Hukum Isteri yang Tidak Sesuai dengan yang Disyaratkan Suami
Jika seorang suami mensyaratkan, bahwa isterinya harus muslimah, kemudian mendapatkan isterinya kafir, maka bagi suami tersebut mempunyai hak pilih, karena yang demikian dianggap sebagai kekurangan, atau bahkan mudharat yang akan berakibat buruk kepada anak-anaknya.
Dan jika ia mensyaratkan perawan, lalu mendapatkan seorang janda, maka mengenai hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak ada hak pilih bagi suami tersebut, karena nikah itu tidak dapat dibatalkan dengan alasan suatu aib kecuali delapan aib yang sudah ditetapkan.
Kedua, suami memiliki hak pilih karena ia sudah mensyaratkan kriteria tertentu dan ternyata mendapatkan hal yang tidak sesuai dengan yang disyaratkan, maka kepadanya diberikan hak pilih.
Hal yang sama juga berlaku jika ia mensyaratkan wanita yang berketurunan baik, dan mendapatkan kebalikannya. Atau mensyaratkan hal-hal lain yang semisal.
Beberapa Lafadz Akad Nikah
Akad nikah itu dilakukan dengan menggunakan lafadz ijab dan qabul. Keduanya telah disebutkan melalui nash al-Qur’an, yaitu dalam firman Allah surat al-Ahzab ayat 37.
Syafi’i berkata, “Akad nikah itu tidak sah sehingga wali itu mengatakan kepadanya, “Zawwajtuka ibnati (aku nikahkan kamu dengan puteriku).” Lalu si pengantin laki-laki menjawab, “qabiltu hadzat tazwij (aku terima nikah ini).” Karena, kedua lafazh itu merupakan rukun akad nikah. Akad nikah tidak berlaku tanpa melafazhkan keduanya.
Dalam salah satu pendapatnya, Imam Syafi’i mengungkapkan, “Suatu akad nikah belum sah sehingga pengantin laki-laki mengatakan, ‘Aku terima nikah atau perkawinan ini.'”
Menurut ulama lainnya, akad nikah itu tidak sah kecuali dengan lafazh nikah atau kawin. Demikian dikemukakan Sa’id bin Musayyab, Atha’, az-Zuhri, Rabi’ah, Safi’i dan Ahmad.
Sedangkan hadits telah diriwayatkan dengan beberapa lafazh yang semuanya melalui jalan yang shahih, di antaranya lafazh: zawwajtukaha (aku nikahkan kamu dengannya), ankahtukaha (aku nikahkan kamu dengannya), dan zawwajnaakaha (kami nikahkan kamu dengannya).
Dalam kitab al-Fath dikatakan, “Riwayat yang menyebutkan al-inkah dan at-tazwij adalah yang lebih rajih (tepat).”
Hukum Akad Nikah dengan Tidak Menggunakan Bahasa Arab
Orang yang mampu berbahasa Arab tidak sah baginya mengucapkan akad dengan menggunakan bahasa lain. Demikian pendapat para pengikut madzhab Hanbali dan salah satu pendapat Syafi’i. Sedangkan menurut Abu Hanifah, orang itu tetap sah menggunakan bahasa selain bahasa Arab.
Dali pendapat pertama, bahwa dengan menggunakan selain bahasa Arab berarti ia telah menyimpang dari lafazh al-inkah dan at-tazwij, padahal ia mampu melafalkannya, sehingga tidak sah baginya menggunakan bahsa lain.
Hukum Akad Nikah dengan Menggunakan Bahasa Isyarat
Jika bahasa isyarat orang bisu dapat dipahami, maka sah akad nikah yang dilakukan, karena hal itu merupakan pengertian yang tidak dapat dipahami kecuali dari satu pihak saja.
Dan jika isyarat itu hanya dipahami oleh salah satu pihak saja dan tidak dipahami oleh para saksi, maka akad nikah itu tidak sah, karena saksi itu merupakan syarat nikah.
Hukum Didahulukannya Qabul atas Ijab dalam Pernikahan
Jika ucapan qabul didahulukan atas ijab, maka akad pernikahan yang diselenggarakan tidak sah.
Demikian menurut para ulama penganut madzhab Hanbali.
Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengungkapkan, “Kedua cara tersebut dibenarkan, karena dengan demikian telah terjadi ijab dan qabul, sehingga hal itu tetap diangap sah, sebagaimana jika ijab itu didahulukan.
Hukum Akad Nikah Main-main dan Nikah Paksaan
Jika suatu akad nikah dilakukan dengan main-main (bercanda), maka akad nikah itu tetap dianggap sah, karena Nabi pernah bersabda,
“Ada tiga perkara, seriusnya dianggap serius dan kelakarnya pun dianggap serius, yaitu: nikah, talak, dan rujuk.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Hukum Adanya Tenggang Waktu Antara Ijab dan Qabul
Jika qabul diakhirkan beberapa saat setelah ijab, maka akad tersebut tetap sah selama kedua mempelai masih berada di tempat dan belum meninggalkannya karena kesibukan lain, karena salah satu syarat dalam akad adalah keterlibatan seluruh pelakunya.
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 108 – 117.