bagi jumlah raka'at salatnya, sehingga berarti seakan-akan ia shalat enam raka'at dan bukan lima raka'at dan sujud sahwi ini didasarkan sebelum salam.
Inilah pendapat yang kami (Ibnu Taimiyyah) pegang yang mengacu kepada semua hadits tentang sujud sahwi, tak satu hadits pun yang terabaikan, dengan berpegangan kepada qiyas yang shahih dalam menentukan permasalahan yang belum diketahui nashnya dan dalam menyamakan sesuatu yang belum ditegaskan oleh nash dengan sesuatu yang sudah ditegaskan oleh nash syar'i." selesai.
7. Sujud sahwi karena meninggalkan sebagian amalan sunnah:
Barangsiapa meninggalkan amalan sunnah karena lupa, maka dianjurkan sujud sahwi; berdasarkan hadits, Nabi saw. bersabda, "Bagi setiap kelupaan ada dua kali sujud." (Hadits Hasan: Shahih Abu Daud no: 917, ‘Aunul Ma'bud III: 357 no: 1025,dan Ibnu Majah I: 385 no: 1219).
Sujud ini sunnah hukumnya dan bukan wajib agar sesuatu yang sifatnya cabang/furu' tidak menambah pada yang sifatnya pokok/ushul.
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 225 – 259.