Islampos.com – SETELAH sebelumnya melarang umat Islam puasa di siang hari dan membatasi jamaah shalat serta melarang perempuan berjilbab, pemerintah komunis Cina semakin menjadi-jadi sikapnya terhadap umat Islam Uighur yang ada di wilayah Xinjiang.
Menambah tekanan terhadap Muslim Uighur, pihak berwenang Cina telah menempatkan bendera Cina di mihrab sebuah masjid di Cina barat. Tentu saja langkah melecehkan ini dikecam oleh aktivis dan dianggap sebagai upaya Cina untuk menekan warga Muslim agar menempatkan kesetiaan kepada Beijing daripada iman mereka.
“Mereka (pemerintah Cina) pada dasarnya mengatakan bendera Cina lebih tinggi daripada ajaran agama,” kata Ilham Tohti, advokat HAM Muslim Uighur terkemuka, mengatakan kepada Al Jazeera pada hari Rabu 18 September lalu.
“Mereka telah menempatkan bendera di tempat yang sangat sensitif di dalam masjid.”
Kontroversi ini dimulai ketika Cina menempatkan sebuah bendera Cina di atas mihrab, di wilayah otonom Xinjiang Uighur.
Dengan jutaan umat Islam berdoa sambil menghadap Makkah, Tohti mengatakan bahwa hukum dan pihak berwenang Cina menuntut Muslim Uighur untuk lebih menempatkan kesetiaan mereka kepada Beijing daripada keyakinan agama yang mereka anut.
Selain itu, ia juga mengkritik langkah tersebut yang dianggapnya sebagai upaya untuk “mencairkan lingkungan keagamaan” di kawasan itu, di mana Muslim Uighur merupakan warag minoritas yang sering mengalami penindasan karena etnis dan agama mereka.
Muslim Uighur adalah minoritas berbahasa Turki di tengan delapan juta penduduk di wilayah Xinjiang barat laut.
Xinjiang, yang oleh para aktivis disebut sebagai Turkestan Timur, telah menjadi wilayah otonom sejak tahun 1955, namun terus menjadi subyek tindakan keras besar-besaran keamanan oleh pemerintah Cina.
Kelompok-kelompok HAM menuduh pihak berwenang Cina melakukan represi agama terhadap Muslim Uighur di Xinjiang atas nama perang melawan terorisme.
Umat Islam juga menuduh pemerintah Cina berusaha menempatkan jutaan etnis Han di wilayah mereka dengan tujuan akhir adalah agar melenyapkan identitas dan budaya Muslim Uighur.
Analis mengatakan kebijakan mentransfer etnis Cina Han ke wilayah Xinjiang dalam upaya meningkatkan proporsi etnis Han di wilayah tersebut dari lima persen pada tahun 1940 menjadi lebih dari 40 persen pada saat sekarang.
Analis juga melihat pembatasan agama terbaru yang diterapkan pemerintah komunis Cina sebagai upaya dari Beijing untuk mengamankan terobosan bisnisnya di Asia Tengah.
“Mereka berharap tidak memiliki masalah karena dalam upaya mereka memperluas pengaruh, terutama di Xinjiang. Mereka khawatir tentang bahaya ini,” ujar Tohti.