Ayat 24, yaitu firman Allah ta’ala,
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni’mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (an-Nisaa’: 24)
Sebab Turunnya Ayat
Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i meriwayatkan bahwa Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Kami mendapatkan para tawanan wanita dari Authas yang mempunyai suami. Dan kami merasa tidak enak untuk menggauli mereka karena status mereka tersebut. Kami pun bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hal itu. Lalu turunlah firman Allah,
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki…”
Maksudnya, ‘Kecuali para wanita yang kalian peroleh dari berperang.’ Dengan itu mereka pun menjadi halal untuk kami gauli.” (73)
Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini turun ketika Allah menaklukkan Khaibar untuk orang-orang muslim. Ketika itu orang-orang muslim mendapatkan para wanita Ahli Kitab yang masih mempunyai suami. Ketika para wanita tersebut akan digauli, mereka berkata, ‘”Saya masih bersuami.’ Rasulullah saw. pun ditanya tentang hal itu. Lalu Allah menurunkan firman-Nya,
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki...” (74)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ma’mar bin Sulaiman bahwa ayahnya berkata, “Seorang Hadhrami mengatakan bahwa para lelaki dulu menetapkan atas dirinya untuk membayar mahar dalam jumlah tertentu. kemudian terkadang ia kesulitan untuk membayarnya. Maka turunlah firman Allah,
“…dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.“‘ (an-Nisaa’: 24)
Ayat 32, yaitu firman Allah ta’ala,
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (an-Nisaa’: 32)
Sebab Turunnya Ayat
At-Tirmidzi dan al-Hakim meriwayatkan bahwa Ummu Salamah berkata, “Para lelaki berangkat berperang, sedangkan para wanita tidak. Dan kami juga hanya mendapatkan setengah bagian dari warisan.” Maka Allah menurunkan firman-Nya,
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.“”
Dan Allah juga menurunkan pada Ummu Salamah,
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min , laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (al-Ahzaab: 35)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Pada suatu hari seorang wanita mendatangi Nabi saw.. Lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang lelaki mendapatkan bagian dua orang perempuan dan kesaksian dua orang perempuan sama dengan kesaksian satu orang lelaki. Apakah dalam amal ibadah juga nasib kami demikian? Jika seorang wanita melakukan kebajikan maka dia mendapatkan setengah pahala kebajikan?’ Maka Allah menurunkan firman-Nya,
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.…”” hingga akhir ayat.”
Ayat 33, yaitu firman Allah ta’ala,
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (an-Nisaa’: 33)
Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunannya dari jalur Ibnu Ishaq bahwa Dawud ibnul Husain berkata, “Dulu saya membacakan Al-Qur’an pada Ummu Sa’ad bintur Rabi’. Dulunya dia adalah anak yatim yang tinggal bersama Abu Bakar. Pada suatu hari saya membacakan ayat, ‘Walladziina ‘aaqadat aimaanukum…,” [dengan ‘ain ber-mad pada kata ‘aaqadat]. Dia berkata, ‘Bukan demikian, akan tetapi, ‘Walladziina ‘aqadat aimaanukum…,” [dengan ‘ain tidak ber-mad pada kata ‘aqadat]. ‘Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka,…”‘ (an-Nisaa’: 33) Ayat ini turun pada Abu Bakar dan akanya, Abdurrahman, ketika Abdurrahman tidak mau masuk Islam. Lalu Abu Bakar bersumpah bahwa dia tidak akan memberinya warisan. Maka ketika Abdurrahman masuk Islam, Abu Bakar diperintahkan untuk memberikan bagian warisan kepadanya.” (76)
Ayat 34, yaitu firman Allah ta’ala,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) . Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (an-Nisaa’: 34)
Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Hasan al-Bashri berkata, “Seorang wanita mendatangi Nabi saw. dan mengadukan kepada beliau bahwa suaminya telah menamparnya. Beliau pun bersabda, ‘Balaslah sebagai qishash-nya.‘ Lalu Allah menurunkan firman-Nya, ‘Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri),…’ Maka wanita itu kembali ke rumah, tanpa meng-qishash-nya.”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari berbagai jalur dari Hasan al-Bashri, dan di sebagian jalur disebutkan, “Pada suatu ketika seorang lelaki Anshar menampar istinya. Lalu istrinya mendatangi Nabi saw. untuk meminta kebolehan qishash. Lalu Nabi saw. menetapkan lelakinya harus di-qishash. Lalu turunlah firman Allah,
‘…Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al-Qur’an sebelum selesai diwahyukan kepadamu,...” (Thaahaa: 114)
Dan turun firman Allah,
‘Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri),…’ (an-Nisaa’: 34)
Ibnu Jarir juga meriwayatkan semisalnya dari Ibnu Juraij dan as-Suddi.
Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan bahwa Ali berkata, “Seorang lelaki dari Anshar mendatangi Nabi saw. dengan istrinya. Lalu istrinya berkata, ‘Wahai Rasulullah, suami saya ini telah memukul wajah saya hingga membekas.’ Rasulullah saw. pun bersabda, ‘Seharusnya dia tidak perlu melakukannya.‘ Lalu Allah menurunkan firman-Nya,
‘Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri),...’ (an-Nisaa’: 34)
Riwayat-riwayat ini menjadi syahid dan saling menguatkan.
Ayat 37, yaitu firman Allah ta’ala,
“(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.” (an-Nisaa’: 37)
Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Sa’id bin Jubair berkata, “Para ulama Bani Israel dulu sangat kikir untuk mengajarkan ilmu mereka. Maka Allah menurunkan firman-Nya, “(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka.'”
Ibnu Abi Jarir meriwayatkan melalui jalur Ibnu Ishaq dari Muhammad bin Abi Muhammad dari Ikrimah atau Sa’id dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Dulu Kardum bin Zaid, sekutu Ka’b ibnul Asyraf, bersama Usamah bin Habib, Nafi’ bin Abi Nafi’, Bahri bin Amr, Huyaiy bin Akhthab, dan Rifa’ah bin Zaid ibnut Tabut mendatangi beberapa orang Anshar dan memberi nasihat kepada mereka, ‘Janganlah kalian sedekahkan harta kalian. Karena kami khawatir kalian akan menjadi fakir dengan hliangnya harta itu. Dan jangan terburu-buru kalian menyedekahkannya karena kalian tidak tahu apa yang akan terjadi.’ Maka Allah menurunkan firman-Nya atas orang-orang Yahudi tersebut,
“(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya. Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebahagian rezki yang telah diberikan Allah kepada mereka ? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka.”” (an-Nisaa’: 37-39)
73. HR. Muslim dalam Kitabur Radha‘ No. 2155, Abu Dawud dalam Kitabun Nikah, No. 1841, Tirmidzi dalam Kitabut Tafsir, No. 2942 dan an-Nasa’i dalam Kitabun Nikah, No. 3281.
74. HR. Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir, No. 12470.
75. HR. Tirmidzi dalam Kitabut Tafsir, No. 3022 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, No. 3152.
76. HR. Abu Dawud dalam Kitabul Fara’idh, No. 2534.
Sumber: Diadaptasi dari Jalaluddin As-Suyuthi, Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, atau Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, terj. Tim Abdul Hayyie (Gema Insani), hlm. 158-64.