Al-Qur’an

Ulumul Quran

Al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan Allah sekaligus merupakan pemecah persoalan-persoalan kemanusiaan di berbagai segi kehidupan, baik yang berkaitan dengan masalah kejiwaan, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik, dengan pemecahan yang peuh bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.

Untuk menjawab setiap problem yang ada, Al-Qur’an meletakkan dasar-dasar umum yang dapat dijadikan landasan oleh manusia, yang relevan di segala zaman. Dengan demikian, Al-Qur’an yang juga diturunkan kepada golongan jin disamping kepada manusia ini akan selalu aktual di setiap waktu dan tempat. Sebab, Islam adalah agama abadi.

Definisi Al-Qur’an

Secara bahasa “Qara’a” memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun. Qira’ah berarti merangkai huruf-huruf dan kata-kata satu dengan lainnya dalam satu ungkapan kata yang teratur. Al-Qur’an asalnya sama dengan qira’ah, yaitu akar kata (masdar-infinitif) dari qara’a, qira’atan wa qur’anan.

Adapun arti Al-Qur’an secara istilah yaitu,

كَلَامُ اللَهِ اْلمُعْجِزِ اْلمُنْزِلِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اْلمَكْتُوْبُ فِي اْلمَصَاحِفِ اْلمَنْقُوْلُ بِالتَّوَاتُرِ اْلمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَاتِهِ

“Al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat mukjizat yang diturunkan kepada Nabi saw, yang tertulis di dalam mushaf, dinukil dari padanya secara mutawatir dan dipandang beribadah dengan semata membacanya.

Kata “Kalam” mencakup seluruh jenis kalam, dan penyandarannya kepada Allah yang menjadikannya kalamullah, menunjukkan secara khusus sebagai firman-Nya, bukan kalam manusia, jin, maupun malaikat.

Kalimat “al-munazzal” (yang diturunkan), berarti tidak termasuk kalam-Nya yang sudah khusus menjadi miliknya.

Batasan dengan kata “kepada Muhammad” menunjukkan, Al-Qur’an itu tidak pernah diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya seperti Taurat dan Injil.

Adapun “al-muta’abbad bitilawatih” (membacanya adalah ibadah) mengecualikan hadits-hadits ahad dan qudsi. Jika kita katakan misalnya; ia diturunkan dari sisi Allah dengan lafazhnya–sebab itu pembacanya dianggap satu ibadah artinya membacanya di dalam shalat atau lainnya termasuk ibadah. Tidak demikian halnya dengan hadits ahad dan hadits qudsi.

Nama dan Sifat Al-Qur’an

Nama lain dari Al-Qur’an, di antaarnya; Quran ( Al Isra’: 9) dan (Al Anbiya’ :10), Furqan (Al Furqan : 1), Zikr ( Al Hijr: 9), Tanzil ( As Syuara’ : 192).

Al-Qur’an dan Al-Kitab lebih popular dari nama-nama lainnya. Dalam hal ini, Muhammad Abdullah Darraz berkata, “Dinamakan Al-Qur’an karena ia dibaca dengan lisan, dan dinamakan Al-Kitab karena ia ditulis dengan pena. Kedua nama ini menunjukkan makna yang relevan sekali dengan kenyatannya.”

Sifatnya Al-Qur’an di antaranya: Nur ( An Nisa’: 174), Huda, Syifa’, Rahmah ( yunus: 57 ), Mubin ( Al Maidah:57), Mubarak ( Al Anam: 92), Busyra ( Al Baqarah: 97), Aziz ( Fussilat: 41), Majid ( Al Buruj: 21), Basyir ( Fussilat : 3-4).

Perbedaan Antara Al-Qur’an, Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi

Secara istilah, hadits adalah apa saja yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan Nabi terhadap suatu perbuatan atau ucapan yang datang dari sahabatnya, penj.) atau sifat.

Adapun hadits qudsi secara istilah ialah suatu hadits yang oleh Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, disandarkan kepada Allah. Maksudnya, Nabi meriwayatkannya dalam posisi bahwa yang disampaikannya adalah kalam Allah. Jadi, Nabi itu adalah orang yang meriwayatkan kalam Allah, tetapi redaksi lafazhnya dari Nabi sendiri.

Perbedaan Al-Qur’an dengan Hadits Qudsi

1. Al-Qur’an merupakan mukjizat, sedang hadits qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula sebagai mukjizat.

2. Seluruh isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir, sedangkan hadits-hadits qudsi sebagian besar memiliki derajat khabar ahad.

3. Al-Qur’an dari Allah baik lafazh maupun maknanya. Adapun hadits qudsi maknanya saja dari Allah, sedang lafazh (redaksi)nya dari Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam.

4. Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah, karena itu ia dibaca di dalam shalat. Sedangkan hadits qudsi tidak diperintahkan dibaca di dalam shalat. Allah memberikan pahala membaca hadits qudsi secara umum saja.

Perbedaan Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi

Hadist Nabawi ada dua yaitu:
1) Tauqifi, kandungannya diterima Rasulullah dari Wahyu lalu beliau menjelaskan dengan kata katanya, dan kandungannya ini dinisbahkan kepada Allah sedangkan dari segi pembicaraaan dinisbatkan kepada Rasululah.

2) Taufiqi, Apa yang disimpulkan Rasulullah menurut pemahaman beliau terhadap Al Quran, bersifat ijtihadi. Seperti apa yang turun mengenai tawanan perang Badar Rasulullah mengambil pendapat Abu Bakar dengan menerima tebusan kepada mereka ( Al Anfal: 67).

Tentang hal ini muncul syubhat:

Pertanyaan: Hadits nabawi ini secara maknawi juga wahyu, lafazh pun dari Rasulullah, tetapi mengapa tidak kita namakan juga sebagai hadits qudsi?

Jawabannya ialah: Kita memastikan bahwa hadits qudsi itu maknanya diturunkan dari Allah, karena adanya nash syar’i yang menisbatkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah; Allah ta’ala telah berfirman (qaalallaah), atau Allah Ta’ala berfirma (yaquulullaah). Itu sebabnya, kita namakan hadits itu hadits qudsi. Berbeda dengan hadits-hadits nabawi, karena hadits nabawi itu tidak memuat nash seperti ini. Di samping itu, boleh jadi masing-masing isinya disampaikan melalui wahyu (yakni secara tauqifi), dan mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad (yaitu secara taufiqi). Dengan demikian, kita namakan semuanya dengan nabawi sebagai nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan nama wahyu tauqifi, tentulah hadits nabawi itu kita namakan pula hadits qudsi.

Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Manna’ Al-Qaththan, Mabaahits fie ‘Uluumil Qur’aan, atau Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 11 – 30.