Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an

Ulumul Quran

Definisi Dan Syarat-Syaratnya

Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan) atau memindahkan sesuatu dan mengalihkannya dari satu kondisi ke kondisi lain. Sementara ia sendiri tetap seperti sedia kala. Sedang secara istilah adalah seruan pembuat syari’at yang menghalangi keberlangsungan hukum seruan pembuat syari’at sebelumnya yang telah ditetapkan. Adapun nasikh (penghapus), kadang digunakan untuk menyebut Allah.

Mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapuskan. Seperti hukum iddah setahun penuh bagi wanita yang ditingggal mati suaminya. Dalam naskh, hukum yang dinaskh secara syar’I wajib ditunjukkkan oleh dalil yang menjelaskan dihilangkannya hukum secara syar’I, yang datangnya setelah khitab yang hukumnya dinaskh.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:

1) Hukum yang dimansukh adalah hukum syara’.

2) Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’I yang datang lebih kemmudian dari khitab yang hukumnya mansukh.

3) Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.

Dalil-dalil Mengenai Keberadaan Naskh

Allah swt berfirman:

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?.” (Qs. Al-Baqarah: 106)

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (Qs. An-Nahl: 101)

Proses Terjadinya Naskh Dan Pembagian Naskh

1) Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, naskh hukum iddah selama satu tahun, telah dinaskh dengan hukum iddah selama empat bulan 10 hari.

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Baqarah: 240)

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Qs. Al-Baqarah: 234)

2) Naskh Al-Qur’an dengan hadits

a. Naskh Al-Qur’an dengan hadist ahad.

Jumhur berpendapat hal ini tidak boleh, sebab Al-Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanniy, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang maklum dengan yang dugaan.

b. Naskh Al-Qur’an dengan hadits mutawatir.

Hal ini diperbolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman:

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Qs. An-Najm: 3-4)

“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Qs. An-Nahl: 44)

Sedang Imam Syafi’I, Ahli Dhahir dan Ahmad dalam riwayat yang lain menolak menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah:

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?.” (Qs. Al-Baqarah: 106)

Sedang hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-Qur’an.

3) Naskh sunnah dengan Al-Qur’an

Jumhur ulama’ membolehkannya. Seperti, masalah menghadap ke Baitul Makdis yang ditetapkan dengan sunnah dan didalam Al-Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkkannya. Kemudian dinaskh oleh Al-Qur’an dengan firman Allah:

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96], maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Al-Baqarah: 144)

Naskh yang pertama kali dalam Al-qur’an adalah naskh tentang qiblat.

4) Naskh sunnah dengan sunnah

Dalam katagori seperti ini terdapat empat bentuk. Naskh mutawatir dengan mutawatir, naskh ahad dengan ahad, naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedangkan pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh Al-Quran dengan hadits ahad, yang tidak diperbolehkan oleh jumhur.

Hikmah Adanya Naskh Dalam Al-Qur’an

1. Memelihara kepentingan hamba.

2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat manusia.

3. Cobaaan dan ujian bagi mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.

4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

Nasakh dengan Pengganti dan Tanpa Pengganti

Nasakh itu adakalanya disertai dengan badal (pengganti) dan ada pula yang tanpa badal. Nasakh dengan badal terkadang badalnya itu lebih ringan, sebanding dan terkadang pula lebih berat.

1) Nasakh tanpa badal. Misalnya penghapusan keharusan bersedekah sebelum menghadap Rasulullah sebagaimana diperintahkan dalam firman Allah surah al-Mujadilah ayat 12. Ketentuan ini dinasakh dengan firman-Nya surat al-Mujadilah ayat 13.

2) Nasakh dengan badal yang lebih ringan. Misalnya surah al-Baqarah ayat 187. Ayat ini menasakh ayat 183 surah al-Baqarah.

Karena maksud ayat 183 ini adalah agar puasa kita sesuai dengan ketentuan puasa orang-orang terdahulu; yaitu diharamkan makan, minum dan becampur dengan istri apabila mereka mengerjakan shalat petang atau telah tidur, sampai dengan malam berikutnya, sebagaimana disebutkan oleh para ahli.

3) Nasakh dengan badal yang sepadan. Misalnya penghapusan kiblat shalat menghadap ke Baitul Maqdis dengan menghadap ke Ka’bah. Sebagaimana disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 144.

4) Nasakh dengan badal yang lebih berat. Seperti penghapusan hukuman penahanan di rumah (terhadap wanita yang berzina) dalam ayat 15 surah an-Nisa’ dengan hukuman cambuk dalam surah an-Nuur ayat 2.

Syubhat-syubhat Penentuan Nasakh

Nasikh dan mansukh mempunyai contoh cukup banyak, namun para ulama dalam hal ini berbeda-beda:

1. Ada yang berlebih-lebihan, sehingga ia memasukkan ke dalam kelompok nasakh sesuatu yang sebenarnya tidak termasuk di dalamnya.

2. Ada yang berhati-hati, dengan mendasarkan masalah nasakh ini hanya pada penukilan yang shahih semata.

Sumber kekaburan tersebut bagi mereka yang berlebih-lebihan, cukup banyak. Yang terpenting di antaranya ialah:

1. Menganggap takhshish juga sebagai nasakh.

2. Menganggap bayan (penjelasan) sebagai nasakh.

3. Menganggap suatu ketentuan yang disyariatkan karena sesuatu sebab yang kemudian sebab itu hilang (dan secara otomatis ketentuan itu pun menjadi hilang) sebagai mansukh.

Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Manna’ Al-Qaththan, Mabaahits fie ‘Uluumil Qur’aan, atau Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 284 – 303.