Prinsip Kedua: Pengertian Iman Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Allah1

Termasuk prinsip ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunaah wal Jamaah:

Bahwa iman menurut mereka adalah, “Membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan , diperbuat dengan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.”

Iman (Makna iman secara bahasa yaitu membenarkan, menampakan kekhusyu’an dan iqrar (pernyataan/pengakuan). Adapun makna iman secara syar’i yaitu segala bentuk ketaatan bathin maupun zhahir. Ketaatan bathin seperti amalan hati, yaitu pembenaran hati. Sedangkan yang zhahir yaitu perbuatan badan yang mencakup berbagai kewajiban dan amalan-amalan sunnah. Intinya iman itu adalah yang menghujam kokoh di dalam hati dan dibenarkan dengan perilaku dan sikap, sedangkan buahnya iman itu nampak nyata dalam pelaksanaan perintah Allah dan menjauhi dari segala larangan-Nya. Jika ilmu tersebut tanpa disertai dengan pengamalan, maka ilmu tersebut tidak ada manfaatnya. Seandainya hanya sekedar ilmu saja tanpa perbuatan dapat memberi manfaat kepada seseorang, pasti ilmu tersebut tidak dapat memberi manfaat pula kepada iblis -semoga Allah melaknatnya. Sungguh iblis itu mengetahui bahwa Allah itu Maha Esa yang tiada sekutu bagi-Nya. Bahkan tempat kembalinya Iblis itu tidak diragukan lagi, pasti kepada-Nya. Akan tetapi tatkala ada perintah dari Allah Ta’ala kepadanya: “Sujudlah kamu kepada Adam!” maka ia enggan dan sombong bahkan ia termasuk golongan orang-orang kafir. Ternyata ilmu Iblis tentang ke-Esa-an Allah tidak dapat memberkan syafa’at kepadanya. Yang demikian itu karena ilmu semata tidak disertai dengan perbuatan, tidak ada nilainya disisi Allah Rabb semesta alam. Demikianlah pemahaman Salafush Shalih. Dalam al-Qur-an tidak disebutkan iman saja tanpa disertai dengan perbuatan, namun digabungkan antara iman dan amal shalih di banyak ayat) itu mencakup ucapan dan perbuatan:

  • Ucapan hati dan lisan
  • Perbuatan hati, lisan dan badan.

Ucapan hati, yaitu: Kepercayaan, pembenaran, pengakuan dan keyakinannya. Sedang ucapan lisan, yaitu: Pengikraran perbuatan, artinya mengucapkan dua kalimat syahadat dan melaksanakan konsekwensinya.

Adapun perbuatan hati, adalah niat, taslim(penyerahan), ikhlas, tunduk, cinta dan kehendaknya untuk berbuat amal shalih. Sedangkan perbuatan lisan dan badan adalah mengerjakan perintah dan meninggalkan segala larangan.

“Tidak ada iman kecuali dengan perbuatan; tiada ada ucapan dan perbuatan kecuali dengan niat; dan tidak ada ucapan, perbuatan maupun niat kecuali dengan tuntutan yang sesuai dengan sunnah.” (Ungkapan ini dikatakan oleh Imam al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, al-Humaidi dan selainnya. Dan ucapan ini terkenal dari mereka. Seperti yang diriwayatkan al-Lalika-i dan Ibnu Baththa. (Lihat Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Lalika-i no. 1586).

Allah Ta’ala telah menyebutkan sifat orang-orang mukmin sejati didalam al-Qur’an untuk orang-orang yang beriman dan beramal shalih dengan apa yang mereka imani, berupa prinsip-prinsip agama maupun cabangnya; baik yang zhahir maupun bathin. Dan pengaruh iman tersebut nampak tercermin dalam ‘aqidah, ucapan dan perbuatan mereka, yang zhahir maupun yang bathin. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlan iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian disisi Rabb-nya dan ampunan serta rizki (nikmat) yang mulia.” (Al-Anfaal: 24).

Allah Ta’ala selalu menggandengkan antara iman dan amal perbuatan dalam banyak ayat al-Qur-anul Karim, seperti dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah Surga Firdaus menjadi tempat tinggal.” (Al-Kahfi: 107).

Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Rabb kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka Malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih…..” (Fushshilat: 30).

Allah berfirman juga, “Dan itulah Surga yang diwariskan kepada kalian disebabkan amal-amal yang dahulu kalain kerjakan.” (Az-zukhruf: 72).

Dan Allah berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya mausia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al-Ashr: 1-3).

Nabi SAW bersabda, “Katakanlah: ‘Aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah.'” (HR. Muslim). (HR. Muslim no. 38, Ahmad (III/413), at-Tirmidzi no. 2410, Ibnu Majah no. 3972, ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir no. 6396, Abu Dawud at-Thayalisi no. 1231, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitaabus Sunnah no. 21 dan ad-Darimi (II/298) dari Sufyan bin ‘Abdillah ats-Tsaqafi.

Nabi SAW bersabda juga, “Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih. Yang paling tinggi adalah ucapah: ‘Laailaha illallahu’ (Tiada Ilah yang patut diibadahi dengan benar kecuali Allah). Dan yang paling rendah adalah mengilangkan gangguan (duri, kotoran dll,) di jalan. Sedangkan sifat malu itu salah satu dari cabang iman.” (HR. Al-Bukhari). (HR. Al-Bukhari no. 9 dalam kitab Shahihnya dan dalam al-Adabul Mufrad no. 598 atau Shahih al-Adabul Mufrad no. 467 serta Muslim no. 35 dari Sahabat Abu Hurairah).

Jadi ilmu dan amal itu saling terkait, tidak pernah terpisah antara satu dengan lainnya. Dan amal merupakan bentuk dari inti ilmu.

Sesungguhnya iman itu mempunyai beberapa tingkat dan cabang, dapat bertambah dan berkurang serta orang yang beriman itu mempunyai kelebihan antara satu dengan yang lain; seperti terdapat dalam beberapa ayat maupun hadits, diantaranya:

Allah Ta’ala berfirman, “…. Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya….” (Al-Muddatsstsir: 31).

Allah Ta’ala juga berfirman, “…. Siapakah diantara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini? Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya…..” (At-Taubah: 124).

Dan Allah Ta’ala berfirman, “…. Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakkal.” (Al-Anfaal: 2)

Allah Ta’ala berfirman pula, “…. Dialah yang telah menunurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada)….” (Al-Fat-h: 4).

Sabda Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa mencintai (seseorang) karena Allah dan membenci karena Allah pula, mereka telah sempurnalah imannya.” (Shahih Sunan Abi Dawud oleh al-Albani). (HR. Abu Dawud no. 4681 dari Abu Umamah. Dishahihkan oleh Syeikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiitshish Shahiihah no. 380).

Nabi SAW juga bersabda, “Barangsiapa diantara kamlian melihat suatu kemunkaran, maka hendaknya ia merubahnya dengan tangannya; jika ia tidak mampu maka dengan lisannya (menasehati); dan jika ia tidak mampu pula maka dengan hatinya; yang demikian itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim). (HR. Muslim no. 49 (78), Ahmad (III/10), at-Tirmidzi no. 2172, Abu Dawud 1140, Ibnu Majah no. 4013 dan an-Nasa’i no. 5008 dari Sahabat Abu Sa’id al-Kudri).

Demikianlah para Sahabat r.a belajar dan memahami dari Rasulullah SAW bahwa iman itu adalah i’tiqad, ucapan, amal, dapat bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.

Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib r.a berkata, “Sabar adalah bagian dari iman, yang kedudukannya seperti kepala pada badan. Barangsiapa yang tidak mempunyai kesabaran, maka tidak sempurna imannya.” (Riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a. Lihat Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Lalika-i no. 1569. Shahih). (Lima atsar (dari perkataan sahabat ‘Ali sampai perkataan Imam Ahmad bin Hanbal) diatas dikeluarkan imam al-Lalika-i dalam kitabnya Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah Minal Kitab was Sunnah wal Ijma’ Shahabah wat Tabi’in (wa man Ba’dahum), dengan sanad yang Shahih.

‘Abdullah bin Mas’ud berdo’a, “Ya Allah, tambahlah keimanan, keyakinan dan pemahaman kami” (Riwayat dari Ibnu Mas’ud yang dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam as-Sunnah (I/368 no. 797), al-Lalika-i dalam Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no. 1704. Shahih).

Abdullah bin ‘Abbas, Abu Harairah dan Abu Darda’ r.a pernah berkata, “Iman itu bertambah dan berkurang.” (Atsar dari Abu Darda dikeluarkan oleh Ibnu Majah no. 75 dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no. 1709, sedangkan atsar dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Harairah tercantum dalam Sunan Ibnu Majah no. 74 dan Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no. 1712).

Waki’ bin al-Jarrah berkata, “Ahlus Sunnah mengatakan: Iman itu terdiri dari ucapan dan aman.” (Atsar dari Waki’bin al-Jarrah ini dikeluarkan oleh al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad wal Jama’ah no. 1837).

Iman Ahlus Sunnah, Ahmad bin Hanbal berkata, “Iman itu bertambah dan berkurang, bertambahnya dengan amal (ketaatan) dan berkurangnya dengan meninggalkan amal (ketaatan) dan berkurangnya dengan meninggalkan amal (ketaatan).” (Atsar dari Imam bin Hanbal ini dikeluarkan oleh al-Lalikai dalam syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no. 1798)

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Bukanlah iman itu hanya sekedar untuk hiasan dan angan-angan belaka; akan tetapi apa yang menghujam dalam sanubari dan dibenarkan oleh amal.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (XI/22), Majmuu’fataawa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (VII/294). Lihat, kitaabul Iman oleh Ibnu Taimiyyah dan Syahrul A’Aqiidatiih Thahawiyyah hal. 473, tahqiq Syaikh ‘Abdul Muhsin at -Turki dan Syua’ib al-Arna-ut, cet. Mu’assassah ar-Risalah, th. 1418 H).

“Iman itu terdiri dari ucapan dan amal ; bertambah dan berkurang; bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksitan.” Kemudian beliau membacakan ayat, “Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya.” (Al- Muddatsir :31). (Lihat, Fat-hul Baari, Juz I hal. 62 ; Kitabullah Iiman)

Al- Hafizh Abu ‘ Umar bin ‘Abdullah Barr berkata dalam kitabnya at -Tambiid: “Para ahli fiqih dan hadist sepakat bahwa iman itu terdiri dari ucapan dan amal ; tidak ada amal kecuali dengan niat. Iman itu menurut mereka bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Semua bentuk ketaatan itu adalah iman.” (Lihat : Kitabullah Iimaan , karya Ibnu Taimiyah).

Inilah paham yang menjadi pijakan para Sahabat, Tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dari kalangan para ahli hadits, ahli fiqih dan para iman. Tiada seorang pun yang berselisih dari kalangan ulama Salaf maupun khalaf, kecuali orang-orang yang telah menyimpang dari kebenaran dalam hal ini.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa barangsiapa mengeluarkan amal dari iman, maka dia termasuk murji’ah (Murji’ah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘irja’, artinya pengakhiran, sebab mereka mengakkhirkan amal dari hal iiman. Mereka mengatakan: “Suatu dosa tidak berbahaya selama ada iman, sebagaimana suatu ketaatan tidak berguna selama kekafiran.” Menurut mereka amal tidak termasuk dalam kriteria iman, serta iman, serta iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Lihat al-Milal wan Nihal hal. 139 oleh Syahrastani), ahli bid’ah lagi sesat.

Barangsiapa mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan lisannya dan menyakini ke-Esaan Allah dalam hatinya, tetapi dia melalaikan pelaksanaan sebagai rukun Islam dengan anggota tubuhnya, maka imannya belum sempurna. Barang siapa yang tidak mengikrarkan dua kalimat kalimat syahadat maka pada dasarnya, tidak ada baginya sebutan Iman maupun Islam.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mempunyai adanya pandangan adanya istitsna’ (pengecualian)dalam hal iman, yatu ungkapan seseorang “Saya seorang Mukminin Insya Allah,” dia tidak memastikan keimanan bagi dirinya sendiri karena rasa takutnya kepada Allah, menetapkan adanya takdir dan tidak mengangap dirinya suci. Hal, ini karena iman yang sempurna itu mencakup pelaksanaan segala ketaatan (ibadah) dan peninggalan segala larangan. Mereka menolak “pengecualian” dalam hal iman jika diucapkan sebagai keraguan. Adapun dalil tentang hal ini banyak terdapat dalam al-Qur-an, as-Sunnah, riwayat dari Salaf dan pendapat para ulama.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): Insya Allah'(jika Allah menghendaki)…“(Al-Kahfi : 23-24).

Allah Ta’ala berfirman, “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah Yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (An-Najm: 32)

Nabi SAW bersabda ketika melakukan ziarah kubur, “Salam sejahtera atas kalian semua wahai penghuni kubur dari orang-orang Mukminin dan Muslimin; dan sesungguhnya kami Insya Allah akan menyusul anda, kami memohon kepada Allah kesejahteraan untuk kami dan kalian.” (HR. Muslim).(HR. Muslim no. 975, Ibnu Majah no. 1547, an-Nasa-i no .2040 dan Ahmad (V/353) dari Sahabat Buraidah al-Aslami. Lafazh ini milik Ibnu Majah.

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Barang siapa menyatakakan diri bahwa dia seorang Mukminin, maka saksikanlah bahwa ia (tempatnya) di Surga.” (Tiga atsar mulai dari ‘ Abdullah bin Mas’ud sampai dengan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal dikeluarkan Iman al-Lalika-i dalam kitabnya Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal jama’ah.

Jarir mengatakan, “Saya mendengarkan Manshur bin al-Mu’ tamir, al-Mughirah, al-A’masy, al- Lait,’ Imarah bin Qa’qa, Ibnu Syubrumah, al-Ala’ bin al- Musawiyah, Yazid bin Abi Ziyad, Sufyan ats-Tsauri , Ibnul Mubarak dan orang-orang yang saya dapati ; (Mereka semua) beristitsna’ dengan mengucapkan ‘Insya Allah’ dalam hal keimanan dan mencela orang yang tidak beristitsna’ dengan mengucapakan ‘Insya Allah dalam hal keimanan.'” ( Atsar ini keluarkan oleh al – Lalika – i dalam kitabnya Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no. 1785)

Imam Ahmad bin Hanbal pernah di tanya tentang iman? Beliau menjawab, ” (Iman itu meliputi) Ucapan, perbuatan, dan niat.” Dikatakan pada beliau: “Jika seorang mengatakan: ‘Apakah Anda seorang Mukmin?'” Beliau menjawab: “Ini adalah bid’ah.” Kemudian ditanya lagi: “Apa yang harus ia jawab?” Iman Ahmad menjawab: “Hendaknya dia mengatakan, ‘(Saya) Mukmin Insya Allah.'” (Atsar dari Imam Ahmad bin Hanbal ini dikeluarkan oleh al -Lalika -i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.1798.

Dilakukannya atau meninggalkan kewajiban yang tidak menyebabkan pelakunya menjadi fakir. Jadi seorang hamba tidak keluar dari ruang lingkup keimanan kecuali telah melakukan salah satu perkara yang membatalkannya keimanannya.

Pelaku dosa besar tidak keluar dari keimanan, posisinya di dunia tidak dinamakan Mukmin yang kurang imannya, maksudnya dia masih seorang Mukmin karena keimanannya dan fasiq karena dosa besarnya. Adapun di akhirat, posisinya berada berada dikehendak Allah; maksudnya jika Dia berkehendak maka Dia mengampuninya (dengan rahmat-Nya) dan jika Dia berkehendak lain maka Dia menyiksanya (karena keadilan-Nya).

Iman itu ada beberapa bagian dan bercabang- cabang. Dengan sedikitnya iman (yang dimiliki oelh seorang hamba), Allah akan mengeluarkannya dari Neraka bagi orang yang telah memasukinya.

Nabi SAW bersabda, “Tidak akan masuk Neraka barang siapa dalam hatinya ada iman walaupun seberat biji sawi.” (HR. Muslim). (HR. Muslim no. 91 (148) diriwayatkan pula oleh at- Tirmidzi no. 1999, Abu Dawud no. 4091 dan Ibnu Majah no. 4173 dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud. Lafadzh ini milik muslim)

Oleh karena itu, Ahli Sunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang Muslim pun dari Ahlul kiblat dikarenakan segala dosa yang telah diperbutnaya kecuali dengan suatu dosa yang dapat menghilangkan prinip keimanan.

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampun segala dosa yang selain syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya….” (An Nisaa’:48).

Nabi SAW bersabda, “Jibril datang kepadaku lalu memberi kabar gembira kepadaku ‘Sesungguhnya barangsiapa meninggal dunia dari ummatmu dalam keaadan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, pasti dia masuk surga.’ Aku bertanya: ‘Walaupun dia berzina dan mencuri?’ Beliau menjawab: ‘Walaupun dia berzina dan mencuri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no. 7487 dan Muslim no. 94 (153) dari Sahabat abu dzarr al-Ghifari).

Abu Hurairah berkata, “Imam itu adalah kesucian. Maka barangsiapa berzina, imannya akan meninggalkannya. Dan jika dia mencela dirinya dan kembali (ke jalan yang benar), maka imannya juga akan kembali.” (Atsar dari Abu Hurairah ini dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad Bin’ Hanbal as-Sunnah (I/351) no. 753 dan Imam al-Lailika-i dalam kitabnya Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no. 1870).

Abu Darda’ berkata, “Tidaklah iman itu melainkan seperti baju seseorang di antara kalian; sesekali menanggalkannya dan sesekali lagi mengenakannya. Demi Allah, tidaklah seorang hamba merasa aman atas imannya melainkan iman itu tercabut darinya, maka ia pun merasa kehilangan imannya.” (Atsar dari Abu Darda’ ini dikeluarkan oleh dalam kitabnya Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no. 1871). (Imam al-Bukhari berkata: “Aku pernah bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama yaitu penduduk Hijaz, Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir. Aku bertemu dengan mereka berkali-kali, dari waktu ke waktu yang lain, aku dapatkan mereka sedangkan mereka banyak sekali sejak 46 tahun lebih.” Lalu Imam al-Bukhari menyebutkan nama-nama ulama yang jumlahnya lebih dari lima puluh ulama kemudian beliau berkata: ‘Dan cukuplah dari menyebutkan nama-nama mereka agar menjadi singkat dan tidak bertele-tele. Lalu aku tidak melihat satu puna di antara mereka yang berbeda pendapat tentang hal ini, sesungguhnya agama itu terdiri dari ucapan dan perbuatan, berdasarkan firman Allah, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.’ (Al-Bayyinah: 5). “Kemudian beliau menyebutkan i’tiqad mereka yang lainnya. Lihat, Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah, oleh Imam al-Lalika-i no. 320).

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi’i, cet.I), hlm.130 — 145.