Hak Istri atas Suami yang Meng-ila’-nya
Seorang suami yang meng-ila’ diberi tanggung sampai waktu empat bulan, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah ta’ala, dan pada selama waktu itu juga ia tidak boleh menuntut campur dari istrinya. Dan jika empat bulan itu telah berlalu, lalu istrinya melaporkannya kepada hakim, lalu hakim menghentikan ila’-nya tersebut menyuruhnya untuk fai’ah (mencampuri istrinya setelah ila’), jika ia menolak, maka sang hakim akan menyuruhnya menceraikan istrinya. Jadi, istrinya itu tidak secara otomatis tercerai dengan berlalu waktu empat bulan tersebut.
Para pembersar sahabat Rasulullah juga telah meriwayatkan hal yang mengarah kepada pengertian tersebut. Demikian juga yang dikemukakan oleh Utsman bin Affan. Ali bin Abi Thalib ra sendiri telah mengatakan, “Jika seorang suami meng-ila’ istrinya tepat selama empat bulan, maka ia harus berhenti dari ila’-nya dan selanjutnya ia harus memilih untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya. Dalam hal ini ia harus dipaksa.”
Masa berlangsungnya ila’ itu dimulai dari sejak sumpah itu keluar. Selama masa itu suami sama sekali tidak bercampur dengan istrinya. Dan jika pada saat itu mecampurinya, berarti ia telah menyegerakan hak istrinya sebelum jatuh tempo, dan dengan demikian ia telah keluar dari ila’.
Dan jika masa empat bulan itu telah berlalu, maka sang istri boleh meminta suaminya untuk mencampurinya jika suaminya itu tidak ada halangan. Jika sang istri meminta, namun suaminya meminta untuk dtangguhkan, padahal tidak ada halangan baginya, maka ia tidak boleh menangguhkannya, karena itu merupakan hak istrinya.
Pengertian Fai’ah
Kata al-fai’ah berarti jimak atau bercampur.
Ibnu Mundzir mengatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa al-fai’ah berarti hubungan badan.”
Kata al-fai’ sendiri arti asalnya adalah kembali. Dan jima’ orang yang meng-ila’ itu disebut fai’ah karena ia kembali mengerjakan apa yang pernah ditinggalkannya.
Yang Harus Dilakukan Suami Karena Fai’ah
Jika seorang suami melakukan fai’ah, maka ia harus membayar kafarat. Demikian menurut mayoritas ulama.
Dari Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah saw bersabda
“Tidakkah aku bersumpah, lalu aku melihat sesuatu yang lebih baik darinya melainkan aku mengerjakan yang lebih baik, kemudian aku membayar kafarat atas sumpahku itu.” (Muttafaqun Alaih)
Karena dengan itu ia telah melanggar sumpahnya, maka ia harus membayar kafarat, sebagaimana ia bersumpah untuk meninggalkan suatu hal yang wajib, tetapi ia mengerjakannya, maka ampunan yang diberikan kepadanya tidak menghapuskan kewajiban kafarat yang harus dibayarnya.
Kapankan Orang yang Meng-ila’ itu Boleh Dituntut untuk Mentalak
Seorang suami yang meng-ila’ istrinya jika diberikan tawaran dan diminta untuk fai’ah dan ia mampu melakukannya, tetapi ia tidak mau melakukannya, maka ia diperintahkan untuk menceraikan istrinya. Allah swt berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 229.
Seorang istri itdak mempunyai hak untuk menuntut suaminya yang meng-ila’ untuk kembali dan bercampur dengannya sebelum masa empat bulan berlalu. Dan jika masa mepat bulan telah berlalu, tetapi suaminya itu belum juga mencampurinya, maka istrinya berhak untuk mengajukan masalah itu kepada hakim yang mempunyai weweang untuk memerintahkan suaminya itu kembali (mencampurinya) atau menceraikannya. Jika ia menjatuhkan talak, maka yang berlaku adalah talak satu ba’in. Tetapi ada juga yang berpendapat lain bahwa talak itu adalah talak raj’i.
Hukum Meninggalkan Hubungan Badan Tanpa Sumpah
Jika seorang suami meninggalkan hubungan tanpa melalui sumpah, maka dengan itu tidak disebut sebagai mengila’ istri, jika ia meninggalkannya karena suatu halangan tertentu. Dan jika ia meninggalkannya dengan menimbulkan dampak buruk terhadap istrinya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, diberikan kepadanya batasan waktu, yaitu empat bulan, dan jika ia sudah mencampurinya, maka tidak ada lagi permasalahan. Dan jika tidak juga mecampuri istrinya, maka ia diberi nasihat untuk mendatangi istrinya. Dan jika ia masih juga menolaknya, maka diperintahkan kepadanya untuk menjatuhkan talak, sama seperti apa yang berlaku dalam ila’. Karena hal itu berdampak buruk terhadap istrinya, sehingga berlaku padanya hukum yang berlaku pada kasus ila’.
Kedua, tidak diberikan batasan waktu tertentu.
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 345 – 352