Penyampaian Wahyu

Ulumul Quran

Penyampaian Wahyu Oleh Malaikat kepada Rasul

Whyu Allah kepada para Nabi-Nya itu ada kalanya adalah tanpa perantara dan ada kalanya melalui perantaraan malaikat wahyu.

Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul:

Pertama: Datang dengan suatu suara seperti suara lonceng, yaitu suara yang amat kuat yang dapat mempengaruhi kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini adalah yang paling berat bagi Rasul. Apabila Wahyu yang turun kepada Rasulullah dengan cara ini, biasanya beliau mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Terkadang suara itu seperti kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan di dalam hadits,

“Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemerincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin.(HR. Bukhari)

Kedua: Malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki. Cara seperti ini lebih ringan daripada cara sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dengan pendengar.

Kata Ibnu Khaldun, “Dalam keadaan yang pertama, Rasulullah melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang bersifat ruhani. Sedangkan dalam keadaan lain sebaliknya, malaikat berubah dari ruhani semata menjadi manusia jasmani.”

Keduanya itu tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin bahwa Al-Harits bin Hisyam betanya kepada Rasulullah mengenai hal itu. Nabi menjawab, “Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang telah dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, dan akau pun memahami apa yang dikatakan.”

Tentang hembusan ke dalam hati, telah disebutkan di dalam hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Ruh kudus telah menghembuskan ke dalam hatiku bahwa seseorang itu tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan rezeki dan ajalnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan carilah rezeki dengan jalan yang baik.”

Hadits ini tidak mennunjukkan turunnya wahyu secara tersendiri. Hal ini mungkin dapat dikembalikan kepada salah satu dari dua keadaan yang tersebut di dalam hadits Aisyah. Mungkin malaikat datang kepada beliau dalam keadaan yang menyerupai suara lonceng, lalu dihembuskannya wahyu kepadanya. Bisa jadi wahyu yang melalui hembusan itu adalah wahyu selain Al-Qur’an.

Syubhat Para Penentang Wahyu

1. Mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan wahyu, tetapi dari pribadi Muhammad. Dialah yang meciptakan maknanya, dan menyusun “bentuk gaya dan bahasanya.”

Ini adalah asumsi batil. Apabila Nabi menghendaki kekuasaan untuk dirinya sendiri dan menantang manusia dengan mukjizat-mukjizat untuk mendukung kekuasaannya, tidak perlu beliau menisbahkan semua itu kepada pihak lain. Dapat saja menisbatkan Al-Qur’an kepada dirinya langsung, karena hal itu cukup mengangkat kedudukannya dan menjadikan manusia tunduk kepada kekuasaannya. Sebab, kenyataannya semua orang Arab dengan segala kefasihan bahasanya, tidak mampu menjawab tantangan itu. Bahkan ini mungkin lebih mendorong mereka untuk menerima kekuasaannya, karena dia juga salah seorang dari mereka yang dapat mendatangkan apa yang mereka sanggupi.

2. Orang-orang jahiliyah menyangka bahwa Rasulullah mempunyai ketajaman akal, penglihatan yang dalam, firasat yang kuat, kecerdikan yang hebat kejernihan jiwa dan renungan yang benar, yang menjadikannya mampu menimbang ukuran-ukurang yang baik dan buruk, benar dan salah melalui ilham (intuisi), mengenali perkara-perkara yang rumit melalui kasyaf, sehingga Al-Qur’an itu tidak lain daripada hasil penalaran intelektual dan pemahaman yang diungkapkan oleh Muhammad dengan gaya bahasa dan retorikanya yang hebat.

Sisi berita yang merupakan bagian terbesar dalam Al-Qur’an tidak diragukan oleh orang yang berakal bahwa apa yang diterimanya hanya didasarkan pada penerimaan dan pengajaran. Hal ini tentu memberikan tempat bagi pengggunaan pikiran dengan kecermatan firasat. Padahal Muhammad sendiri tidak semasa dengan umat-umat dan peristiwa-persitiwa lainnya dengan segala macam kurun waktunya sehingga beliau dapat menyaksikan dan menyampaikan beritanya.

Kesesatan Kaum Mutakallimin

Mereka membagi Kalam Allah menjadi dua bagian; kalam nafsi yang kekal yang ada pada zat Allah, yang tidak berupa huruf, suara, tertib dan tidak pula bahsa; dan kalam lafzhi, yang diturunkan kepada para nabi, di antaranya adalah empat buah kitab. Para ahli kalam ini semakin terbenam dalam perselisihan skolastik yang mereka buat-buat; Apakah Al-Qur’an dalam pengertian kalam lafzhi, makhluk, atau bukan?

Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Manna’ Al-Qaththan, Mabaahits fie ‘Uluumil Qur’aan, atau Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 42 – 58.