Tentang Mahar
Banyak hadits-hadits yang menunjukkan bahwa mahar itu tidak ditetapkan jumlah minimalnya. Segenggam tepung, cincin besi dan dua pasang sandal itu sudah cukup untuk disebut sebagai mahar. Dan berlebih-lebihan dalam mahar dimakruhkan karena yang demikian tidak banyak memberi berkah bahkan seringkali menyulitkan.
Selain itu hadits-hadits tentang masalah ini menunjukkan bahwa jika seorang wanita telah menyetujui ilmu seorang laki-laki dan hapalan seluruh atau sebagian Al-Qur’an sebagai mahar, maka yang demikian diperbolehkan. Al-Qur’an dan ilmu yang bermanfaat dapat dijadikan sebagai mahar dan itulah yang menjadi pilihan Ummu Sulaim.
Salah seorang pemuka Madinah, Sa’id bin Musayyab pernah menikahkan puterinya dengan mahar dua dirham. Dan hal itu sama sekali tidak dibantah oleh seorang ulama pun. Bahkan hal itu dikategorikan sebagai keutamaannya. Selain itu, Abdullah bin Auf pernah menikah dengan mahar lima dirham. Dan hal itu diakui oleh Nabi saw.
Seorang ayah juga diperbolehkan menikahkan puterinya tanpa mahar mitsil, baik puterinya itu gadis atau janda, baik masih kecil maupun sudah dewasa. Demikianlah yang dikatakan oleh Abu al-Khaththab, Malik dan para penganut madzhab Hanbali.
Umar ra pernah berkhutbah di hadapan orang-orang. Saat itu ia berkata, “Ketahuilah, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memberikan mahar kepada kaum wanita. Rasulullah saw tidak pernah memberikan mahar kepada seorang isterinya pun dan tidak pula menikahkan puterinya lebih dari dua belas uqiyah.
Khutbah tersebut dihadiri banyak sahabat, dan mereka sama sekali tidak menolaknya. Bahkan mereka sepakat bahwa seorang muslim boleh menikah dengan mahar yang sama meskipun lebih sedikit dari mahar mitsil.
Hukum Pernikahan yang Tidak Menyebutkan Mahar
Menurut para ulama secara keseluruhan, nikah itu tetap sah jika dilaksanakan tanpa menyebutkan mahar. Hal itu telah dijelaskan Allah swt dalam firman-Nya surat al-Baqarah ayat 236.
Jika si suami telah bercampur, maka isterinya itu berhak mendapatkan mahar mitsil sepenuhnya. Dan jika ia diceraikan sebelum bercampur, maka ia tidak berhak mendapatkan apa-apa kecuali hanya mut’ah saja. Mut’ah berarti suatu yang diberikan oleh suami kepada isteri yang diceraikannya sebagai penghibur selain nafkah sesuai dengan kemampuannya.
Dari Imam Ahmad terdapat riwayat lain, bahwa sang isteri berhak mendapatkan setengah dari mahar mitsil, jika bercerai sebelum bercampur.
Jika suami itu menentukan mahar untuk isterinya setelah akad nikah, lalu ia menceraikannya sebelum bercampur, maka bagi sang isteri berhak mendapatkan setengah dari mahar yang telah ditentukan, dan ia tidak mendapatkan mut’ah. Itulah pendapat Ibnu Umar, Atha’, asy-Sya’bi, an-Nakha’i, Syafi’i, Abu Ubaid dan para ulama penganut madzhab Hanbali.
Madzhab Hanbali menyebutkan bahwa mut’ah itu tidak wajib kecuali bagi wanita yang diceraikan sebelum dicampuri. Secara ringkas dapat disimpulkan:
Mut’ah itu wajib diberikan oleh setiap suami yang menceraikan isterinya sebelum bercampur dengannya.
Dalil pertama adalah keumuman nash, yaitu karena ia menduduki kedudukan setengah mahar dari suami yang menyebutkan mahar, sehingga setiap isteri berhak mendapatkan setengah mahar yang disebut dari suami yang menceraikannya.
Mut’ah itu dilihat dari keadaan suami, sehingga jumlahnya berbeda-beda.
Hukum Suami Mencampuri Isteri Sebelum Ia Memberi Sesuatu
Diperbolehkan bagi seorang suami mecampuri isterinya sebelum ia memberikan apa pun kepadanya, baik yang maharnya tidak disebut maupun yang disebutkan. Pendapat ini dikemukakan oleh Sa’id bin Musayyab, al-Hasan, an-Nakha’i, ats-Tsauri dan Syafi’i.
Dalil pendapat ini adalah hadits Uqbah bin Amir yang dinikahkan oleh Nabi saw, lalu ia mencampuri isterinya, padahal ia belum memberikan sesuatu apa pun.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, az-Zuhri, Qatadah, dan Malik, “Ia tidak boleh mencampurinya sehingga ia memberikan sesuatu kepadanya.” Az-Zuhri mengemukakan, “Sunnah yang berjalan, ia tidak boleh mecampurinya sehingga ia memberikan sesuatu kepadanya.”
Diriwayatkan Ibnu Abbas, ia bercerita, “Setelah Ali menikahi Fatimah, Rasulullah saw berkata kepadanya, ‘Berikanlah sesuatu kepadanya.’ Ali menjawab, “Aku tidak mempunyai sesuatu apapun.” Beliau berujar, “Di mana baju besi?” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
Hukum Meninggalnya Suami yang Maharnya Tidak Disebut Sebelum Bercampur
Jika salah seorang dari suami isteri meninggal dunia sebelum bercampur maka ia berhak mendapatkan warisan dan sang isteri berhak mendapatkan mahar sepenuhnya. Demikian yang benar menurut pendapat madzhab Hanbali. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Syubrumah, Ibnu Abi Laila, ats-Tsauri dan Ishak.
Diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, az-Zuhri, Rabi’ah, Malik, dan al-Auza’i, “Tidak ada mahar baginya.”
Imam Ahmad berpendapat, “Baginya setengah dari maharnya dan bukan seluruhnya.”
Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Abdullah bin Mas’ud ra pernah memberikan keputusan untuk seorang wanita yang tidak disebutkan mahar oleh suaminya dan belum juga bercampur dengannya sampai meninggal dunia. Maka berkenaan dengan hal itu, Ibnu Mas’ud berkata, “Baginya mahar secara keseluruhan, dan ia berkewajiban menjalani iddah dan berhak mendapatkan warisan.” Kemudian Ma’qil bin Sinan al-Asyja’i berdiri dan berkata, “Rasulullah saw pernah memberikan keputusan terhadap Birwa’ binti Wasyiq seperti apa yang engkau putuskan.”
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 99 – 108.