Jawaban:
Maksud dari mengikhlaskan diri kepada Allah adalah seseorang meniatkan ibadahnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan agar sampai kepada kemulian-Nya.
Jika seorang hamba ingin menyembah sesuatu yang lain, dalam hal ini perlu dirinci sebagai berikut:
Pertama, tujuan dari mendekatkan diri kepada selain Allah itu adalah untuk ibadah dan mendapatkan pujian dari makhluk dari makhluk. Maka ini adalah amal yang sia-sia dan termasuk syirik. Dalam hadits shahih disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Aku adalah sekutu yang paling tidak membutuhkan sekutu lainnya. Maka barang siapa melakukan suatu amal yang di dalamnya dia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan juga sekutunya. (Ditakhrij oleh muslim dalam kitab Az-Zuhdu wa Ar-Raqaiq, bab “Man Asyraka fi ‘Amalihi Ghairallah.” (2985).
Kedua, tujuannya adalah untuk mencapai tujuan keduniaan, seperti kepemimpinan, kewibawaan, dan harta benda, bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka amalnya itu adalah sia-sia, bukan termasuk mendekatkan diri kepada Allah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”
Perbedaan antara bagian ini dengan bagian sebelumnya adalah bahwa yang pertama tujuannya agar dia dipuji karenanya di samping beribadah kepada Allah, sedangkan yang kedua tujuannya bukan untuk mendapat pujian dalam ibadahnya dan tidak penting baginya apakah manusia memujinya karena hal itu atau tidak, yang penting dia mendapatkan keduniaan.
Ketiga, tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan tujuan duniawi yang dihasilkan darinya. Seperti seorang yang berniat menyembah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan bersuci agar badannya giat dan bersih. Dengan shalat seseorang juga berniat untuk melatih badan dan menggerakkannya. Dengan puasa berniat menguruskan badan dan mengurangi lemak. Dengan haji berniat menyaksikan syiar Islam dan orang-orang haji. Niat semacam ini dapat mengurangi pahala ikhlas tetapi jika yang dominan niatnya adalah untuk beribadah maka dia tidak akan mendapatkan pahala yang sempurna, tetapi hal itu tidak membahayakannya, seperti yang difirmankan Allah, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (Al-Baqarah: 198).
Namun jika tujuan yang utama bukan untuk menyembah Allah, maka dia tidak mendapatkan pahala di akhirat melainkan hanya mendapatkan manfaat di dunia saja, dan bahkan saya takut dia berdosa karenanya, sebab dia menjadikan ibadah yang merupakan tujuan tertinggi hanya sebagai wasilah untuk kepentingan dunia yang hina. Maka tindakan dia ini seperti orang-orang yang difirmankan Allah, “dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58)
Dalam sunan Abu Daud dari Abi Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata bahwa seorang laki-laki berkata, “Ya Rasulullah seorang laki-laki ingin berjihad, tetapi tujuannya ingin mendapatkan kekayaan dunia.” Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam menjawab, “Dia tidak mendaptkan pahala.” (Ditakhrij oleh Abu Dawud, kitab Jihad, bab “Fiman Yaghyu wa Yaltamisu Ad-Dunya”, (2516) dan An-Nasai, kitab Al-Jihad bab, “Man Ghaza Yaltamisu Al-Ajra wa Adz-Dzikr”, (3140)). Dia mengulangkan hingga tiga kali dan Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam tetap menjawab, “Dia tidak mendapatkan pahala.”
Dalam kitab shahihaini diriwayatkan, “Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab Radhiyallahu Anhu berkata, “Rasululullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan itu bergantung kepada niat. Sesungguhnya setiap orang itu akan mendapatkan sesuatu berdasarkan niatnya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia dia akan mendapatkannya atau karena seorang perempuan yang ingin dikawininya maka hijrahnya itu mengikuti apa yang diniatkannya.” (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim). (Ditakhrij oleh Al-Bukhari dalam kitab Bad’u Al-Wahyi, bab “Kaifa Bad’u Al-Wahyi Ila Rasulillah”, dan Muslim kitab Al-Imarah, bab “Innama Al-A’maal bin An-Niyyah”. (1907).
Jika niat keduanya sama, baik niat untuk ibadah maupun niat selain ibadah, maka ada beberapa pendapat, tetapi pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah tidak berpahala baginya seperti orang yang beramal karena Allah dan karena selain Allah.
Perbedaan antara bagian ini dan bagian sebelumnya adalah bahwa pada bagian sebelumnya, tujuannya bukan untuk beribadah tetapi dilakukan karena darurat, sehingga niatnya itu muncul karena dia melakukan sesuatu yang bersifat darurat, seakan-akan dia melakukan amal itu untuk tujuan dunia.
Jika ditanyakan apa ukuran yang bisa digunakan untuk mengukur bahwa tujuan dari suatu amalan lebih condong untuk ibadah atau bukan untuk ibadah?
Kami jawab, ukurannya bahwa jika seseorang tidak memperhatikan unsur-unsur selain ibadah, baik berhasil maupun tidak berhasil, maka itu menunjukkan bahwa tujuan utamanya adalah ibadah dan sebaliknya.
Yang jelas bahwa niat adalah perkataan hati masalahnya besar dan urgen, yang karenanya seorang hamba bisa sampai kepada derajat orang-orang yang jujur, tetapi juga bisa melemparkannya kepada derajat yang paling rendah. Sebagian salaf berkata, “Saya tidak melakukan sesuatu yang lebih berat daripada berusaha untuk senantiasa ikhlas.” Kami memohon kepada Allah agar kita senantiasa bisa mengikhlaskan niat kita sehingga amal kita termasuk amal yang shalih.
Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 54 -57.