Bab Khulu’ 2

Keluarga Sakinah

Hukum Khulu’ Tanpa Sebab

Jika seorang istri meng-khulu’ suaminya bukan karena kebencian atau kekhawatiran untuk tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah, maka dimakruhkan baginya melakukan hal tersebut. Namun kalau toh ia tetap melakukannya, maka khulu’-nya itu tetap sah. Demikian menurut mayoritas ulama, yang di antaranya Abu Hanifah, Tsauri, Malik, Auza’i, dan Syafi’i.

Sedangkan Imam Ahmad mengharamkannya. Di mana ia berkata, “Khulu’ adalah seperti yang terdapat pada hadits Shalah, di mana ia membenci suaminya lalu ia memberikan tebusan kepadanya. Demikian itulah khulu’.” Dan demikian itu menunjukkan bahwa khulu’ itu tidak sah kecuali dalam keadaan seperti itu. Demikian pendapat Ibnu Mundzir dan Dawud.

Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda,

“Wanita-wanita yang melakukan khulu’ dan yang bertengkar adalah wanita munafik.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Hafs dan Ahmad. Ia sebutkan itu sebagai hujjah. Dan itu menunjukkan larangan khulu’ tanpa adanya kepentingan, karena hal itu hanya akan memberikan mudharat kepada dirinya sendiri dan juga kepada suaminya. Dan mengesampingkan kemaslahatan nikah tanpa adanya kepentingan untuk itu adalah haram, berdasarkan sabda Rasulullah saw,

“Dan tidak boleh memberikan mudharat kepada diri sendiri dan juga kepada orang lain.” (Hadits hasan)

Hukum Menzhalimi Istri dengan Maksud agar Membayar Tebusan atas Dirinya

Jika seorang suami bertindak kasar, memukul, menyengsarakan, atau menolak memberikan nafkah dan gilirang, dan lain sebagainya yang semuanya itu dimaksudkan agar sang istri membayar tebusan atas dirinya, lalu istrinya itu melakukannya, maka khulu’ yang dilakukannya tersebut tidak sah, dan tebusan seperti itu sama sekali tidak dapat diterima.

Abu Hanifah berkata, “Khulu’ tersebut tetap sah, dan tebusan itu tetap berlaku, tetapi si suami berdosa dan bermaksiat karenanya.”

Tetapi jika suami memukulnya atau menolak memberikan hak-hak istrinya karena nusyuz yang dilakukan oleh istri tersebut, maka dengan demikian itu khulu’-nya boleh terus dan tidak haram karenanya.

Apakah Khulu’ itu Fasakh atau Talak?

Terdapat banyak riwayat yang diperoleh dari Imam Ahmad mengenai khulu’ ini. Dalam satu dari dua riwayat dinyatakan bahwa khulu’ itu hanya sebatas fasakh (rusak).

Pendapat kedua menyatakan bahwa khulu’ itu merupakan talak ba’in.

Lafazh Khulu’

Lafazh khulu’ itu terbagi menjadi dua, yaitu sarih dan kiasan.

Khulu’ yang sharih itu sendiri terdapat tiga lafazh, yaitu:

1. Khala’tuki (aku meng-khulu’-mu), karena hal itu sudah menjadi kebiasaan.

2. Mufadah (tebusan). Karena hal itu telah disebutkan di dalam al-Qur’an melalu firman Allah surah al-Baqarah ayat 229.

3. Fasakhtu nikahaki, karena hal itulah yang menjadi hakikat dari khulu’ itu sendiri.

Jika seorang suami mengatakan satu dari ketiga lafazh di atas tanpa disertai dengan niat talak, maka ia telah melakukan khulu’.

Dan selain ketiga lafazh di atas, misalnya, “aku bebaskan kamu,” atau “aku lepas kamu,” maka yang demikian itu disebut khulu’ dengan kiasan.

Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 365 – 371