Bab Nikah 8

Keluarga Sakinah

Beberapa Hal yang Disunnahkan dalam Pernikahan

Ada beberapa hal yang disunnahkan dalam menyelenggarakan akad nikah, di antaranya:

1. Khutbah Sebelum Akad

Disunnahkan bagi penyelenggara atau orang yang ditunjuk untuk menyampaikan khutbah sebelum akad nikah. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah saw,

“Setiap orang yang mempunyai hajat, lalu ia tidak memulainya dengan alhamdulillah (segala puji bagi Allah), maka yang demikian itu tidak berkah.

Dan disunnahkan khutbah tersebut disampaikan oleh wali atau dari keluarga mempelai laki-laki atau yang lainnya.

2. Pengumuman Nikah dengan Rebana, Pengeras Suara, atau yang Lainnya

Dari Aisyah ra, ia pernah mengantarkan pengantin seorang wanita ke rumah seorang laki-laki dari kaum Anshar, maka Rasulullah saw bersabda,

“Wahai Aisyah, apakah tidak ada permainan pada kalian, sesungguhnya kaum Anshar sangat menyenangi permainan. (HR. Bukhari)

Banyak hadits yang menunjukkan perintah mengumumkan pernikahan. Di antaranya dengan cara menabuh rebana. Hadits-hadits ini bersifat luas yang di antaranya menunjukkan disyariatkannya penabuhan rebana, karena penabuhan rebana itu lebih tepat untuk mengumumkan pernikahan, bahkan penabuhan rebana itu disunnahkan dengan syarat tidak disertai dengan hal-hal yang diharamkan, misalnya dibarengi dengan nyanyian oleh penyanyi wanita yang suaranya mengundang syahwat.

Adapun penabuhan rebana oleh kaum wanita untuk menyambut kedatangan orang yang ditunggu, ada beberapa hadits yang berkenaan dengan hal ini, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dalam kitab Shahihain, dari Aisyah ra, ia bercerita, Rasulullah saw pernah masuk ke tempatku, sedang bersamaku terdapat dua orang budak wanita yang sedang menyanyikan lagu Bu’ats (nama suatu tempat di Madinah), lalu beliau berbaring di atas permadani dan beliau memalingkan wajahnya. Kemudian Abu Bakar masuk seraya membentakku dan berkata, “Seruling syaitan ada di rumah Rasulullah saw.” Maka Rasulullah datang kepadanya dan bersabda, “Biarkan mereka berdua.” Peristiwa itu terjadi pada hari raya. Lebih lanjut beliau bersabda kepada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, setiap kaum itu mempunyai hari raya dan inilah hari raya kita.”

Hukum Merahasiakan Pernikahan

Jika dalam suatu akad nkah sudah dihadiri wali dan dua saksi, lalu mereka berusaha merahasiakan atau berpesan untuk merahasiakannya, maka yang demikian itu dimakruhkan, tetapi status pernikahannya tetap sah. Demikian menurut pendapat Abu Hanifah, Syafi’i dan Ibnu Mundzir.

Di antara mereka yang memakruhkan hal itu adalah Umar ra, Urwah, Abdullah bin Ubaidillah bin Utbah, asy-Sya’bi dan Nafi’, maula Ibnu Umar.

3. Doa untuk Kedua Mempelai

Hal ketiga yang juga disunnahkan bagi kaum muslimin berkaitan dengan pernikahan adalah mendoakan pengantin. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, al-Hakim, dan yang disetujui oleh adz-Dzahabi,

بارك الله لك و بارك عليك و جمع بينكما في خير و عافية

“Semoga Allah memberkahimu dan memberikan keberkahan kepadamu serta menyatukan kalian berdua dalam kebaikan dan kesehatan.

4. Shalat Dua Rakaat bagi Mempelai Laki-laki Setelah Mempelai Wanita Masuk Menemuinya

Perkara keempat yang sunnah dikerjakan seorang laki-laki adalah mengerjakan shalat dua rakaat setelah istrinya masuk menemuinya. Kemudian hendaklah ia mengucapkan doa seperti yang diajarkan oleh para sahabat Rasulullah, di antaranya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanadnya Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya dari Nabi saw bahwa beliau pernah bersabda,

“Jika salah seorang di antara kalian menikahi seorang perempuan atau membeli pelayan, maka hendaklah ia membaca doa, “Allahumma inni as’aluka khoirohaa wa khoiro ma jabaltahaa alaihi wa a’uudzubika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa alaihi.” (‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang telah Engkau adakan padanya, dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan kejahatan yang Engkau adakan padanya.)”

5. Walimah

Rasulullah saw bersabda kepada Abdurrahman bin Auf

“Adakanlah walimah meski hanya dengan menyembelih seekor kambing.(Muttafaqun Alaih)

Al-Azhari mengemukakan, kata al-walimah itu diambil dari kata aulama yang merupakan jamak, karena adanya dua orang yang sedang bertemu.”

Hukum Walimah

Ada sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Syaikh dan Thabrani dari hadits Abu Hurairah ra, sebagai hadits marfu’,

“Walimah itu merupakan hak sekaligus sunnah. Barangsiapa yang diundang menghadirinya lalu ia tidak menghadirinya, berarti ia telah berbuat maksiat.”

Yang Boleh Dikerjakan dalam Walimah

Al-Qadhi Iyadh mengemukakan, dan para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan maksimum maupun minimum untuk acara walimah, meski hanya diadakan dengan yang paling sederhana sekalipun, maka yang demikian itu dibolehkan. Yang disunnahkan bahwa acara itu diadakan sesuai dengan keadaan suami.

Hukum Menghadiri Walimah

Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,

“Jika salah seorang di antara kalian diundang menghadiri walimah, maka hendaklah ia menghadirinya.(Muttafaqun Alaih)

Imam Al-Baghawi menyebutkan, para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban menghadiri undangan walimatul ursy (resepsi pernikahan). Sebagian mereka berpendapat bahwa menghadirinya merupakan suatu hal yang sunnah. Sedangkan ulama lainnya mewajibkannya sampai pada batas jika seseorang tidak menghadirinya tanpa alasan yang dibenarkan, maka ia telah berdosa. Hal itu berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulllah saw bersabda,

“Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, di mana orang yang mau mendatanginya dilarang mengambilnya, sedang orang yang diundang menolaknya. Dan barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim)

Imam al-Baghawi mengemukakan, “Yang wajib dan ditekankan dalam pemenuhan undangan ini adalah menghadiri undangan, sedangkan mmakan hidangan yang disediakan bukan merupakan suatu yang diwajibkan, tetapi hanya sebatas disunnahkan jika tidak sedang berpuasa.

Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 117 – 139.