Rezim Suriah Penjarakan Kelompok Sunni dan Membunuh Pimpinannya

Ahmad Toha

HIDAYATULLAH.COM – REZIM Suriah berusaha untuk meringankan tekanan dunia terhadapnya dengan memanfaatkan pengaruhnya di Libanon. Suriah menggerakkan “tangan-tangannya” buat menciptakan ketegangan sektarian di Libanon. Seperti diketahui, Suriah memiliki “tangan-tangan” itu di Hizbullah, atau lewat intelijennya, atau lewat aparat pemerintah Libanon yang pernah dididik selama pendudukan Suriah di Libanon beberapa dekade silam.

Sepanjang Bab al Tibanah, Jabal Muhsin, hingga ibukota utara Tarablus (Tripoli) yang merupakan daerah mayoritas Sunni, menjadi wilayah rawan konflik. Benturan-benturan sektarian di wilayah tersebut tidak pernah berhenti, antara pemuda-pemuda Sunni dengan kelompok-kelompok yang didukung oleh Iran, atau pemerintah Suriah atau Hizbullah. Pemuda-pemuda Sunni hanya memiliki persenjataan yang sederhana untuk melindungi keluarga mereka dari serangan yang bermotif sekte, yang disupport rezim Suriah.

Sayangnya, tentara Libanon berpihak kepada kepentingan Hizbullah dan rezim Suriah. Beberapa waktu lalu, pihak militer bahkan menyergap Syeikh Ahmad Abdulwahid, seorang dai Ahlus Sunnah di utara Libanon. Syeikh Ahmad Abdulwahid akhirnya tewas.

Untuk mengetahui lebih jauh situasi terakhir konflik yang terjadi di Libanon tersebut, wartawan Majalah al Bayan, Ahmad Abu Daqqah mewawancarai Syeikh Ali Ahmad Thaha, seorang dai Sunni dan Ketua Organisasi Pengembangan Suhul al Salam. Di bawah ini petikan wawancara seputar konflik di Suriah, Sunni dan hubungan Syiah dengan keluarga Bashar al Assad.*

Al Bayan: Bagaimana Libanon memosisikan diri terhadap revolusi Suriah?

Ahlus Sunnah di Libanon, khususnya di utara Libanon dan ibukotanya Tarablus, berinteraksi dengan revolusi Suriah sejak pekan pertamanya. Mereka mengekspresikan dukungan dari pedalaman Libanon lewat penyebaran informasi, kemudian gerakan politik dan penggalangan massa.

Sunni di Libanon menampung pengungsi Suriah. Itu terjadi dari lembah Khalid hingga batas provinsi bagian selatan Qalmun dan daerah sekitarnya. Masjid-masjid dan rumah-rumah di wilayah selatan dibuka untuk menampung pengungsi Suriah yang terdiri dari orang-orang luka, wanita dan anak-anak.

Kondisi tersebut jelas tidak disukai rezim diktator al Assad, Iran dan kaki tangannya di Libanon, Hizbullah. Olehnya, pihak-pihak ini menekan lembaga-lembaga pemerintah Libanon, termasuk militer untuk mencegah dukungan tersebut.

Tapi gelora gerakan rakyat semakin kuat. Lembaga-lembaga keamanan pemerintah Libanon yang mayoritas telah diinfiltrasi oleh Hizbullah dan kaki tangan rezim Suriah, tidak mampu membendung arus simpati masyarakat terhadap revolusi. Ulama dan Ahlus Sunnah di utara Libanon mengaitkan eksistensi dan kekuatan Ahlus Sunnah dengan masa depan revolusi Suriah.

Sebaliknya dengan partai yang disupport Iran, yang justru mengaitkan dirinya dengan keberlangsungan rezim diktator Suriah dan politik Iran. Lantaran itu, politik Libanon pecah menjadi dua.

Kemudian, agar Syiah tidak terjebak dalam konflik yang dikelilingi oleh mayoritas Sunni dan untuk menjaga citra bahwa Syiah fokus berperang menghadapi Zionisme Israel; dan bahwa Syiah tidak masuk dalam konflik sektarian, seperti yang selalu diulang-ulangi oleh Hasan Nasrullah. Untuk itu semua, Syiah memanfaatkan perangkat pemerintah untuk melumpuhkan Ahlus Sunnah di Libanon.

Itu sebabnya sehingga perwakilan rezim Suriah di PBB, Bahsar al Ja’fari dan dutabesarnya, Walid al Mu’allim selalu menegaskan bahwa utara Tarablus merupakan pintu masuk persenjataan dan menjadi basis al Qaidah.

Mereka juga berupaya untuk menciptakan konflik internal sesama Sunni. Oleh karena itu mereka menggunakan orang-orang bayaran dari sebagian Sunni, dengan slogan nasionalisme Arab atau Islam. Namun jumlah mereka sedikit dan tidak mendapat simpati yang luas.

Al Bayan: Bagaimana kronologis pembunuhan Syeikh Ahmad Abdulwahid oleh militer Libanon?

Setiap bulan atau paling cepat setiap dua pekan, ada saja satuan militer dari Tarablus dan wilayah utara, dari kaki tangan Iran dan berafiliasi ke Syiah, yang berupaya untuk memancing terjadinya bentrok kekerasan.

Mereka, misalnya, melepaskan tembakan ke arah demonstran. Atau secara acak menangkap pemuda yang terlihat aktif dan empati terhadap revolusi Suriah dengan membantu para pengungsi. Setelah itu, pemuda tersebut dituduh terlibat terorisme.

Contohnya kasus yang menimpa pemuda Syadi Mawlawi dengan aparat keamanan. Dia dipanggil untuk mendapatkan bantuan sosial. Tapi setelah itu, dia justru ditanggap.

Konteksnya adalah provokasi. Bukan person Syadi Mawlawi atau Syeikh Ahmad Abdulwahid itu sendiri, yang gugur di tangan kolonel penganut Syiah. Padahal seharusnya pihak keamananlah yang berupaya mewujudkan keamanan, bukan justru memprovokasi rakyat dan menghilangkan nyawa. Agenda sebenarnya adalah melumpuhkan komunitas Sunni dan membenturkannya dengan aparat keamanan, khususnya militer Libanon.

Komandan tentara memiliki kedudukan khusus sebagai Nasrani Maronit, yang mana tentara di bawahnya terdiri dari berbagai sekte. Tetapi selama era pendudukan Suriah terhadap Libanon, banyak perwira mereka yang didoktrin dan mendapat pelatihan di Suriah. Di sana, setiap perwira yang punya ambisi harus cari muka kepada rezim Suriah demi mencapai keinginannya. Seperti Emile Lahoud (mantan presiden Libanon) dahulu. Sebagian perwira tersebut bahkan merupakan shabiha (milisi loyalis al Assad). Walaupun fenomena tersebut telah mulai berkurang dewasa ini.

Al Bayan: Apakah Anda menganggap bahwa masa depan pemeluk Nasrani di Libanon dan Suriah terkait dengan keberlangsungan rezim Suriah?

Saya kira umat Nasrani tidak khawatir dengan pemerintahan Islam apa pun. Sebab mereka punya pengalaman panjang yang bertahun-tahun. Sedangkan rezim al Assad, Hafez dan Bashar hanya menimpakan kepada mereka kerugian dan pengusiran, dan intimidasi yang berlaku bagi semua kelompok.

Yang tampil ke permukaan hanya elit sekte Nushairiyah dan Syiah yang minoritas. Yang tampak adalah Alawiyin (nama lain sekte Nushairiyah). Pengikut sekte ini mengaitkan diri dengan keluarga al Assad, yang memberikan mereka kedudukan dan hak-hak khusus. Al Assad memanfaatkan mereka untuk menguasai militer dan pimpinan militer serta intelijen. Sehingga sekte ini menguasai institusi publik dan swasta.

Padahal, di dalam tubuh pengikut sekte Alawiyin sendiri banyak yang secara terbuka mengakui bahwa mereka dirugikan oleh rezim al Assad. Hanya saja hal itu diabaikan oleh pihak-pihak oportunis dan pragmatis, yang menggantungkan diri kepada eksistensi rezim Suriah.

Bahkan penganut Syiah di Libanon sendiri, di luar Hizbullah, banyak yang menolak rezim Suriah. Itu sebabnya sehingga ada di antara penganut Syiah yang oposan terhadap rezim, bergabung dengan kelompok perlawanan.

Hanya saja Hizbullah telah menyingkirkan politisi dari sekte Syiah. Mereka ditempatkan di “freezer”, atau mereka diusir, atau dibunuh. Semua ini tidak lebih merupakan agenda perluasan pengaruh Iran di kawasan. Inilah alasan sehingga Hizbullah menggantungkan masa depannya dengan kesuksesan agenda Iran, yang merupakan aliansi strategis rezim otoriter Suriah. Hizbullah berperang demi kepentingan rezim Suriah di Libanon. Hizbullah memberi dukungan kepada rezim, baik secara langsung atau tidak langsung, lewat pengiriman ahli-ahli dan tentara ke Suriah.

Beberapa waktu lalu, koran al Sharq al Awsath menampilkan tokoh Hizbullah yang sedang berada di Suriah. Ditambah lagi kasus beberapa perwira Iran yang tertangkap basah oleh Tentara Pembebasan Suriah serta kasus persenjataan yang diselundupkan ke Suriah. Sehigga segala sesuatunya telah menjadi jelas bagi semua pihak.

Al Bayan: Bagaimana penilaian Anda terhadap kondisi politik di Libanon? Bagaimana pula sikap pemerintah terhadap revolusi Suriah?

Krisis dan perpecahan vertikal, serta kekhawatiran terhadap upaya mengalihkan konflik Suriah ke Libanon. Terdapat friksi dalam pemerintahan. Terdapat pihak-pihak tertentu yang khawatir kepentingannya terganggu. Akibatnya, dia tidak mampu mengambil sikap tegas, seperti presiden sekarang dan menteri-menteri dari pihak Sunni. Berbeda dengan Walid Jumblatt, yang tegas mendukung revolusi Suriah. Sebab dia tahu persis kejahatan yang dilakukan rezim al Assad.

Revolusi Suriah merupakan momentum untuk membendung agenda Iran di Libanon. Sebuah proyek yang membentang dari Iran, Iraq, Suriah dan Libanon. Proyek yang membentuk “Bulan Sabit Syiah”. Agenda yang diketahui umum yang bahkan jadi topik perbincangan pemimpin-pemimpin dunia Islam.

Posisi Najib Mikati (Perdana Menteri Libanon saat ini) lemah dan beresiko, sehingga dia mengambil jarak dari isu yang berkembang. Pemerintahan secara umum dikuasai oleh kekuatan yang beraliansi dengan rezim Suriah. Mikati terjebak dalam dilemma berbagai kepentingan: Michel Aoun, Hizbullah, gerakan Amal, massanya di Tarablus, tanah kelahirannya, dan suara yang memilihnya di wilayah utara dari kalangan Sunni yang pro revolusi.

Mikati tidak ingin membantu secara langsung para pengungsi Suriah. Tapi dia memanfaatkan kedudukannya di Hay’ah al Igatsah al ‘Ulya (Komisi Tinggi Kemanusiaan). Mikati terjepit oleh menteri-menteri yang mengelilinginya.

Posisi Mikati sangat lemah dan tidak akomodatif terhadap kepentingan Sunni, khususnya terkait isu beberapa aktivis Islam yang ditahan. Kami telah berkali-kali meminta untuk membebaskan atau mengadili mereka. Dia punya otoritas. Kami diberi janji dan kami menunggu. Para aktivis itu terintimidasi. Telah lewat lima tahun mereka tidak pernah menjalani proses pengadilan. Kondisi ini tentu berpengaruh terhadap kepercayaan komunitas Sunni, serta menambah kekalutan dan potensi chaos.

Al Bayan: Apakah Hizbullah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk menghadapi Ahlus Sunnah?

Barisan Syiah telah dibajak. Anda bisa dengar sendiri pernyataan ulama Syiah, seperti Ali al Amin. Dia menentang keras arah kebijakan Hizbullah. Begitu pula Iqab Saqr, Basim al Sab’u, keluarga al As’ad, yang semuanya Syiah. Tapi mereka tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasi, bahkan gerakan mereka dibungkam.

Dengan persenjataannya, Hizbullah menguasai kawasan tertentu. Hizbullah merupakan pasukan organik dan dipersenjatai. Di belakangnya ada pimpinan yang dapat memobilisasi mereka kapan saja. Saat parade militer, tampak jumlah mereka yang sangat besar, lebih dari 10 ribu personel. Padahal mereka cuma partai, bukan tentara negara. Bisa jadi terdapat pula satuan-satuan rahasia yang tidak ditampilkan.

Di sisi lain, kelompok Sunni telah dilucuti senjatanya. Selama pendudukan, rezim Suriah menarik senjata-senjata kelompok Sunni dan memenjarakan atau membunuh pimpinan-pimpinannya. Yang tersisa dipaksa untuk berpihak pada kepentingan rezim.

Selama tiga puluh tahun pendudukannya di Libanon, rezim Suriah berhasil mempersatukan dan memperkuat barisan Syiah. Rezim juga berupaya menyingkirkan semua musuh-musuh Hizbullah dari faksi-faksi Syiah sendiri. Dahulu, terdapat konflik berdarah antara gerakan Amal dan Hizbullah, sebelum mereka bersatu. Rezim juga berhasil menyingkirkan Shubhi al Thufaili, padahal dia merupakan sekertaris jenderal Hizbullah sebelumnya. Pasalnya, dia punya pandangan-pandangan yang brilian, di antaranya penolakannya terhadap pengaruh Iran di Libanon.

Ahlus Sunnah hanya memiliki senjata pribadi. Saat ada gerakan untuk membela dan mempertahankan kehormatan dan rumah mereka, mereka tidak terorganisir. Bila terjadi bentrokan bersenjata, bisa jadi ada pemimpin yang mampu tampil mengarahkan. Tapi setelah itu, mereka kembali tercerai-berai.

Yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah menjaga keamanan warganya, dan bukan justru menjadikan masalah keamanan sebagai isu sekte. Kami dahulu menolak wacana mempersenjatai warga sehingga keamanan menjadi tanggung jawab pribadi. Sebab hal itu sangat riskan. Tapi jika negara tidak lagi mampu menjaga warganya sendiri, dan negara berpihak pada kelompok tertentu sambil mengorbankan kelompok yang lainnya, tidak ada pilihan bagi warga selain upaya menyelamatkan diri sendiri.

Al Bayan: Apa sebenarnya yang telah terjadi di wilayah Jabal Muhsin dan Bab al Tibanah?

Syeikh Ahmad Abdulwahid gugur di tangan seorang aparat militer Syiah dengan latar ideologi kebencian. Keberadaan aparat tersebut dalam militer untuk memuluskan agenda sektarian atau partai tertentu. Besar kemungkinan dia merupakan anggota shabiha rezim Suriah.

Kami terus menuntut agar negara menjalankan fungsinya sebagai pengaman. Jabal Muhsin secara de fakto berada di bawah pengaruh Suriah dan terorganisir. Di era pendudukan Suriah terhadap kawasan tersebut, Suriah membentuk satuan militer terhadap kelompok yang ada di sana di bawah komando Ali Ied dan anaknya, Rafaat Ied. Satuan ini diberi nama “al Hizb al Arabi al Dimuqrathi.” Anggota satuan ini dikenal disiplin. Banyak dari mereka loyal dan fanatik kepada rezim Suriah. Afiliasi mereka ke rezim Suriah, sebab mereka asalnya dari keluarga al Assad.

Di sisi lain, Hizbullah melindungi mereka, bahkan tidak segan-segan melakukan intervensi untuk itu. Banyak anggota Hisbullah yang datang ke Jabal Muhsin bekerja sebagai penembak gelap dan supplier senjata.

Jabal Muhsin merupakan kawasan kecil yang penduduknya juga sedikit, di tengah mayoritas Sunni. Tapi dukungan politik dan militer yang didapatkannya besar. Adapun peristiwa yang terjadi di Bab al Tibanah sifatnya kasuistik.

Al Bayan: Kemana arah kebijakan Libanon pada fase saat ini?

Atmosfir politik Libanon saat ini dalam kondisi panas. Libanon sangan terpengaruh dengan perkembangan yang terjadi di Suriah. Para politisi dan pemikir yang ada berusaha keras agar dampak revolusi tidak berpengaruh besar terhadap kondisi di sini.

Ahlus Sunnah dan kelompok-kelompok yang cinta kebebasan berpihak pada rakyat Suriah. Komprador Iran berusaha menekan aspirasi politik yang pro revolusi Suriah. Mereka juga mendorong dengan sekuat tenaga yang mereka miliki agar terjadi bentrok antara pihak Sunni dengan militer. Mereka melakukan itu dengan tembakan-tembakan sporadis, penculikan pemuda dan tuduhan teroris, serta pembunuhan pemimpin agama. Padahal tugas militer sejatinya adalah melindungi rakyat. Tapi, Ahlus Sunnah tidak mau terpancing.

Banyak hal lain yang kami pandang sebagai upaya provokasi. Namun para pemimpin berusaha untuk menenangkan suasana. Walau kami kahwatir suatu saat kondisi menjadi tidak terkendali lagi.

Al Bayan: Apakah menurut anda senjata Palestina di kemah-kemah bisa buat kepentingan Ahlus Sunnah di Libanon?

Eksistensi Palestina di Libanon telah berakhir pasca perang Nahr al Barid. Peristiwa tersebut merupakan pesan implisit terhadap setiap tokoh Palestina yang berpihak pada kepentingan bangsanya.

Kami telah bertemu dan berdiskusi dengan saudara-saudara di Hamas. Alhamdulillah bahwa mereka akhirnya mau meninggalkan Suriah.

Masalah Palestina merupakan isu besar, sementara Hamas tidak punya tempat permanen. Akibatnya, mereka sulit untuk mengambil sikap yang indipenden. Keberadaan Hamas di Libanon menjadikan mereka berada pada posisi yang mudah ditekan, baik dari pihak Iran atau rezim Suriah. Dua yang disebut terakhir bisa memanipulasi isu tersebut untuk pencitraan sebagai pembela Palestina. Kondisi tersebut tentu merupakan kondisi yang menjadikan Hamas terjepit. Sebab semua kelompok telah berlepas tangan dan menolak untuk memberikan dukungan.

Wacana pelucutan senjata Palestina adalah inisiatif pemerintahan yang lalu, saat terjadi konflik antara faksi yang pro dengan yang kontra dengan rezim Suriah. Wacana ini diangkat oleh pemerintahan al Hariri dan al Siniora, yaitu untuk menarik senjata orang-orang Palestina, baik yang berpihak pada Iran atau Suriah.

Faksi Fatah tidak punya kekuatan yang signifikan di perkemahan utara dan al Biqa’, kecuali di ‘Ayn al Hulwah. Sehingga sasaran sebenarnya adalah senjata satuan-satuan yang loyal kepada rezim Suriah. Wacana tersebut sarat muatan politis. Lantaran itu, Hizbullah menolak karena menyangkut anggota-anggota mereka yang berada di perkemahan.

Al Bayan: Apa dampak jatuhnya rezim Suriah terhadap Libanon?

Jatuhnya rezim Suriah adalah harapan yang kami tunggu-tunggu. Akan terjadi perubahan radikal dalam hal stabilitas politik di Libanon. Libanon tidak lagi menjadi sasaran masuknya senjata-senjata gelap dan objek tekanan pihak luar.

Kelompok Ahlus Sunnah yang mayoritas namun dikebiri dan dipinggirkan, akan mendapatkan keadilan. Jatuhnya rezim juga akan me-recovery kondisi politik, ekonomi, dan keamanan.

Kondisinya, Libanon tekepung. Di bagian selatan ada Zionisme Israel, di utara dan timur ada Suriah, sedangkan di barat adalah laut. Pihak-pihak itu bisa memblokir ekspor dan pariwisata. Mereka bisa melakukan itu kapan saja politik di Libanon mengancam kepentingannya.*

Wawancara ini adalah hasil kerjasama antara hidayatullah.com dengan Majalah Internasional Al Bayan