Bab Adzan

1.   Hukum Adzan

Adzan ialah pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat dengan lafadz tertentu (Fiqhus Sunnah 1:94), dan hukumnya wajib.

Dari Malik bin al-Huwairits bahwa Nabi saw. bersabda, "Apabila (waktu) shalat tiba, maka hendaklah salah seorang di antara kamu, mengumandangkan adzan untuk kamu dan hendaklah yang paling tua di antara kamu yang menjadi imam kamu!" (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 111 no: 631 dan Muslim I: 465 no: 674).

Rasulullah telah memerintahkan Malik bin al-Huwairits mengumandangkan adzan dan sudah kita ma'lumi bahwa sebuah perintah nilainya untuk mewajibkan. 

Dari Anas r.a.  bahwa Nabi saw. apabila memerangi suatu kaum bersama kami, beliau tidak terus menyerang bersama kami hingga shubuh, dan memperhatikan jika beliau mendengar suara adzan maka beliau menahan diri dan menyerang mereka, dan jika tidak mendengar adzan maka beliau terus menyerbu mereka. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 89 no: 610 dan ini lafadznya, dan Muslim I: 288 no: 382 semakna). 

2.   Keutamaan Adzan

Dari Mu'awiyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, "Sesungguhnya para muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya pada hari kiamat." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 6645 dan Muslim 1: 290 no: 387).

Dari Abdurrahman bin Abdillah bin Abdurrahrrian bin Abi Sha'sha'ah al Anshani al-Mazini dan bapaknya, bahwa dia mengkhabarkan kepadanya bahwa Abu Sa'id al-khudri berkata kepadanya (yaitu Abdullah), "Sesungguhnya aku melihatmu senang kepada kawanan kambing dan (hidup di) tengah padang pasir. Oleh karena itu, apabila kamu berada di tengah-tengah kawanan kambingmu atau di kampungmu, lalu kamu adzan untuk shalat, maka keraskanlah suaramu, karena sesungguhnya tidak mendengar kerasnya suara muadzin, baik jin, manusia dan sesuatu apapun, melainkan mereka akan menjadi dari  Rasulullah ." Sahih: Shahih Nasa'i no: 625, Fathul Bari II: 87 no: 609 dan Nasa'i II: 12). 

3.   Sifat Adzan

Dari Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbih, ia berkata, tatkala Rasulullah saw. telah mengambil keputusan hendak memukul naqus(lonceng), namun sebenarnya beliau tidak suka karena menyerupai kaum Nashara, maka pada waktu tidur malam aku bemimpi ada yang mengelilingiku, seorang laki-laki mengenakan dua pakaian hijau memegang lonceng lalu aku bertanya kepadanya, "Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng itu?" Jawabnya, "Apa yang akan kamu perbuat dengan lonceng ini?" Maka saya jawab, "Dengannya aku mengajak (orang-orang) untuk shalat (jama'ah)." Kemudian laki-laki itu bertanya, "Maukah aku tunjukkan kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada itu?" Saya jawab, "Ya, tentu" Kata laki-laki itu, "Ucapkanlah: ALLAAHU AKBAR ALLAA.RU AKBAR. ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR, ASYHADU ALL ILAAHA ILLALLAAH ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAAH ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULUL-LAAH, HAYYA ALASHSHALAAH HAYYA ALASHSHALAAH, HAYYA ALAL FALAAH HAYYA LAL FALAAH, ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR, LAA ILAAHA ILLALLAAH. (Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah (yang patut diibadahi) kecuali Allah, Aku bersaksi bahwa tiada Ilah (yang patut diibadahi) kecuali Allah, Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. mari mengerjakan shalat (berjama'ah), mari mengerjakan shalat (berjama'ah). Mari menuju kemenangan, mari menuju kemenangan, Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, tiada Ilah (yang patut diibadahi) selain Allah."

Abdullah bin Zaid melanjutkan ceritanya: Kemudian ia mundur tidak seberapa jauh, lalu berkata lagi, "Kemudian apabila engkau akan memulai mendirikan shalat, ucapkanlah ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR, ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAAH, HAYYA ALASHSHALAAHI HAYYA ALAL FALAAH, QADQAMATISH SHALAAH QADQAMATISH SHALAAH, ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR, LAA ILAAHA ILLALLAAH. (Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, aku bersaksi bahwa tiada Ilah (yang patut dlibadahi) kecuali Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, mari mengerjakan shalat (berjama'ah), mari menuju kemenangan. Sesungguhnya shalat akan segera ditegakkan, sesungguhnya shalat akan segera ditegakkan. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada Ilah (yang layak diibadahi) kecuali Allah)."

Kata Abdullah bin Zaid lagi: Tatkala (waktu) shubuh tiba saya datang kepada Rasulullah, lalu kukabarkan kepadanya mimpiku semalam itu. Kernudian Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya mimpi ini adalah benar, insya Allah." Lalu beliau menyuruh (kami) mengumandangkan adzan, maka Bilal bekas budak Abu Bakar mengumandangkan adzan dengan redaksi adzan itu. " (Hasan Shahih: Shahih Abu Daud no:469, al-Fathur Rabbani III: 14 no: 244, ‘Aunul Ma'bud II: 169 no: 495, Tirmidzi I: 122 no: 189 secara ringkas, dan Ibnu Majah I: 232 no: 706). 

4.   Di Anjurkan Muadzin Mengucapkan, Dua Kali Takbir Dalam Sekali Nafas

Dari Umar bin Khathab r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila muadzin mengucapkan ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR, kemudian muadzin mengucapkan, ASYHADU ALMA ILAAHA ILLALLAAH, lalu ia mengucapkan (juga), ASYHADU ALMA ILAAHA ILLALLAAI-L…, (Shahih: Shahih Abu Daud, no: 527, Muslim 1:289 no: 385 dan ‘Aunul Ma'bud 11: 228 rio: 523).

Dalam hadits di atas terkandung isyarat yang jelas bahwa muadzin mengucapkan setiap dua takbir dalam sekali nafas, dan orang yang mendengar pun menjawabnya seperti itu. (Lihat Syarhu Muslim III: 79).

5.   Dianjurkan Melakukan Tarji'

Tarji' ialah mengulangi bacaan syahadatain, dua kali pertama dengan suara pelan dan dua kali kedua dengan suara keras. (Lihat Syarhu Nawawi Muslim III: 81).

Dari Abu Mahdzurah r.a. bahwa Rasulullah pernah rnengajarinya adzan ini: ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR. ASYHADU ALLAA, ILAAHA ILLALLAAH ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAAH ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAAH, Kemudian beliau mengulangi dengan mengucapkan (lagi): ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAAH ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RAS ULULLAAH, HAYYA ALASHSHALAAH HAYYA ‘ALASHSHALAAH, HAYYA ALAL FALAKH HAYYA ‘ALAL FALAAH, ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR, LAA ILAAHA ILLALLAAH. (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 191 dan Muslim I: 287 no: 379). 

6.   Tastwiib Pada Adzan Pertama Shalat Shubuh

 (Bacaan "ASHSHALAATU KHAIRUN MINANNAUM shalat itu lebih baik daripada tidur" (pent.))

"Dari Abu Mahdzurah 4 bahwa Nabi pemah mengajaninya adzan yang di dalarnnya ada ucapan: HAYYA ALAL FALAAH HAYYA ‘ALAL FALAkH, ASHSHALAATU KHAIRUN MINANNAUM ASH-SHALAATU KHAIRUN MINANNAUM, pada azdan shubuh pertama, ALLAHHU AKBAR ALLAAHU AKBAR, LAA ILAAHA ILLALLAAH. (Shahih: Shahih Nasa'i no: 628 dan Nasa'i II: 7)

Al-Amir ash-Shan'ani dalam kitab Subulus Salam 1:120 menulis bahwa Ibnu Ruslan berkata, "Tatswib hanya disyari'atkan pada adzan pertama pada waktu menjelang shubuh, karena adzan mi untuk membangunkan orang yang masih tidur nyenyak. Sedangkan adzan kedua adalah untuk memberitahu masuknya shalat shubuh dan mengajak kaum Muslimin untuk shalat jama'ah shubuh." 

7.   Dianjurkan Adzan Pada Awal Masuknya Waxtu Shalat Dan Mendahulukan Pada Waktu Shubuh Khususnya

Dari Jabir bin Samurah, berkata, "Adalah Bilal biasa adzan dengan sempurna bila matahari bergeser ke barat, kemudian ia tidak mengumandangkan iqamah hingga Nabi saw. keluar kepadanya, maka ketika beliau telah keluar ia mengumandangkan iqamah ketika ia melihatnya." (Shahih: Shahih Abu Daud no: 503, al-Fathur Rabbani 111: 35 no: 283 dan ini lafadz: baginya, Muslim 1: 423 no: 606, Aunul Ma'bud II: 241 no: 533 semakna).

Makna LAA YAKHRUMU ialah mengucapkan lafadz-lafadz adzan dengan sempurna tidak ada yang ketinggalan. Demikian menurut Imam Syaukani dalam Nailul Authar II:31.

Dari Ibnu Umar r.a., bahwa nabi bersabda "Sesungguhnya Bilal biasa adzan di waktu malam, maka hendaklah kamu makan dan minum hingga Ibnu Ummi Makan mengumandangkan adzan." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 104 no: 622 dan Muslim II: 768 no: 38dan 1092). 

Nabi sudah menerangkan hikmah didahulukannya adzan shubuh sebelum waktunya dengan sabdanya, "Janganlah sekali-kali adzan Bilal mencegah salah seorang di antara kamu dan sahumya, karena sesungguhnya ia memberitahu -atau beliau bersabda- ia berseru di waktu malam agar orang yang biasa bangun malam di antara kamu kembali pulang (ke rumahnya) dan untuk membangunkan orang yang sedang tidur nyenyak di antara kamu." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 103 no: 621, Muslim 11: 768 no: 1093 dan ‘Aunul Ma'bud VI: 472 no: 2330). 

8.   Bacaan Ketika Mendengar Adzan Dan Iqamah

Dianjurkan bagi orang yang mendengar suara adzan dan iqamah agar mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin:

Dari Abu Sa'id bahwa Nabi saw. bersabda, "Apabila kamu mendengar panggilan (adzan). Maka ucapkanlah seperti yang diucapkan muadzin!" (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 90 no: 611, Muslim I: 288 no: 383, ‘Aunul Ma'bud II: 224 no: 518, Tirmidzi I: 134 no: 208, Ibnu Majah I: 238 no. 720 danNasa'i II: 23). 

Dari Umar bin Khatthab bahwa Rasulullah bersabda, "Apabila muadzin mengucapkan ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR, lalu seorang diantara kamu mengucapkan (juga) ALLAAHU AKBAR ALLAHU AKBAR kemudian muadzin mengucapkan AYSHADUALLAA ILAAHAILLALLAAH,' mengucapkan (juga), AYSHADU ALLAA ILAA HA ILLALLAAH" kemudian muadzin mengucapkan, ‘ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAAH ia mengucapkan (juga) "ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASUULULLAH" kemudian muadzin mengucapkan "HAYYA ALASH SHALAAH" Maka ia mengucapkan, LAA HAULAA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAH (tiada daya dan upaya. kecuali dengan pertolongan Allah)." Kemudian muadzidzin mengucapkan "HAYYA ALAL FALAAH"  ia mengucapkan, LAA HAULAA WALAA QUWWATA ILLA BILLA" kemudian muadzin mengucapkan "ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR" ia mengucapkan (juga) "ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR" kemudian muadzin mengucapkan "LAA ILAAHA ILLALLAH" ia mengucapkan "LAA ILAAHA ILLALLAH" dari lubuk hatinya. maka pasti ia masuk syurga." (Shahih: Shahih Abu Daud no: 527. Muslim 1: 289 no: 385, dan Aurnil Ma'hud. II: 228 no: 523).

Jadi, barang siapa yang seperti apa yang diucapkan muadzin, atau ketika mendengar bacaan hai'alatain (yaitu ucapan, "HAYYA ALASH SHALAH DAN HAYYA ALAL FALAAH") ia mengucapkan LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAH." Atau memadukan antara hai'alatain dengan hauqalah bacaan (LAA HAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAH) maka insya Allah ia benar.

Manakala muadzin selesai dan mengumandangkan adzan atau iqomah dan jamaah yang mendengarkannnya sudah menjawabnya, maka sesudah itu dianjurkan mengucapkan apa yang tertuang dalam dua hadits berikut ini:

Dari Abdullah bin Amr r.a. bahwa ia mendengar Nabi saw. bersabda, "Apabila kamu mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti yang diucapkannya. kemudian bershalawatlah kepadaku, karena barang siapa yang bershalawat sekali kepadaku, maka Allah membalasnya sepuluh kali kepadanya, kemudian mintalah kepada Allah untukku  wasilah, karena sungguh ia adalah kedudukan yang tinggi di syurga yang tidak patut (diraih) kecuali oleh seorang hamba dan kalangan hamba hamba Allah. Dan aku berharap akulah. Maka barang siapa yang memohon wasilah kepada Allah untukku, niscaya ia berhak mendapathan syafa'at." (Shahih: Mukhtasharu Muslim no: 198, Muslim I: 288 no: 384. ‘Aunul Ma'bud II: 225 no: 519. Tirmidzi V: 247 no: 3694, Nasa'i II: 25).

Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang ketika (usai) mendengar panggilan (adzan) mengucapkan, ALLAAHUM-MA RABBA HAADZIHID DA'WATIT TAMMAH, WASHSHALAATIL QAA-IMAH AATI MUHAMMADANIL WASIILATA WAL FADHIILAH WAB'ATSHU MAQAMAM MAHMUDANIL LADZTI WAADTAH (Ya Allah, Rabb pemilik panggilan yang sempurna dan shalat yang akan dilaksanakan diberikan kepada

Muhammad wasilah dan keutamaan, dan bangkitkanlah Beliau pada kedudukan yang terpuji yang engkau janjikan padanya). Maka ia berhak mendapatkan syafa'atku pada hari kiamat." (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 243, Fathul Bari II: 94 no: 614, ‘Aunul Ma'bud II: 231 no: 525, Tirmidzi I: 136 no: II, Nasa'i 11: 27, Ibnu Majah I: 239 no: 722).

Suatu hal yang perlu diketahui: Dianjurkan bagi setiap muslim untuk memperbanyak do'a antara adzan dengan iqamah, karena do'a pada waktu imustajab (terkabul):

Dari Anas bahwa Rasulullah bersabda, "Tidak ditolak do'a (yang dipanjatkan) antara adzan dan iqamah." (Shahih Sunnah: Abu Daud no: 489, Tirmidzi I: 137 no: 212 dan ‘Aunul Ma'bud II: 224 no: 517). 

9.   Hal-Hal Yang Dianjurkan Bagi Muadzin (Fiqhus Sunnah 1: 99)

Dianjurkan bagi muadzin untuk memiliki beberapa sifat berikut ini:

1.   Hendaknya muadzin meniatkan adzannya demi mendambakan ridha Allah. Maka dari itu, ia tidak mengambil upah dan profesinya sebagai tukang adzan.

Dari Utsman bin Abil ‘Ash berkata, "Ya Rasulullah, angkatlah aku sebagai imam kaumku!" Maka jawab beliau, "Engkau adalah imam mereka; dan jadikanlah yang paling lemah di antara mereka sebagai ukuran, dan angkatlah muadzin yang tidak mengambil upah dan adzannya." (Shahih: Shahih Abu Daud no: 497, ‘Aunul Ma'bud II: 234 no: 527, Nasa'I II: 23, dan Ibnu Majah : 236 no: 714 kalimat terakhir berasal dan Ibnu Majah).

2.   Hendaklah muadzin suci dan hadast besar dan kecil. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan hal-hal yang dianjurkan baginya berwudhu'.

3.   Hendaklah ia berdiri menghadap kiblat. Ibnu mundzir berkata sesuatu yang telah menjadi ijma' (kesempatan para ulama) bahwa berdiri ketika adzan termasuk sunnah Nabi karena suara bisa lebih keras, dan termasuk sunnah juga ketika adzan menghadap ke arah kiblat, sebab para muadzin Rasullullah mengumandangkan adzan sambil menghadap kearah kiblat.

4.   Menghadapkan wajah dan lehernya ke sebelah kanan ketika mengucapkan ‘Hayya ‘alalfalah' dan ke sebelah kiri ketika mengucapkan, ‘Hayya ‘alal falah', sebagaimana yang telah dijelaskan sebagai berikut :

Dari Abu Juhaifah ia pernah melihat Bilal beradzan, ia berkata, "Kemudian saya ikuti mulutnya ketika ke arah sini dan sini dengan adzan tersebut." ( Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 114 no: 634, Muslim I : 360 no no: 503, ‘Aunul Ma'bud II: 219no: 516, Tarmidzi I: 126 no: 197, dan Nasa'I II: 12).

(Adapun memalingkan dada ke kanan dan ke kiri ketika adzan, maka sama sekali tidak dijelaskan dalam sunnah Nabi saw. dan tidak pula disebutkan dalam hadits-hadits yang menerangkan menghadapkan leher ke sebelah kanan dan ke sebelah kiri. Selesai. Berasal dari kitab Tamamul Minnah ha.150)

5.   Memasukkan dua jari ke dalam telinganya, karena ada pernyataan Abu Juhaifah:

Saya melihat Bilal adzan dan berputar serta mengarahkan mulut ke sini dan ke sini, sedangkan dua jarinya berada ditelinganya." (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 164 dan Sunan Tirmidzi I: 126 no: 197).

6.   Mengeraskan suaranya ketika adzan, sebagaimana yang dijelaskan dalam sabda Nabi saw., "Karena sesungguhnya tidaklah akan mendengar sejauh suara muadzin, baik jin, manusia, adapun sesuatu yang lain, melainkan mereka akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat." (Shahih: Shahih Nasa'i no: 625, Fathul Bari H: 87: 609 dan Nasa'i II: 12).

(Imam Tirmidzi berkata, "Hadits ini Hasan Shahih dan sudah diamalkan oleh para ulama' mereka menganjurkan muadzin memasukkan dua jari ke dalam dua telinganya ketika adzan." selesai) 

10. Berapa Menit Jarak Antara Adzan Dengan Iqomah

Sebaiknya rentang waktu antara adzan dan iqamah disediakan kesempatan yang cukup untuk bersiap-siap shalat dan menghadirinya, karena adzan disyari'atkan untuk waktu ini. Jika tidak demikian, maka hilanglah faidah adzan. A1-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II: 106 menyebutkan, bahwa Ibnu Baththal menegaskan, tentang rentang waktu itu tidak didapati batasan jelasnya yang penting, adzan dimaksudkan untuk memastikan telah masuknya waktu shalat dan agar masyarakat berkumpul di masjid. 

11. Dilarang Keluar Dari Masjid Sesudah Adzan Di Kumandangkan

Dari Abisy Sya'tsa, ia berkata, "Kami duduk di masjid bersama Abu Hurairah r.a. lalu muadzin mengumandangkan adzan, kemudian berdirilah seorang laki-laki di dalam masjid, lalu berjalan, kemudian diperhatikan oleh Abu Hurairah sampai ia keluar dan masjid kemudian Abu Hurairah menyatakan: Adapun orang itu, sungguh ia telah berbuat durhaka kepada Abul Qasim." (Shahih Mukhtashar Muslim no: 249, Muslim I: 453 no: 655, Nasa'i II: 29, ‘Aunul Ma'bud II 240 no 532, Tirmidzi 1131 no : 204)

Menurut Imam Tirmidzi dan Imam Abu Dahud bahwa kisah ini terjadi pada waktu shalat ashar. 

12. Adzan Dan Iqamah Bagi Shalat Yang Tertinggal

Orang yang tertidur atau lupa dan shalatnya disyari'atkan juga adzan dan iqamah ketika akan shalat berdasarkan riwayat Abu Daud tentang kisah tidurnya Nabi dan para sahabatnya (hingga) terlambat shalat shubuh dalam sebuah shafar, dan Nabi saw. memerintah Bilal (yang mengumandangkan adzan) , kernudian Ia adzan dan (lalu) iqamah." (Shahih: Shahih Abu Daud no: 420 dan ‘Aunul Ma'bud II: 106 no: 432).

Jika shalat yang terlalaikan lebih dan satu shalat, maka hendaklah orang yang bersangkutan adzan sekali dan iqamah untuk masing-masing shalat, karena ada riwayat berikut ini:

Dari Ibnu Mas'ud ra ia berkata, "Sesungguhnya kaum musyrikin pernah membuat sibuk Rasulullah saw. dan empat shalat ketika perang Khandaq hingga sebagian malam berlalu sesuai dengan kehendak Allah. Kemudian Beliau menyuruh Bilal (adzan), lalu ia adzan kemudian iqamah, lantas Beliau shalat dzuhur kemudian iqamah lalu shalat ‘ashar kemudian iqamah, lalu shalat maghrib, kemudian iqamah lantas shalat isya." (Shahih: Shahih Nasa'i no: 638, Tirmidzi I: 115 no: 179 dan Nasa'i I no: 279). 

13. Syarat-Syarat Sahnya Shalat

Ada beberapa persyaratan yang ditetapkan bagi sahnya shalat, sebagai berikut :

1.   Mengetahui masuknya waktu shalat. Berdasarkan firman Allah, "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (An-Nisa': 103)

Oleh karena itu tidak sahnya shalat yang dikerjakan sebelum waktunya dan tidak pula yang dilaksanakan sesudah waktunya habis, kecuali karena ada ‘udzur/alasan. 

2.   Suci dan hadas besar dan kecil. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganrnu, sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki, dan jika kamu junub, maka mandilah." (QS. al-Ma'idah: Dan berdasarkan hadits berikut ini:

Dari Ibnu Umar bahwa Nabi bersabda, "Allah tidak menerima shalat (yang dikerjakan) tanpa bersuci (sebelumnya)." (Shahih: Mukhtasharu Muslim no: 104, Muslim I: 204 no: 224, dan Tirmidzi I: 3 no: 1)

3.   Suci pakaian, badan, dan tempat shalat. Adapun sucinya pakaian, didasarkan pada firman Allah SWT ., "Dari pakaianmu bersihkanlah!" (Al-Muddatstsir: 4)

Dan sabda Nabi saw., "Apabila seorang di antara kamu datang ke masjid, maka baliklah kedua sand ainya dan perhatilcan keduanya. Jika ia rnelihat kotoran (pada sandolnya), maka gosokkanlah pada tanah (yang bersih), kemudian shalatlah dengan keduanya!" (Shahih:Shahih Abu Daud no: 605 dan ‘Aunul Ma'bud 1: 353 no: 636)

Adapun tentang kesucian badan, didasarkan pada sabda Nabi saw. kepada Ali r.a. yang pernah bertanya kepada beliau perihal madzi:

"Berwudhu'lah dan bersihkanlah dzakarmu!" (Muttafaqun ‘alaih: Muslim I: 247 no: 303 dan Fathul Bari I: 230 no: 132 secara ringkas)

Dan Nabi saw. bersabda, kepada perempuan yang istihadhah, "Bersihkanlah darah itu itu darimu (dan) kemudian shalatlah kamu!" (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari I: 42 no: 428 dan No: 331, Muslim I: 261 no: 333, Tirmidzi 1: 82 no: 125, Ibnu Majah I: 203 no: 621 dan Nasa'i I: 184)

Adapun kesucian tempat shalat didasarkan pada sabda Beliau saw. kepada para sahabatnya pada waktu ada seorang badwi kencing di pojok masjid, "Tuangkanlah di atas kencingnya setimba air!" (Muttafaqun ‘alaih: Irwa-ul Ghalil no: 171, Fathul Bari: 323 no: 220, Nasa'i I: 48 dan 49 dengan panjang lebar, ‘Aunul Ma'bud 11:39 no: 376 dan Tirmidzi I: 99 no: 147).

Faidah (sesuatu yang perlu diketahui): Barang siapa shalat dan tidak tahu bahwa pada badan, atau pakaian, atau tempat shalatnya ada barang najis, maka shalatnya tetap sah dan tidak perlu mengulanginya. Jika ia mengetahuinya pada saat shalat, maka bila memungkinkannya untuk membersibkan ketika itu juga, misalnya najis yang menempel pada kedua sandal atau pakaian luar yang mana tanpa pakaian tersebut auratnya tetap tertutup, maka hendaklah ia bersihkan dan shalatnya tetap dilanjutkan. Jika tidak mungkin membersihkannya ketika itu, maka tetap lanjutkanlah, dan tidak usah untuk mengulanginya, berdasarkan hadits berikut ini:

Dari Abu Sai'd bahwa Nabi saw.  shalat lalu (ketika itu) melepas kedua sandalnya, maka para sahabat pun melepas sandal-sandal mereka. Kemudian tatkala beliau beranjak (dari shalatnya), Beliau bertanya,?" mengapa kalian melepas (sandalmu), maka kami pun melepasnya." Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya (Malaikat) Jibril  datang kepadaku, lalu mengabarkan kepadaku bahwa pada kedua sandalku ada kotoran. Oleh karena itu, bila seorang di antara kamu datang ke masjid, maka baliklah kedua sandalnya dan perhatikanlah keduanya! Jika ia melihat kotoran (pada keduanya), maka gosoklah pada tanah (yang bersih), kemudian shalatlah dengan keduanya!" (Aunul Ma'bud II: 353 no: 636). 

4.   Menutup aurat, karena ada firman Allah, "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap memasuki masjid." (al-A'raf: 31)

Maknanya: tutuplah auratmu, karena mereka (orang-orang jahiliyah) berkeliling di Ka'bah dengan telanjang bulat.

Dan sabda Nabi saw., "Allah tidak (akan) menerima shalat shalat perempuan yang sudah (pernah) haidh, kecuali mengenakan kerudung." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 534, ‘Aunul Ma'bud II: 345 no: 627, Tirmidzi I: 234 no: 375, dan Ibnu Majah I: 215 no: 655).

Aurat laki-laki antara pusar sampai dengan lutut, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits:

Dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya dan datuknya secara marfu (bahwa Nabi SAW bersabda), "Antara pusar dan lutut adalah aurat (bagi laki-laki)." (Hasan: Irwa'ul Ghalil no: 271 dan Daraquthni, Abmad serta Abu Daud).

Hadits marfu' ialah perkataan, atau perbuatan atau sifat yang dinisbatkan kepada Nabi saw. baik sanadnya sampai kepada beliau ataupun tidak. Lihat Taisir Musthahalul Hadits hal. 129 (pent.)

Dari Jarhad al-Aslami , ia berkata, Rasulullah pernah melewatiku dan ketika itu aku mengenakan kain burdah (sedang pahaku terlihat. Maka kemudian beliau bersabda (kepadaku),"Tutuplah pahamu, karena sesungguhnya paha itu (termasuk) aurat." (Shahih Lighairi: Irwa-ul Ghalil no: 269, Tirmidzi IV: 197, no: 2948, ‘Aunul Ma'bud XI: 52 no 3995).

burdah (kain bergaris untuk diperselimutkan pada badan. Lihat kamus al-Munawwir hal. 78 (pent.)). Untuk lebih jelasnya, masalah ini periksalah penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Kitab Tahdzibu Sunan XVII:6. 

Sedangkan orang perempuan, sekujur tubuhnya adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangannya dalam shalat, sebagaimana yang Rasulullah saw.  Tegaskan, "Perempuan (seluruhnya) adalah aurat." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 6690 dan Tirmidzi II: 319 no: 1183)

Dan sabda beliau yang lain, "Allah tidak (akan) menerima shalat wanita yang sudah (pernah) haidh, kecuali mengenakan kerudung." (Shahih: Shahih lbnu Majah no: 534, ‘Aunul Ma'bud II: 345 no: 627, Tirmidzi I: 234 no: 375 dan Ibnu Majah 1: 215 no: 655).

5.   Menghadap kiblat Allah berfirman, "Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu kearahnya." (Al-Baqarah : 150).

Di samping itu, ada sabda Nabi saw kepada orang yang shalatnya tidak beres, "Apabila engkau berdiri hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhu'mu kemudian menghadaplah ke (arah) Kiblat…" Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari XI:36 no:6251 dan Muslim I:298 no:397.

Boleh shalat tidak menghadap ke arah kiblat bila dalam situasi dan kondisi ketakutan dan dalam shalat nafilah (shalat sunnah) di atas kendaraan dalam shafarr. Allah SWT berfirman, "Jika kamu dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau kendaraan" (al-Baqarah:239).

Ibnu Umar berkata, "Mereka menghadap ke arah kiblat dan (kadang-kadang) tidak menghadap kesana." Nafi' berkata "Aku tidak melihat Ibnu Umar menyebutkan hal tersebut, kecuali (bersumber) dari Nabi SAW" (Shahih: Muwaththa' Imam Malik hal.126 no:442 dan Fathul Bari VIII: 199 no:4535). 

Dari Ibnu Umar r.a. , ia berkata, "Adalah Nabi saw. mengerjakan shalat sunnah diatas untanya sesuai dengan arah kendaraannya dan mengerjakan shalat witir di atasnya (juga), namun beliau tidak pernah shalat wajib diatasnya." (Muttafaqun ‘alaih: Muslim I: 487 no: 39 dan 700 dan Fathul Bari secara Mu'allaq II: 575 no: 1098).

Kesimpulan: Barangsiapa yang sudah berusaha menghadap ke arah Kiblat, lalu ia shalat menghadap ke arah yang diyakininya, kemuaian ternyata keliru arah, maka ia tidak usah mengulanginya.

Dari Amir bin Rabi'ah, ia berkata, "Kami pernah bersama Nabi saw. dalam satu penjalanan di malam yang gelap gulita, kemudian kami tidak tahu di mana arah kiblat, maka masing-masing di antara kami shalat sesuai dengan arah (yang diyakini masing-masing) . Tatkala pagi hari, kami ceritakan hal itu kepada Rasulullah , kemudian turunlah ayat: FA AINAMAA TUWALLUU FATSAMMA WAJHULLAH (kemana saja kamu menghadap, tatkala disitu Allah)." (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 835, Tirmidzi I: 216 no: 343, Ibnu Majah I: 326 no: 1020 sema'na dan Baihaqi II: 11).

6.   Niat, yaitu mushalli ‘orang yang shalat' hendaklah menentukan niat shalat yang hendak dilasanakannya dalam hatinya, misalnya niat shalat fardhu zhuhur, ashar, atau fiat shalat sunnah rawatib misalnya (Talkhish Shifatish Shalah oleh Syaikh al-Albani hal. 12) dan tidak disyari'atkan melafadzkan niat, karena Nabi (dan para sahabatnya) tidak pernah melafadzkannya. Apabila Nabi hendak memulai shalatnya, Beliau hanya mengucapkan "ALLAHU AKBAR" tidak mengucapkan seuatu apapun sebelumnya dan tidak melafadzkan niat sama sekali, tidak pula mengatakan "USHALLI LILLAAHI, SHALAATA KADZAA, MUSTAQBILAL QIBLATI, ARBA'A RAKA'AATIN IMAAMAN, AU MAKMUMAN (Saya shalat karena Allah, shalat…, menghadap kiblat, empat rakaat sebagai imam atau sebagai makmum)," dan tidak pula mengucapkan "ADAA-AN (pada waktu yang semestinya)," dan tidak juga mengucapkan, "QADHAA-AN" dan tidak pula mengucapkan, "FARDHAL WAQTI (fardhu pada hari itu). Dan ini adalah ‘asyru bida' (sepuluh bid'ah). Tidak pernah diriwayatkan dan Nabi dengan sanad yang shahih, tidak pula dengan sanad yang dhaif, tidak pula dengan sanad yang musnad (satu hadits yang sanadnya dari awal hingga akhir bersambung sampai kepada Nabi SAW. Lihat Taisir Mushthalahul hadits hal. 135 (pent.)) dan tidak juga mursal (satu hadits, yang sanadnya tidak menyebutkan nama sahabat, jadi dari tabi'in langsung kepada Nabi SAW. Lihat Taisir Musththalahil hadits hal. 71 (pent.)) satu lafadz pun dan kalimat ushalliini, dan tidak pernah juga diriwayatkan dan salah seorang sahabat beliau, tidak pula seorang pun dan kalangan imam mazhab yang empat rnenganggap bacaan tersebut sebagai kebaikan. Selesai. (Zaadul Ma'ad I: 51)

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 151 – 172.

Baca Juga