Apa dan Bagaimana Studi Islam di Barat

Tatkala terjadi perubahan Menteri Agama dari Munawir Sjadzali kepada Tarmidzi Taher, maka salah satu persoalan penting yang dinanti-nanti banyak orang jawabannya, paling tidak oleh TEMPO, ialah soal pengiriman sarjana dan dosen IAIN untuk belajar Islam ke Barat. Soalnya, program ini boleh dikata adalah program Munawir yang sampai saat itu telah mengirimkan sekitar 200 sarjana IAIN ke berbagai universitas di Barat. Katanya, diharapkan pada akhir pelita itu, Indonesia punya 34 doktor dan 88 master di bidang keagamaan. (TEMPO 3/4).

Dalam laporan itu, banyak sekali diungkap kehebatan-kehebatan belajar di Barat. Tetapi, ada semacam sikap yang kurang fair, yang seakan-akan memperalat Pak Rasjidi untuk melegitimasi “kebijakan” itu. Seolah-olah Pak Rasjidi sepenuhnya setuju dengan program belajar Islam ke Barat. Hal itu didasarkan hanya karena ia pernah memberikan semacam rekomendasi kepada harun Nasution untuk belajar di Mc. Gill. Jelas kesimpulan seperti ini keliru.

Apa yang diharapkan oleh Pak Rasjidi pada awalnya, waktu memberi rekomendasi dan apa yang terjadi setelah di Mc. Gill, dapat dibaca dalam mukadimah bukunya yang berjudul Koreksi terhadap Harun Nasution.

Waktu itu Rasjidi diilhami guru-gurunya di Mesir, seperti Syaikh Musthafa ‘Abdur Raziq, pakar filsafat Islam dan lain-lain. Mereka itu pernah mengecap pendidikan di Perancis, tetapi gencar pula “menguliti” pemikiran-pemikiran orientalis. Rasjidi sendiri menempuh cara itu. Setelah menamatkan pendidikannya di Darul Ulum dan Fakultas Adab Universitas Kairo, ia “nyantri” di Sorbonne. Dengan bekal keilmuan yang cukup, yang telah dipersiapkan di Mesir, Rasjidi berhadapan dengan orientalis. Rasjidi akhirnya tampil sebagai sosok ilmuwan yang mengecap pendidikan Barat tetapi tidak terpengaruh dengan pola pikir orientalis.

Rasjidi berharap agar teman yang dikirimnya itu dapat mengikuti jejaknya, bersikap kritis, tidak membeo kepada orientalis itu. Tetapi, ternyata harapan itu berlainan dengan kenyataan.

Spesialisasi Keilmuan

Belajar Islam ke Barat memang sudah lama jadi masalah kontroversial. Sebab, dengan logika sederhana saja, orang dapat berpikir bahwa setiap disiplin ilmu haruslah dipelajari dari ahlinya (atau dari bangsa yang dikenal maju dalam bidang itu). Orang yang belajar pesawat terbang ke Jerman, belajar komputer ke Amerika, belajar kimia ke Perancis, dan sebagainya tentu itu sangat relevan. Janganlah terbalik: belajar ekonomi di negara yang kelaparan, belajar kedokteran di negara yang rawan penyakit, belajar elektro di negara yang minim listrik, apalagi belajar “agama” tertentu kepada orang yang antiagama tersebut, tentu saja dirasakan kurang tepat, kalau tidak dikatakan “ngaco”.

Sementara beberapa kalangan mengganggap metodologi Barat lebih unggul, tetapi sebenarnya di situlah letak kerancuannya. Karena kerancuan metodologi, maka ilmu apa pun yang dipelajari dari Barat akan menghasilkan tashawwur ‘gambaran’ yang serupa. Tidak hanya belajar tentang Islam, belajar yang lainnya, seperti politik, sosiologi, filsafat, dan ilmu-ilmu humanitas lainnya yang dikaitkan dengan Islam, akan sampai pada kesimpulan yang sama. Yaitu, menempatkan Islam pada posisi sebagai “tertuduh” yang harus dihukum. Jadi, bagi yang belajar politik Islam hanya bisa melihat gambaran-gambaran negatif dalam sejarah percaturan politik Islam. Mereka yang belajar sosiologi dan filsafat juga akan mendapatkan kesan-kesan negatif tentang masyarakat Islam dan sejarah pemikirannya.

Namun, bukan berarti bahwa penulis secara total menolak belajar ke Barat. Mungkin saja dibolehkan untuk kondisi tertentu dan dalam batas-batas tertentu pula. Tetapi, dalam kondisi yang minus ulama, tingkat pemahaman agama Islam yang amat sederhana, tentu belajar ke Barat memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang dan terencana. Bila kita membuat perbandingan dengan Mesir, misalnya, yang telah “banjir” ulama, “doktor”, dan sarang para pemikir, kualitas pendidikan yang relatif mapan, toh belajar Islam ke Barat tidak pernah menjadi program mereka. Bahkan, tidak pernah didorong atau digalakkan, kecuali sekadar usaha-usaha individual yang sangat terbatas.

Lemah Materi dan Metodologi

Ada sementara orang berasumsi bahwa studi Islam di dunia Arab kaya dengan materi tetapi lemah di bidang metodologi. Sementara di sisi lain, studi Islam di Barat miskin materi tetapi kaya dalam metodologi. Benarkah Barat lebih baik dari segi metodologi? Kalau secara materi, itu sudah dapat diduga, di dunia Arab lebih baik ketimbang di Barat.

Secara materi, Barat sampai saat ini tidak mampu mengeluarkan sarjana-sarjana yang menguasai bidang-bidang tertentu dari ilmu Islam, seperti ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli bahasa, ahli sejarah, dan sebagainya. Selain itu, karya ilmiah yang dihasilkan oleh orientalis dalam bidang keislaman belum terlihat berarti dibanding karya-karya yang ditinggalkan ulama.

Adapun yang dilakukan oleh kaum orientalis pada umumnya ialah mengumpulkan manuskrip, memberi komentar buku-buku klasik dan menerjemahkannya ke bahasa-bahasa Eropa. Yang agak bernilai dari karya mereka adalah ensiklopedi hadits (Al-Mu’tazilah’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits) dan sejarah sastra Arab (Tarikh al-Adab al-‘Arabi) karya Karl Brockelmann. Karya yang pertama memang bermanfaat bagi orang-orang yang baru mengenal hadits. Tetapi, dia bukanlah segala-galanya dalam dunia hadits. Kitab-kitab ensiklopedi hadits yang lebih lengkap telah lebih dahulu diwariskan oleh ulama-ulama hadits. Hanya saja metodenya berbeda. Bahkan, kekeliruan dan kelemahan-kelemahan karya orientalis itu cukup banyak dan dihimpun dalam buku Adhwa ‘ala Akhtha’ al-Mustasyriqin oleh Dr. Sa’ad al-Murshafi.

Sebagian besar karya-karya orientalis diwarnai oleh sikap-sikap seperti memutarbalikkan fakta, memalsukan sejarah, menyalahpahami teks, serta menyusupkan kebohongan dan fitnah. Tetapi, secara umum karya-karya sebagian orientalis yang jujur itu kita hargai dan bermanfaat bagi sebagian peneliti, khususnya pemula. Tetapi, porsinya harus dilihat secara objektif, tanpa dilebih-lebihkan. Sebab, Semua itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan karya ulama-ulama kita yang klasik ataupun yang modern, yang tidak tertampung oleh perpustakaan mana pun di dunia ini, karena banyaknya.

Berbicara tentang sikap “objektif” dan “bebas” (tidak memihak) yang merupakan karakteristik ilmiah, maka para peneliti Barat dalam tulisan dan kajian mereka tentang Islam sulit sekali ditemukan sikap netral dan objektif ini. Mereka hanya mau bebas (dalam artian tidak memihak) ketika berhadapan dengan materi yang tidak ada hubungannya dengan kajian keislaman. Adapun terhadap kajian-kajian Islam, mereka tidak mampu melepaskan subjektivitasnya sebagai nonmuslim.

Barat hingga saat ini masih menyimpan gambaran suram dan jelek tentang Islam dan umatnya. Sebuah warisan “hitam” yang meracuni pemikiran mereka, yang mereka warisi sejak “Perang Salib” dan belum membuangnya hingga saat ini. Ini diakui sendiri oleh pemikir mereka, seperti Gustav Lobon, filsuf Perancis dan “moyangnya” kaum sosiolog dan sejarawan Barat di abad kesembilan belas. Ia menerangkan dalam bukunya, Peradaban Islam, bahwa peneliti-peneliti Barat dalam menerangkan masalah-masalah yang berhubungan dengan Islam akan menanggalkan sikap netral dan objektif . Peneliti Barat, tanpa disadarinya, pasti akan memihak dan intoleran. Buku inilah, kalau boleh dibilang “moderat”, yang paling moderat yang ditulis oleh ilmuwan Barat tentang Islam dan peradabannya. Oleh karena itu pula, Gustav Lobon tidak dihargai, bahkan dibenci oleh orientalis Barat. Sikap penulis Barat yang tidak jujur pernah juga dibeberkan belakangan oleh Motegomery Watt, orientalis Inggris, dalam buku Apakah Islam?

Kelemahan Fundamental Orientalis

Para pengamat studi orientalis yang jujur mengemukakan beberapa kelemahan orientalis yang sulit dipungkiri siapa pun. Di antaranya sebagai berikut.

1. Tidak menguasai bahasa Arab secara baik, sense bahasa yang lemah, dan pemahaman yang terbatas atas konteks pemakaian bahasa Arab yang variatif. Kelemahan ini tentu mempengaruhi pemahaman mereka atas referensi-referensi Islam yang inti, seperti Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu, pemahaman mereka tentang Islam dan risalahnya rancu dan kabur. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Musthafa as-Siba’i setelah ia meninjau langsung pusat orientalisme di sekitar Eropa dan berdialog langsung dengan para orientalis. Para orientalis itu pada akhirnya banyak yang mengakui bahwa keterbatasan mereka dalam memahani materi-materi keislaman lebih menonjol ketimbang kelebihan metodologi yang mereka miliki. Bahkan, ada di antara mereka yang berterus terang bahwa Arablah (muslimlah) yang seharusnya memegang pekerjaan ini. Keterbatasan dalam menguasai bahasa Arab sangat mempengaruhi pemahaman mereka tentang Islam.

2. Perasaan “superioritas” sebagai orang Barat. Ilmuwan Barat, khususnya orientalis, senantiasa merasa bahwa “Barat” adalah “guru” dalam segala hal, khususnya dalam logika dan peradaban. Mereka cenderung tidak mau digurui oleh orang Timur.

3. Orientalis Barat sangat memegang teguh doktrin-doktrin mereka yang tidak boleh dikritik, bahkan sampai ke tingkat fanatik buta. Di antaranya dua doktrin inti, yaitu bahwa Al-Qur’an dalam pandangan insan Barat bukan kalam Allah dan Muhammad bukan rasul Allah. Doktrin ini sudah lebih dulu tertanam dalam pikiran mereka sebelum meneliti, sebab ini merupakan doktrin agama mereka yang ditanamkan sejak kecil. Sehingga, penelitian yang dilakukannya diarahkan hanya untuk mendukung asumsinya saja, bukan ingin mencari kebenaran secara objektif dan bebas. Karena itulah, peneliti-peneliti Barat menelan mentah-mentah riwayat-riwayat palsu, membesar-besarkan masalah kecil, menggunakan tuduhan palsu sebagai argumentasi, dan beralasan dengan sesuatu yang tidak diakui sebagi dalil. Mereka menolak semua pendapat yang berbeda dengan pikirannya, sekalipun itu benar dan argumentatif. Apa yang bisa diperoleh dari manusia-manusia seperti ini?

Dari segi metodologi, dia telah memiliki prakonsepsi dan tidak mau dikritik, bahkan fanatis. Oleh karena itu, hati-hati dengan hasil karya mereka. Sebab, dari mereka ada yang bersikap halus. Dalam tulisan-tulisannya, mereka sengaja menyajikan Islam secara benar dan kejayaannya di masa silam. Tetapi, ada satu atau dua poin konsep yang sangat membahayakan mereka selipkan dalam tulisan itu. Pujian dan sanjungan mereka terhadap Islam di permulaan bertujuan untuk menggiring pembaca untuk membenarkan seluruh isi buku dan tidak merasakan hal-hal yang ganjil, sehingga berkesimpulan bahwa penulis tersebut jujur dan objektif.

Misalnya, kasus Noel J. Coulson, orientalis Inggris, guru besar “hukum Islam” di Universitas London. Sepintas lalu dengan membaca karya-karyanya, orang akan mengira bahwa Coulson adalah orientalis yang jujur. Karena, ia mengakui bahwa sistem hukum Islam adalah sistem yang dinamis, bisa digunakan, dan telah mengakar dalam sanubari umatnya. Berbeda sekali dengan pandangan gurunya, Joseph Schacht yang terang-terangan anti-hukum Islam, dan menuduhnya dengan sederetan tuduhan keji yang tidak masuk akal.

Di sela-sela sanjungannya dalam buku A History of Islamic Law, Coulson punya sejumlah pendapat yang aneh-aneh tentang kekuatan As-Sunnah sebagai sumber hukum dan tentang ushul fiqih. Coulson mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah “founder” ‘penemu’ ushul fiqih. Sebuah pendapat yang tidak pernah dibenarkan oleh ahli-ahli ushul fiqih sendiri. Ia juga berpendapat bahwa kedudukan As-Sunnah sebagai pelengkap Al-Qur’an untuk menyelami kehendak Ilahi pertama kali dikemukakan oleh Imam Syafi’i. Sepintas lalu Coulson terkesan mengagumi kehebatan Imam Syafi’i (yang memang hebat, walapun tidak perlu dikagumi Coulson), tetapi ada suatu kesan terselubung dari ungkapan itu. Yakni, bahwa sebelum Imam Syafi’i ilmu ushul fiqih belum ada. Padahal, rentang waktu dua abad sebelumnya justru merupakan pondasi berdirinya “building” ushul fiqih pada fase-fase berikutnya. Pandangan Coulson itu mengesankan bahwa sebelum datangnya Imam Syafi’i, para fuqaha tidak memiliki kerangka berijtihad yang disepakati bersama. Jelas ini merupakan sebuah pemutarbalikkan fakta. Lalu, bagaimana dahulu para fuqaha selama dua ratus tahun menetapkan hukum bagi kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat Islam, kalau mereka tidak punya standar yang disepakati bersama? Apakah mereka harus menunggu selama dua abad tidak berijtihad, hingga Imam Syafi’i datang?

4. Banyak dari kajian-kajian orientalisme yang terkait erat dengan kepentingan negara-negara tertentu yang mendanai kajian itu. Percuma saja negara-negara Barat menghamburkan uangnya jutaan bahkan miliaran dollar hanya untuk kepentingan ilmiah semata, kalau bukan karena ada target-target tertentu yang sangat berharga bagi kepentingan mereka. Target itu bisa bersifat politis, bisnis, strategis, dan misi.

Hal ini seperti pernah diungkap oleh Prof. Ismail al-Faruqi dalam sebuah artikelnya di majalah The Contemporary Muslim bahwa studi Islam di Barat, khususnya di Amerika Serikat, tidak pernah luput dari misi zionis dan salibis. Orientalis yang mengajar di jurusan itu, katanya, sebagian besar orang Yahudi atau Kristen fanatis. Di beberapa universitas Amerika, studi Islam ditempatkan di Fakultas Lahut (teologi), jurusan “misionarisme” dan materinya dikenal dengan “perbandingan agama”. Dosen-dosen yang ada di sana kerjanya mencari “titik-titik lemah” Islam untuk diserang. Oleh karena itu, kajian-kajian mereka banyak menyangkut aliran-aliran yang menyimpang. Misalnya, Syi’ah, Isma’iliyah, Tasawud (mistisisme), Ahmadiyah, an Baha’iyyah. Jika mereka belajar Al-Qur’an, hadits, dan fiqih, motivasinya adalah untuk mengkritik kebenaran materi-materi itu. Dan ultimate-goal-nya untuk mencari “titik-titik lemah”. Sebagai misal, tulis Faruqi, “Pusat Studi Perbandingan Agama” di Harvard berada di bawah Fakultas Teologi. Demikian juga di Universitas Chicago.

Tentang staf pengajar, semuanya nonmuslim. Kalaupun ada yang muslim, biasanya orang-orang yang tidak “laku” di negerinya, karena punya pikiran yang aneh-aneh. Mereka ini sengaja disambut hangat oleh Amerika Serikat karena pikiran mereka sejalan dengan misi Zionis. “Umpamanya seorang Prof. asal Pakistan,” kata mantan guru besar Islamic Study di Temple Universitas itu memberi sontoh. Intelektual Pakistan ini sempat diusir oleh pemerintahnya karena dihukum murtad oleh seluruh ulama di negeri itu.

Ungkapan Faruqi ini tentu bukan sekadar asumsi yang apriori. Sebab, ia terlibat langsung dalam “pergulanan” orientalisme di Amerika Serikat. Pengalamannya adalah sebagai ketua jurusan IS di Temple dan sebagai guru besar selama bertahun-tahun di AS dan berbagai universitas Barat lainnya. Sehingga, akhirnya ia mengakhiri hayatnya sebagai “syahid” karena dibunuh oleh agen-agen Zionis. Semua ini agaknya merupakan “pelajaran berharga bagi setiap orang yang hendak belajar Islam kepada orientalis. Itulah inti nasihat Al-Faruqi.

Jadi, sebagai seorang muslim yang baik tentu kita harus memikirkan secara jernih risiko dan dampaknya di kemudian hari. Jika hasil dari belajar Islam ke Barat ternyata seperti apa yang kita lihat hari ini, yaitu betapa banyaknya pikiran-pikiran yang menyimpang dari para alumni Barat, ini jelas memperkuat kebenaran analisis Faruqi. Ternyata bantuan luar negeri dalam bentuk beasiswa studi Islam di Barat sebenarnya adalah sebuah upaya merusak pemikiran. Sepintas lalu gejala ini sama dengan tawaran “supermi dan beras” kepada warga muslim yang miskin di beberapa tempat. Inilah yang telah diperingatkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an (yang artinya), “Maka sekali-kali janganlah kamu tertipu oleh gemerlapnya kehidupan dunia dan sekali-kali janganlah syaithan yang pintar menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (Faathir: 5).

Sumber: Diadaptasi dari Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Daud Rasyid (Jakarta: Akbar, Media Eka Sarana, 2002), hlm. 117-125, 129, 131)

Oleh: Abu Annisa