Mengapa Mereka Menghujat?

Kedengkian orang Yahudi dan Kristen

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).’ Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120).

“Mereka tidak pernah berhenti-henti memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu murtad dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”

(Al-Baqarah: 217).

Kebencian Orang Kafir terhadap Mukmi

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan mereka berkata: ‘Kami beriman;’ dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari mereka lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): ‘Matilah kamu karena kemarahanmu itu.’ Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati.” (Ali Imran: 118-119).

“Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zhalim.” (At-Taubah: 47).

Larangan Mengikuti Orang Kafir

“Hai orang-orang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi al-kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” (Ali Imran: 100).

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allahlah pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik penolong.” (Ali Imran: 149-150).

Orang Kafir pada Hakikatnya Jahat

“Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik, (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Al-Bayyinah: 6).

Penghujat Negeri Kincir Angin

Berapa banyak orang seperti Geert Wilders yang diperluka untuk mengubah Belanda menjadi arena perang saudara “warga asli” lawan “pendatang”? Tak banyak!

Yang terang, Geert Wilders, 44 tahun, tidak sedang bicara kepada 1,3 warga muslim keturunan imigran di negerinya, manakala film “Fitna” masuk internet dan menuai protes hebat, dua pekan lalu. Terus terang dari kebanyakan para pendatang yang berkulit gelap, berambut keriting, dan berasal dari Afrika Utara, yang bergulat dengan masalah identitas dan keterpurukan ekonomi itu, ia tidak bisa berharap banyak. Wilder juga tidak tertarik menawarkan solusi yang bersahabat untuk pendatang terpinggirkan itu. Tapi dari segelintir imigran berpandangan radikal, Wilders memperoleh banyak amunisi yang kemudian disulapnya menjadi senjata politik ampuh.

Tewasnya produser film Theo van Gogh empat tahun silam di sebuah jalan di Amsterdam mengantar Wilders masuk ke dunia parlemen Belanda yang sangat berkuasa. Pembunuhan yang menggemparkan negeri Kincir Angin itu dilakukan seorang pemuda imigran muslim. Korban dihabisi dengan brutal, dan mujahid tidak menyesali perbuatannya. Masyarakat Belanda marah dan hangus hatinya melihat kejadian itu sekonyong-konyong menemukan orang muda yang tepat untuk menghadapi semua ini. Ia Geert Wilders, politikus muda bermulut tajam yang menyerukan penghentian arus imigran ke Belanda selama lima tahun sejak 2004, juga pengetatan pengawasan kontong-kantong minoritas beragama Islam.

Wilders yang beraliran ultranasionalis itu pintar menyuburkan sterotip, menanamkan sentimen anti-imigran dan anti-Islam. Film “Fitna” bikinannya sarat dengan rekaman pesawat yang menghantam menara kembar WTC di New York pada 11 September 2001, rekaman korban pengeboman di Madrid dan London, untuk menjelaskan surat Al-Anfal ayat 60. Dengan cara mempolitisasi maknanya. Wilders mengatakan, ayat ini meneror lawan Islam. Padahal, itu satu ayat Al-Qur’an yang berisi perintah untuk menggetarkan hati musuh-musuh Allah yang mengancam dengan melibatkan kesiapan dan persenjataan perang yang lengkap untuk mempertahankan eksistensi umat (deterrent effect).

“Fitna” yang berdurasi 17 menit dan diisi lima kali pembacaan ayat Al-Qur’an itu kemudian ditutup dengan kesimpulan yang merupakan seruan: Stop Islamisasi! Bela kebebasan kita!

Tentu saja Wilders tidak bicara kepada minoritas muslim, tapi kepada mayoritas kulit putih Belanda yang merasa terancam oleh kaum pendatang. Ia menggunakan kata “kita” untuk menghimpun warga asli Belanda yang bekulit putih dan tidak beragama Islam, untuk menghadapi musuh bersama: kaum imigran muslin. Di mata Wilders, selalu ada Belanda yang terpecah dan selalu ada konflik yang tak berujung: “kita” lawan “mereka”. Ia gemar mengulang penjelasan yang sederhana tentang sejarah Eropa kontemporer: “Pada tahun 1945 kita menghabisi fasisme Nazi, pada 1989 kita mengalahkan komunisme, dan sekarang kita menghadapi ideologi Islam.”

Wilder, Ketua Fraksi Partai Kebebasan (PVV) di parlemen, banyak diuntungkan oleh perkembangan ini. Ia piawai mengubah rasa takut menjadi kebencian serta merrduksi demografi Belanda menjadi “kita” dan “mereka”. Soal kampanye Wilders akan laku atau malah akan menyerang balik kredibilitasnya, itu tergantung logika dan akal sehat warga Belanda. Itu juga akan ditentukan oleh daya tahan masyarakat Belanda, termasuk masyarakat muslimnya sebagai satu satu kesatuan, dalam menghadapi gempuran retorika Geert Wilders yang memecah belah.

Orang-orang Wilders akan terus hadir. Tapi, dari pengalaman kita selama ini, ada satu resep yang mungkin bisa ditawarkan: resistensi sebagai bangsa dan senstivitas terhadap aspirasi religius orang lain. Dan yang pasti, umat Islam saat ini merupakan komoditi terlaris untuk dapat diperdagangkan bagi orang yang ingin melejit namanya. Karena, masyarakat dunia yang dikuasai Zionis dan Palangis saat ini sedang ketakutan menghadapi serangan balik umat Islam atas dosa-dosa mereka yang telah membunuh banyak jiwa yang tak bersalah, seperti di Palestina, Irak, Afghanistan, Libanon, dan Balkan.

Fitna dari Belanda

Kita hidup di sebuah zaman ketika benci bisa jadi advertensi. Jika kita teriakkan rasa muak, geram, dan tak sabar kepada sekelompok manusia dengan teriakan yang cukup keras, kita akan menarik perhatian orang ramai. Bahkan akan dapat dukungan. Itulah yang sedang dilakukan oleh Wilders. Dia tahu betul hal itu. Dalam umurnya yang ke-44 tahun, politikus Belanda ini ialah sosok yang cocok bagi zaman celaka seperti sekarang. Tiap kali ia mencaci maki orang imigran muslim yang hidup di Negeri Belanda, ia dengan segera tampak mumbul seperti balon jingga di langit Den Haag.

Dalam sebuah wawancara dengan harian De Pers pertengahan Februari 2007, inilah yang dikatakannya: “Jika orang muslim ingin hidup di Negeri Belanda, mereka harus menyobek dan membuang setengah dari isi Al-Qur’an.” Katanya pula: “Jika Muhammad hidup di sini sekarang, saya akan usul agar ia diolesi ter dan ditempeli bulu ayam sebagai ekstrimis, lalu diusir ….”

Syahdan, 15 Desember 2007, radio NOS pun mengangkat Wilders sebagai “politician of the year”. Para wartawan surat kabar yang meliput parlemen memuji kemampuannya mendominasi diskusi politik dan memperoleh publisitas, berkat ucapan-ucapan ringkasnya yang panas, dan tentu Wilders jadi tokoh publik yang mendapat tepuk tangan yang meriah. Karena, sikap kebencian kepada umat Islam menjadikan tempat yang strategis dalam percaturan kehidupan bangsa barat saat ini.

Nasib Penghujat Islam

Pada awal November 2004, sutradara film Theo van Gogh digorok dan ditikam di sebuah jalan di Amsterdam oleh seorang pemuda Islam, Muhammad Bouyeri, yang menganggap korbannya layak dibinasakan. Van Gogh, seperti Wilders, adalah penyebar kebencian yang dibalas dengan kebencian. Tak ayal, dukungan melimpah ke partai yang dipimpin Wilders. Dan ini terbukti bahwa warga Belanda yang didominasi Yahudi benar-benar sedang kebingungan menghadapi pertumbuhan penduduk umat Islam. Sebuah jajak pendapat mengindikasikan bahwa partai itu, PVV, bisa memperoleh 29 dari 150 kursi di parlemen seandainya pemilihan umum berlangsung setelah pembunuhan yang mengerikan itu.

Kini bisa diperkirakan film “Fitna” yang kontroversial ini akan membuat Wilders lebih berkibar-kibar, terutama jika benci yang ditiup-tiupkannya disambut, jika orang-orang Islam meledak, mengancam, atau berusaha membunuhnya. Wilders bahkan memperoleh sesuatu yang lebih, bila kekerasan yang terjadi dalam menyikapi film “Fitna”. Karena, film itu dibuat oleh Wilders untuk menunjukkan betapa brutalnya ajaran Islam. Dari itu, umat Islam harus bijak dan mengutamakan strategis yang jitu untuk memukul balik hujatan ini, agar Wilders dan yang lainnya tidak numpang populer dari kasus penghujatan yang mereka buat.

Saya menonton film ini di internet. Isinya repititif. Apa maunya sudah dapat diperkirakan. Dimulai dengan karikatur terkenal di Denmark, karya Kurt Westergaard penghujat Nabi saw. itu, gambar seorang berpipi tambun dengan bom di kepala sebagai sorban hitam, yang dikesankan sebagai “potret” Nabi Muhamad saw. Film ini adalah kombinasi antara petikan teks Qur’an dalam terjemahan Inggris, suara qari yang fasih membacakan ayat yang dimaksud, dan klip video tentang kekerasan dan kata-kata benci yang berkobar-kobar.

Ayat 60 dari surat Al-Anfal ditampilkan pada awal “Fitna”. Yaitu, perintah Allah agar umat Islam menghimpun kekuatan dan mendatangkan rasa takut ke hati musuh diikuti oleh potongan film dokumentar ketika pesawat terbang itu ditabrakkan ke World Trade Center New York, 11 September 2001. Kemudian, tampak pengeboman di kereta api Madrid. Setelah itu, seorang imam tak disebutkan namanya bangkit dari asap, menyatakan: “Allah berbahagia bila ada orang yang bukan muslim terbunuh.”

Pendek kata, dalam “Fitna”, Al-Qur’an adalah kitab suci yang mengajarkan kebencian yang memekik-mekik dan tidak biadab yang berdarah. Wilders sebenarnya hanya mengulang pendapatnya. Pada 8 Agustus 2007, ia menulis untuk harian De Volkskrant: Qur’an, baginya adalah “buku fasis” yang harus dilarang beredar di Negeri Belanda, seperti halnya Mein Kampf Hitler. Buku itu merangsang kebencian dan pembunuhan.

Salahkah Wilder? Tentu. Penulis resensi dalam Het Parool konon menyatakan, setelah membandingkan film itu dengan Al-Qur’an secara keseluruhan, “Saya lebih suka kitab sucinya.” Sang penulis resensi, seperti kita, dengan segera tahu, Wilder hanya memilih ayat-ayat Qur’an yagn cocok untuk proyek kebenciannya. Semua orang tahu, Al-Qur’an hanya deretan pendek petilan itu. Dan tentu saja tiap petilan punya konteks sejarahnya sendiri.

Tapi Wilders tak hanya sesat di situ. Ia juga salah di tempat yang lebih dasar, ia berasumsi bahwa ayat-ayat itulah yang memproduksi benci, amarah, dan darah. Ia tak melihat kemungkinan bahwa Al-Qaedah yang ganas, Taliban yang geram, imam-imam yang akan membakar emosional disebabkan karena prilaku orang lain yang menonjolkan kezhaliman. Hal itu dapat dilihat seperti perilaku Salman Rusdi, Kurt Westergaard, Wilders, Theo van Gogh dan lainnya.

Penghujat Negeri Prancis dan Inggris

Pada kurun sekarang, pandangan seperti itu apa boleh buat tidak mudah berakhir. Ada sejarawan yang bernama Prancis Fukuyama, penuls The End of History, yang dalam sebuah seminar di Brooking Instute meyakini ancaman serius dari elemen masyarakat Eropa yang radikal. Ada seorang Bernard Lewis, sejarawan Inggris di Universitas Princeton, Amerika, yang membayangkan Benua Eropa menjadi bagian dari dunia Arab pada penghujung abad ini. Ia melihat ini sebagai konsekuensi pertumbuhan penduduk yang tinggi di kalangan imigran keturunan Arab Eropa. Dan terkahir, berita statistik dari Vatikan yang dimuat dalam surat kabar Osservatore Romano, yang menyebut bahwa jumlah pemeluk muslim telah melampui pemeluk Katolik. Jumlah orang Islam mencapai 19,2 persen dari penduduk dunia, sedangkan orang Katolik meliputi 17,4 persen, meskipun penganut Kristen secara keseluruhan masih mayoritas dengan 33 persen.

Don Quitxote Penghina Tuhan

Atas nama kebebasan berekspresi, para intelektual, seniman, dan politikus tak kapok membakar amarah umat Islam. Geert Wilders memancing kemarahan umat Islam. Sebelumnya, ada sederet nama yang berhasil mengguncang dunia dengan kartun, film, atau fiksi ciptaan mereka yang menghujat Islam.

Bagi umat Islam, tindakan Wilders dan kawan-kawannya ini merupakan penistaan yang harus dibalas. Tapi, bagi kelompok moderat, mereka dianggap tidak lebih oportunis yang mempromosikan ketakutan dan kebencian. “Dia rada gila”, karena memberikan kesan pada sejumlah orang bahwa ia akan memerangi Islam. Ia semacam Don Quixote, yang berjuang melawan sesuatu dan menampilkan tujuan yang tak pernah terjadi, kata Ketua Dewan Nasional Maroko Mohammaed Rabbae.

Kurt Werstergaard telah menjadi sasaran kemarahan karena 12 kartun Nabi Muhammad saw. buatannya dipajang di koran Denmark, Jyllands-Posten, pada 30 September 2005. Kita, umat Islam, dilarang melukis Nabi Muhammad saw., dan kemarahan kita makin berang, karena Nabi Muhamamd yang kita kagumi digambarkan sebagai sosok teroris, yaitu dengan gambar memakai sorban berbentuk bom yang siap meledak dan berhiaskan dua kalimat syahadat dalam aksara Arab.

Gelombang protes di negara berpenduduk meyoritas muslim tak terbendung. Korban pun berjatuhan. Di Somalia seorang remaja 14 tahun ditembak mati ketika massa menyerang polisi yang menghalang-menghalangi mereka berdemo. Di Afghanistan, lima orang tewas. Koran Jyllands-Posten meminta maaf, tapi ngotot menyatakan tindakan mereka tidak melanggar hukum Denmark. Begitulah sikap negara kafir yang hanya mempermainkan umat Islam.

Ketika kemarahan mulai reda, pada 1 Februari 2006, koran Prancis, France Soir, serta Die Welt di Jerman, La Stampa di Italia, dan El Periodico di Spanyol kembali memuat kartun tadi. Di bawah tulisan, “Ya, kami berhak menggambar Tuhan,” France Soir memasang citraan Tuhan dalam agama Budha, Yahudi, Islam, dan Kristen melayang di awan. Setelah itu, masyarakat muslim di Prancis meradang terus- menerus diteror kaum kuffar.

Apakah penghujat kapok? Tidak. Koran Denmark, Jyllands-Posten, Politiken, dan Berlingske Tidende, mencetak kembali kartun sorban berhias bom karya Westergaard itu pada 13 Februari lalu. Redaktur koran itu mengatkan tak seorang pun harus merasa terancam jiwanya karena menggambar. “Kami melakukan ini untuk mendukung kebebasan berpendapat.” Lalu apakah kita masih menaruh harapan kepada orang kafir yang tidak mau menghormati keyakinan kita?

Sebelum umat Islam disulut emosionalnya dengan karikatur Westergaard, novelis warga negara Inggris kelahiran India, Salman Rushdie, 61 tahun, menerbitkan novel berjudul “Satanic Verses” pada tahun 1988. Dalam novel itu, dikisahkan Nabi Muhammad lewat tokoh Mahound menambahkan beberapa ayat Al-Qur’an. Tapi Mahound kemudian mencabutnya karena ayat itu hasil godaan syaitan. Ayat itulah kemudian disebut ayat-ayat setan. Narator dalam buku ini menyatan kepada para pembaca bahwa kekacauan ayat itu berasal dari mulut Malaikat Jibril.

Jagat Islam pun gempar. Radio Teheran menyiarkan fatwa pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ruhullah Khomeini, pada 14 Februari 1989. Isinya memerintahkan umat Islam membunuh Rushdie. Menurut Khomeini, buku Rushdie menghina Tuhan dan Islam.

Sejak itu, Rushdie bersembunyi. Pada Maret 1989, Iran memutuskan hubungan diplomatik dengan Inggris. Korban tewas pun berjatuhan dalam kerusuhan aksi protes di negara Muslim. Toh, Ratu Elizabeth II pada Juni 2007 memberi Rushdie gelar bangsawan kesatria. Rushdie pun bisa mencantumkan kata “Sir” di depan namanya.

Nasib Theo van Gogh lebih tragis. Kerabat pelukis abad ke-19, Vincent van Gogh, membuat film berdasarkan buku karya bekas anggota parlemen Belanda asal Somalia, Ayaan Hirsi Ali. Film berjudul “Submission” itu bercerita tentang kekerasan seksual yang dialami perempuan dalam masyarakat muslim dengan menunjukkan adegan menorehkan ayat Al-Qur’an pada tubuh perempuan setengah telanjang.

Vonis pun dijatuhkan secara sepihak kepada Muhammad Bouyeri, 26 tahun, imigran asal Maroko. Ia mencegat Theo Saat bersepeda di satu jalan sepi di Amsterdam dan membunuhnya. “Hukum mewajibkan saya memotong kepala siapa saja yang menghina Allah dan Nabi,” ujar Bouyeri dalam sidang pengadilan.

Belum surut badai protes pada Wilders, Gantian Ehsan Jami, 22 tahun menyulut api. Anggota parlemen Belanda keturunan Iran ini sedang membuat film animasi bercorak komedi berjudul “Kehidupan Muhammad”. Film ini terfokus pada malam pernikahan Nabi dengan seorang perempuan berusia sembilan tahun. Sebuah upaya mencari popularitas dengan jalan pintas.

Orang seperti Wilders akan terus hadir. Tapi, dari pengalaman kita selama ini, ada satu resep yang mungkin bisa ditawarkan: resistensi sebagai bangsa dan sensitivitas terhadap aspirasi religius orang lain. Dan yang pasti, umat Islam saat ini sedang menjadi komoditi terlaris untuk dapat diperdagangkan bagi orang yang ingin melejit namanya. Karena, masyarakat dunia Zionis dan palangis saat ini sedang ketakutan menghadapi serangan balik umat Islam atas dosa-dosa mereka yang telah membunuh banyak jiwa yang tak bersalah, seperti di Palestina, Irak, Afghanistan, Libanon, dan Balkan.

Oleh: Ust. Ahmad Salimin Dani (Disampaikan pada acara Semalam Bersama Dewan Dakwah Islamiyah Bekasi, di masjid Nurul Islam Islamic Center Bekasi, Sabtu (12/04).