Hukum-hukum Seputar Pernikahan 7

Keluarga Sakinah

Hukum Pembagian Giliran di Antara Beberapa Istri

Jika seorang laki-laki menikahi dua orang wanita atau lebih, maka harus membagi giliran secara adil dan merata tanpa pilih kasih.

Dari Aisyah ra, ia berkata, Rasulullah saw membagi giliran di antara istri-istrinya secar adil dan beliau berkata,

‘Ya Allah, inilah pembagianku pada apa yag aku miliki, maka janganlah Engkau mencelaku dalam hal apa yang aku tidak miliki tetapi Engkau memilikinya.'” (Diriwayatkan oleh arba’ah, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim, tetapi di-tarjih ke-mursalan-nya oleh Tirmidzi.

Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw memberikan giliran kepada istri-istrinya secara adil, lalu apakah pemberian giliran itu wajib atau tidak?

Sebagian ulama berpendapat bahwa pembagian giliran itu tidak bersifat wajib. Yang demikian itu sesuai firman Allah dalam surah al-Ahzab ayat 51.

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda,

Barangisapa yang mempunyai dua istri, lalu ia lebih cenderung kepada salah satu dari keduanya, niscaya pada hari kiamat kelak ia akan datang dengan tubuh miring sebelah.” (Ahmad dan Arba’ah dengan sanad yang shahih).

Dan yang dimaksudkan dengan kecenderungan di sini adalah dalam hal memberikan giliran dan nafkah, bukan dalam hal cinta, karena cinta di luar kekuasaan manusia. Dan pemahaman firman-Nya, “KUllal mail (terlalu cenderung),” berarti bahwa kecenderungan yang kecil dibolehkan.

Dari Anas bin Malik ra, ia bercerita, Rasulullah saw bersabda,

“Merupakan suatu hal yang sunnah jika seorang menikahi seorang gadis, maka ia menetap i sisinya selama tujuh hari. Dan jika ia menikahi seorang janda, maka ia menetap di sisinya selama tiga hari, dan kemudian membagi gilirang.” (Muttafaqun Alaih dengan lafazh Bukhari).

Hadits di atas merupakan dalil yang menunjukkan bolehnya pengutamaan istri muda dengan waktu yang disebutkan jika suaminya itu masih tetap menjalin hubungan dengan istri tua. Dan jika sudah tidak ada hubungan lagi dengan istri tua atau istri-istrinya yang lain, maka yang demikian itu tidak berlaku baginya.

Ibnu Abil Barr mengemukakan, “Jumhur ulama sepakat bahwa itu merupakan hak bagi seorang istri yang baru dinikahi, baik dari sisi suaminya ada istri tuanya ataupun tidak.”

Perselisihan Suami Istri

Berkenaan dengan masalah ini Allah swt telah berfirman dalam surah An-Nisaa’ ayat 35.

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang bolehnya pengutusan juru damai tanpa izin dan keridhaan suami istri. Maka yang paling benar adalah pendapat yang menyatakan tidak dibolehkan pengutusan juru damai tanpa adanya keridhaan pasangan suami istri yang berselisih.

Wakil dari pihak suami tidak boleh menyatakan talak tanpa izin darinya, dan tidak boleh juga bagi wakil dari pihak istri untuk menyatakan khulu’ terhadap hartanya kecuali dengan izinnya.

Pendapat kedua, dibolehkan pengutusan dua juru damai tanpa adanya keridhaan pihak suami istri. Wakil dari pihak suami boleh menyatakan talak tanpa ada izin dan keridhaan pihak suami, dan wakil dari pihak istri pun boleh mengajukan khulu’ tanpa ada keridhaan dari pihak istri, jika kedua wakil tersebut melihat adanya kebaikan dalam keputusan tersebut. Sebagaimana yang dilakukan hakim dalam memutuskan perkara yang terjadi antara dua orang, meskipun keputusan itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kedua pihak yang berselisih. Demikian itu merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ali dan juga Imam Malik. Perlu diketahui bahwa yang mengutus dua wakil tersebut adalah hakim pengadilan. Namun demikian yang paling tepat adalah pendapat pertama.

Hukum Pengabdian Istri kepada Suaminya

Ibnu Habib bercerita, Nabi saw pernah memberikan keputusan antara Ali bin Abi Thalib dan istrinya, Fatimah ra, yaitu ketika mereka mengadu kepada beliau tentang masalah pengabdian. Maka beliau memutuskan agara Fatimah melakukan pengabdian batin, sedangkan Ali bertugas melakukan pengabdian lahir.

Lebih lanjut Ibnu Habib mengatakan, “Yang dimaksud dengan pengabdian batin adalah memasak, menyiapkan makanan, merapikan, dan menyapu rumah, menyiram, dan seluruh pekerjaan rumah.

Tiap-tiap suami istri harus melaksanakan kewajiba yang diembannya. Allah swt mewajibkan suami memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal aalah sebagai timbal balik dari pengabdian dan pelayanan biologis dari istrinya dan lain sebagainya.

Istri-istri Nabi saw merupakan teladan yang patut dijadikan idola. Mereka telah mengabdi kepada suami mereka dengan penuh ketaatan dan kesetiaan. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah saw pernah menyebut wanita sebagai tawanan, di mana beliau bersabda,

“Bertakwalah kalian dalam hal wanita, karena sesungguhnya mereka itu adalah tawanan bagi kalian.”

Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 212 – 221